ANDAI WAKTU DAPAT KEMBALI
“ANDAI WAKTU DAPAT KEMBALI”
Waktu itu pukul 11.30. Aku
terperanjat bangun oleh ringikan tangis ibu yang begitu keras.
“aahh...aaahhhh” aduh..
Kubangunkan
ibu dengan segera. Setelah ibu terjaga, aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.
“ibu
kenapa?”
“tanganku
nduk, kesemutan”
Kupijit
pelan tangan ibu. Hingga ringikan itu tak terdengar kembali. Dan kami berdua
terlelap bersama. Hal itu terjadi tidak hanya satu hingga dua kali, bahkan
terjadi setiap hari. Pernah suatu hari aku bosan dan merasa terganggu oleh
suara rengekan ibu.
“ahh,,
ibu manja. Ibu minta dipijit kan? Kalau udah dipijit baru bisa diam.”
Ibu
menghentikan ringikannya.
“Vita
capek bu.” Akhir kataku dan aku terlelap.
Keesokan
harinya kami memulai aktivitas seperti sedia kala. Seolah kejadian semalam
tidak pernah terjadi. Ibu bekerja di pabrik
dan aku mulai mengayuh ontelku menuju sekolah. Sifatku mulai memburuk
saat setelah bapak pergi meninggalkan kami berdua. Aku bahkan menjadi tidak
senang dengan profesi ibu, yang menjadi
buruh ikan. Bayaran tidak seberapa. Dan itu sungguh sangat memalukan, sebab
seluruh karyawan yang bekerja disana rata-rata adalah pria. Sehingga bisa
dikatakan bahwa tenaga ibuku sebanding dengan tenaga para karyawan disana.
Setiap kali berangkat ibu mengenakan sepatu boot, dan berbaur dengan
bongkahan-bongkahan es disana. Dan itulah sebab utama ibu sering kesemutan
ditangan. Tangan seorang wanita yang tidak cocok bekerja berbaur dengan es
standar dengan pekerjaan pria. Sepatu boot dan sarung tangan. Uhh, benar-benar
penampilan yang sangat aku benci.
Ditambah lagi setiap pulang ibu selalu membungkus ikan-ikan yang dibuang
oleh pabrik (ikan yang sudah tak layak jual) dan ikan-ikan itulah yang menjadi
makanan keseharianku. Meski rumah kami pesisir pantai, tetap saja kami tidak
akan pernah bisa menikmati hidangan ikan segar lagi setelah kepergian bapak.
Dan setiap kali aku menolak makanan
ikan yang berasal dari pabrik itu, ibu slalu berkata dengan tenang bahwa telur
ikan dan ikan-ikan yang dibawa ibu dari pabrik itu lebih sehat dan enak. Dan
itu benar adanya sebab mana ada pabrik ikan yang mengkonsunsi ikan biasa untuk
produksi dan bahan-bahan impor. Mau dikata apalagi aku tetap memungkirinya. Dan
aku tetap tidak suka. Aku lebih suka makan ikan hasil jerih payah bapak sebagai
nelayan. Hampir setiap hari ketika ibu menghidangkan ikan perolehannya dari
pabrik sebagai lauk, aku selalu berandai-andai didepan ibu dan mengatakan bahwa
“andai
waktu itu ibu tidak minta dijemput bapak, bapak akan makan bersama dengan kita
saat ini”
“andai
ibu pulang dari pasar naik becak tanpa minta jemput bapak, bapak akan
membawakan kita ikan segar langsung dari laut”
“andai..
andai,.. dan andai saja bu”
Kata-kataku
sangat halus, dan aku tidak sadar bahwa itu menjadi pisau yang menyayat hati
ibu.
Ibu
terdiam. Menghela nafas panjang. Dan sedikit memberiku senyuman.
“euuuihhh”
aku benci lihat senyum memelasnya itu. Batinku
Aku
selalu terbayang-bayang dengan keseharianku yang tak akan pernah sempurna sejak
kepergian bapak. Dan ini menjadi awal yang buruk untuk masuk di SMP. Sebab diary masa depanku sudah mengklaim
sekolahku akan melewati berbagai macam kesulitan. Tidak akan ada lagi yang
mengajariku mengerjakan PR. Jelas saja, ibu bahkan tidak bisa membaca dan
menulis. Ibuku tidak sekolah. Dan tidak akan ada lagi uang jajan tambahan dari
bapak yang aku dapatkan pada setiap helai uban yang aku ambil dari rambutnya.
Mulai detik malam itulah aku bertekad untuk menjadi bintang kelas sehingga aku
bisa mendapat beasiswa dan sekolah jauh dari ibu.
Tiga tahun berlalu setelah aku lulus SMP. Aku benar-benar
masuk dalam kategori siswi berprestasi. Kini aku masuk SMA unggulan di luar
kota, dan mengharuskanku untuk tinggal diasrama.
Awalnya
kepergianku diiringi isak tangis bangga oleh ibu. Ibu memberiku banyak pesan
agar menjaga kesehatan. Dan bagiku
perpisahan itu bukanlah hal yang harus aku sesalkan dan tangisi. Karena inilah
cita-citaku tepat tiga tahun yang lalu.
Kehidupan
diasramaku berjalan membaik, mulai dari nilai akademik, keaktifan organisasi, dan
kerohanianku. Disitulah tanpa ada angin dan mimpi aneh, tiba-tiba perasaanku
begitu rindu dengan ibu. Apalagi setiap kali usai jamaah subuh dan mendengarkan
kultum dari ibu asrama. Aku benar-benar merasa berdosa. Aku ingin pulang. Dan
itu mustahil, sebab anak beasiswa sepertiku pastilah dipenuhi dengan aturan.
Aku tidak bisa seenaknya saja izin pulang kampung. Aku terus memikirkannya dan
perasaan sesak didada mulai mengantui. Ya, aku sempat menjadi anak durhaka
selama tiga tahun.
Rindu itu terjawab. Baru kali itu. Aku
tak menyangka bawa tiba-tiba ibu datang menjengukku. Ibu tergopoh lelah dengan
tas besar ditangan kanannya sedang berdiri didepan asramaku. Betapa aku sangat
terkejut, perjalanan dari kampung halaman menuju asramaku membutuhkan waktu
yang sangat lama, juga biaya ongkos yang tidak sedikit.
“ibu
menjual satu kambing kita dirumah nak, ibu kangen sama kamu”
Kata
ibu menjelaskan saat aku menyambutnya dengan peluk erat dan penuh dengan
keheranan. Wajar saja, aku sebagai anak juga sangat merindukannya. Sejak
pertama aku masuk asrama hingga sekarang aku bahkkan belum bisa pulang menengok
ibu.
Bergegas
aku merapikan tempat tidur dan mempersilakan ibu untuk istirahat. Ibu datang
begitu larut. Kami tidur satu ranjang. Disepanjang malam aku tak ingin
terlelap dalam tidur. Aku terus
memperhatikan wajah ibu yang mulai keriput. Nafasnya pun bisa aku dengar. Ibu
benar-benar sudah semakin tua. Tangannya yang dulu halus kini menjadi sangat
kasar.
“ibu,,
aku sangat mencintai ibu” bisikku sebelum memejamkan mata.
“aaahhh....ahhhh..”
Belum
lama setelah aku memejamkan mata, ibu merengek kesakitan. Memori beberapa tahun
silam kembali hadir didepanku. Saat pertama kalinya aku menolak memijat tangan
ibu. Dan aku tak ingin mengulanginya lagi. Perlahan aku memijat tangan ibu. Ibu
masih terlelap. Dan suara rengekan itupun tak lagi aku dengar.
“ibu
pamit dulu ya nak” kata ibu selesai mandi.
“ibu
kan baru datang tadi malam? Baju bawaan ibu juga sangat banyak. Kenapa ingin
pulang?”
“itu
bukan baju, sayang. Ibu buatkan kering tempe, kerupuk gendar, dan agar-agar
rumput laut buat kamu”
“ibu...
kenapa cepat..?”
Belum
selesai aku mencoba membantah, ibu menyelakku.
“sudahlah
nak, kata Vita semalam tahun depan sudah wisuda SMA? Kita masih bisa bertemu
lagi bukan ?” jawab ibu halus dan lembut.
Mulai
detik itu, saat aku mengantarkan ibu ke terminal. Aku bertekad dan berjanji
untuk menempuh SMA ini 2 tahun melalui program percepatan. Hatiku sangat sesak,
bahkan menyesali malam yang indah saat bersamanya berlalu begitu cepat. Ibu
berkali-kali membujukku agar aku mengizinkannya pulang sebab kambing dan sapi
dirumah tidak ada yang merawat. Tunggulah ibu, aku akan bekerja setelah wisuda.
Membantu ibu.
Kepingan- kepingan cerita rapuh nan
jahat itu selalu hadir. Membuat aku berfikir bahwa tekad itu mungkin akan
menjadi tekad terakhirku. Dan menjadi pertemuan terakhirku dengannya. Semangat
lulusku karena dia. Semangat bekerja setelah luluspun karena dia, tapi kenapa
hingga sekarang dia masih terbujur lemah diatas kasur tepat didepanku?
“kenapa
ibu diam?”
“kenapa
ibu tersenyum dengan luka-luka memar ini?”
------Vita, wisudanya sudah hampir dimulai-----
“untuk
apa wisuda? Hah? Tanyaku kesal membaca sms dari salah seorang temanku.
Aku
benci wisuda. Karena wisuda ini ibukku tertabrak mobil.koma.
“aishhh..
kenapa aku meminta ibu untuk hadir?”
Isak
tangisku semakin menjadi-jadi. Ini karma. Mungkin inilah yang ibu rasakan
selama aku menghujatnya dengan kepergian bapak. Aku begitu bodoh tidak
memanfaatkan waktu sebaik mungkin demi satu cinta yang masih bersamaku di dunia
ini. Aku justru meninggalkannya dengan keegoisanku. Aku begitu bangga sekolah
di luar kota.
“andai
ibu tidak meminta bapak menjemput ibu, bapak masih ada sekarang”
Perkataan
itu terus terngiang ditelinga, menjadi senjata makan tuan buatku.
“andai
aku tidak menyuruh ibu untuk hadir diacara wisudaku hari ini, ibu tidak akan
terluka seperti ini”
“duhai.. Tuhan penguat segala cinta, sadarkan ibu. Dan takdirkan aku
bersamanya lagi tuk memulai awal hidup yang baru.”
Do’aku.
Oleh :
Nama : Ninda Sintyah Rachmawati
Alamat :
Ponpes ASSALAM Bangilan
Jl. Raya Bangilan
Nomor 01
Kecamatan Bangilan,
Kabupaten Tuban
Tidak ada komentar