Ki Bayan Sosro
Gambar: https://zurrahmah.wordpress.com/2013/09/23/page/3/
Ki Bayan Sosro
Oleh: Rohmat Sholihin*
Bangunan
seperti gubug di tengah sawah itu masih ada sampai sekarang. Bangunan yang
sederhana dengan ukuran sekitar 4x6 meter beratap genting dan bergaya bangunan
model Jawa. Ruangannya sangat terbuka dengan dihiasi potongan kayu reng yang
dipasang jarang-jarang dengan jarak sekitar 10 cm melingkari bangunan itu. Jika
dilihat dari luar tampak ada seperti makam seseorang. Ada nisannya yang terbuat
dari batu, tak ada nama hanya ada kain kafan putih yang sudah berubah warna
kecoklat-coklatan termakan waktu, debu dan kotoran. Namun dengan warna yang
sudah usang begitu bagiku malah terkesan angker dan sangar. Disamping bangunan
itu ada dua pohon kepoh yang dari dulu ukurannya tak pernah berubah, sama
dengan yang dulu, tidak bertambah tinggi dan besar. Hanya saja daunnya yang tak
bisa tumbuh lebat, jarang-jarang, dan tak berbuah. Di sebelah selatan berjarak 500 meter bekas bangunan keretapi jurusan
Rembang-Bojonegoro, peninggalan Kolonial Belanda yang saat ini sudah tak
terpakai, bekas besi-besi jalan keretapi sudah sirna entah kemana? Bahkan
batu-batu krecaknya juga sudah hilang pula, diambil oleh masyarakat sekitar
untuk dimanfaatkan membuat bangunan rumah, bahkan ada yang berani menjualnya.
Bangunan jalan keretapi sekarang hanya tersisa gundukan tanah memanjaang dan
membelah sawah dengan pohon jati dan pisang yang banyak tumbuh dimanfaatkan
warga. Tak tahu siapa yang memulainya. Barang-barang keretapi seakan menjadi
barang jarahan gratis oleh warga, siapa saja boleh ambil besi-besi yang panjang
dan batu-batu krecaknya, mentang-mentang Kolonial Belanda sudah tak lagi
menguasai negeri ini.
Kanan kiri
bangunan gubug itu menghampar sawah yang subur, luas berhektar-hektar meski aku
tak ikut memilikinya, maaf bapakku bukan tuan tanah lagi. Jadi aku hanya bisa
memandang saja dengan mata nanar, meski dalam hati sangat ingin memiliki lagi.
Tapi bapak, sekali lagi aku tak bisa memaksakan keinginanku, karena bapak
pernah memiliki beberapa hektar namun habis, ludes tak tersisa karena terjual
oleh ambisinya yang semu, kalah berjudi. Setiap hari kerjanya hanya berjudi,
menghabiskan waktu berjam-jam, berhari-hari hanya untuk berjudi, mengejar
impian yang tak pernah sampai, harapannya kemenangan namun tetap saja kalah.
Judi yang tak pernah memberikan kemenangan hanya kerugian tentu yang didapat.
Bangunan gubug itulah saksi bisu sawah-sawah milik bapak terbang ke tangan orang
lain. Berhari-hari sibuk berjudi dibangunan gubug itu dengan
asyik-seasyik-asyiknya, kekalahan berat yang ia dapati sampai sawah-sawah yang
menjadi sumber harapan keluarga menjadi taruhannya. Benar-benar bapak telah
dirasuki setan judi nomor wahid. Siapa saja yang berusaha untuk menasehatinya,
tak ada yang berhasil, bahkan ibu tak tanggung-tanggung pernah mendatangi pak
kyai untuk minta bantuan agar bapak mau berhenti judi, juga sia-sia belaka.
“Biarkan saja, nanti juga berhenti sendri.” Jawab pak kyai. Seisi rumah menjadi
putus asa dibiarkan saja apa maunya. Namun sebelum sawah-sawah itu habis
digunakan judi bapak, ibu telah bergerak cepat, ada beberapa hektar telah
didepositokan untuk berdagang dipasar. Berkat kegigihan dan keuletan dagang ibu,
lumayan menguntungkan. Kini ada beberapa toko yang telah dikelola dengan tangan
dingin ibu, hampir semua maju. Meski begitu bapak juga tak berhenti berjudi.
Semakin hari semakin parah. Setiap hari selalu pergi ke tengah-tengah sawah
dibawah pohon kepoh dan disekitar gubug tua itu.
Sering ibu
menyuruhku untuk memanggil bapak untuk pulang, sekedar mengingatkan pada bapak
bahwa sekarang adalah waktunya makan, berhentilah untuk makan dulu, karena
dirumah ibu telah menyiapkan makanan untuk bapak yang selalu setia . Begitu
besar peran ibu.
“Pak, ibu
menyuruh bapak pulang, waktunya makan siang.” Sapaku pelan takut bapak
marah-marah.
‘Iya
sebentar. Tanggung.” Jawaban bapak yang selalu begitu. Akupun menunggu dengan
sabar didekat bangunan gubug yang bagiku tak menarik. Hanya aku sering
penasaran, siapa sebenarnya jasad yang telah disemayamkan disitu. Mataku
mencoba untuk mencari-cari tulisan pada nisan yang tak ada tulisannya sama sekali.
Kenapa tidak dikuburkan di tempat pemakaman saja?, kenapa harus sendirian
dimakamkan disini. Anehnya meski gubug reot dan makam tua begitu tapi hampir
seluruh petani-petani yang mempunyai sawah disekitarnya selalu melakukan ritual
manganan atau syukuran di gubug tua itu.
Ada banyak masakan sesajen seperti, nasi dengan porsi banyak ditaruh dinampan,
ayam panggang, telur godog, urap, sambal, kerupuk, tempe goreng dan tahu oseng.
Sering aku ikut menikmati disaat menjemput bapak yang lagi asyik berjudi. Aku
pulang membawa banyak makanan yang dibungkus daun jati dan pisang, sampai rumah
ibu marah-marah, tak boleh dimakan dan ke kandang ayam muara terakhir makanan
itu. “Besok jika ada lagi sesajen disawah tolong tak usah dibawa pulang ya, ibu
masih sanggup dan bisa memberi makan anak-anak ibu.” Pesan ibu tegas namun
lembut. Aku hanya mengangguk saja tak berani berkomentar sepatah kata pun. Aku
hanya bisa menyaksikan mata ibu yang tajam memberikan isyarat bahwa ibu tidak
lagi main-main.
Jawaban
tanggungnya bapak mungkin bisa sampai waktu satu jam. Aku harus sabar menunggu disekitar
bangunan gubug tua. Jika aku terbuai bosan kulangkahkan kakiku menuju dam
peninggalan Belanda disebelah barat gubug tua. Banyak ikan-ikan kecil berlari
mondar-mandir tak tentu arah, apa dia takut melihat kehadiranku. Acuh tak acuh
kakiku akan kuturunkan pada airnya yang jernih, tapi sebelum kakiku bersentuhan
dengan benda bening itu. Suara serak-serak basah memanggilku dari tepi dam.
“Ayo kita
pulang!” suara bapak mengajakku pulang.
Dengan
cekatan akupun berjalan dibelakang bapak yang kusut, dan penuh bau rokok. Sudah
berapa batang rokok yang telah dihisapnya sambil berjudi. Baunya sampai lebus.
Apa istimewanya laki-laki paruh baya yang aku panggil bapak ini bagi ibu?
Kenapa ibu tak pernah marah-marah atas perlakuan bapak yang selalu berjudi? Tak
pernah membantu mengurusi anak-anak apalagi membantu ibu. Jika masalah itu aku
bicarakan sama ibu, jawab ibu salalu tenang, “kelak kau akan bisa menilai
sendiri nak, yang penting saya sebagai ibu telah menjalankan tugasku dengan
baik.” Akupun diam tak kuteruskan pertanyaan-pertanyaanku lagi. Aku putuskan
menunggu beberapa tahun lagi sampai bisa berfikir dan menilainya sendiri. Dan
selama bapak sampai dirumah ibu selalu menyambutnya dengan senyum seakan-akan
tak ada kejengkelan dalam hatinya. Seakan-akan hobi berjudi bapak adalah
hiburan yang tak usah diperdebatkan lagi. Itu sudah menjadi kebiasaan
tersendiri. Aku sampai heran, kenapa bisa begini. Sebegitu besar hormat nya ibu
pada bapak hingga sedikitpun tak berani memperlihatkan kekesalannya pada bapak.
“Silahkan mandi dulu bapak, makanan sudah siap dimeja.” Sambut ibu dengan
hangat seperti menyambut sang pangeran dari medan laga. Jika bapak sedang makan,
ibu selalu setia menungguinya, mengambilkan nasi, lauk pauk, dan minumannya.
Seperti tak ada masalah. Setelah makan selesai bapak kabur lagi ke gubug tua
ditengah sawah, judi lagi. Sampai pagi.
Kehidupan
seperti itu kurasakan sampai aku menjelang remaja. Bapak masih sibuk berjudi
digubug tua. Kebiasaanku juga masih sama menjemput bapak untuk pulang dan
makan. Hingga pada suatu siang menjelang sore bapak belum juga pulang. Ada
banyak tamu pemuda-pemudi dengan pakaian rapi, berjas biru, bersepatu, membawa
tas rangsel, ada beberapa pemuda yang berkaca mata, selintas aku lihat seperti
orang kota, dari penampilannya rapi, sopan dan bicaranya halus dan santun,
sambil membawa buku dan pulpen, sibuk mencatat keterangan-keterangan dari
bapak, apa mereka bertanya-tanya tentang perjudian, atau, aku sendiri belum
tahu. Yang perempuan sibuk memotret-motret gubug tua itu, juga memotret bapak,
apa istimewanya? Hatiku mulai terhantui penasaran. Dan kuputuskan untuk lebih
mendekat untuk mendengarkan perbincangan-perbincangan mereka. Maklum aku yang
hidup dalam suasana pedesaan sangat kagum terhadap penampilan pemuda-pemudi
yang rapi dan menarik.
“Permisi
bapak, kami rombongan mahasiswa dari Jakarta jurusan Studi Sejarah ingin berwawancara
dengan bapak Koesno, mudah-mudahan bapak berkenan membantu kami untuk bertanya
jawab.” Bicara pemuda yang berkulit bersih dan tinggi.
“Iya.
Silahkan apa yang bisa saya bantu, kepada mas-mas dan mbak-mbak anak kota dan
terpelajar ini.” Jawab bapak dengan ramah.
“Sebelumnya
terima kasih bapak, kami ingin mengadakan penelitian untuk penulisan skripsi
tentang peran tokoh Ki Bayan Sosro yang berperan penting dalam membantu
Pangeran Ronggo terutama barang senjata dan pemasok bahan makanan.” Tanya salah
satu mahasiswa.
“Silahkan,
silahkan adik-adik saya sangat senang bisa membantu untuk memberikan informasi
yang saya punya.” Jawab bapak dengan ramah dan tidak seperti biasanya ketika
saat menghadapi area perjudian. Kaku dan serius.
“Apakah bapak
punya semacam tulisan atau catatan tentang Ki Bayan Sosro dan sejarahnya sampai
bisa dimakamkan ditempat ini?”
“Ada, untuk
tulisan dan catatan-catatan mengenai Ki Bayan Sosro aku simpan dirumah. Tapi
kalau sekedar tanya kapan dilahirkan dan meninggalnya Ki Bayan Sosro dan
cerita-cerita mengenai peranannya dalam perang seputar Pantura 1800-1811, saya
ada sedikit cerita yang saya punya. Ya hitung-hitung sebagai tambahan informasi
adik-adik. Dan Ki Bayan Sosro lahir pada tahun 1775. Dari pasangan Raden
Sosroaminoto dan Ngaijah di daerah Tuban. Sedangkan beliau bisa dimakamkan
disini karena telah terjebak oleh akal busuk Kompeni. Sewaktu acara makan malam
bersama pembesar-pembesar Kompeni untuk acara berjudi beliau telah diracun oleh
intel atau mata-mata Kompeni. Beliau tahu kalau telah diracun oleh antek-antek
Kompeni, Ki Bayan Sosro pun lari dengan mencuri kuda milik tamu dan sampailah
beliau disini. Tubuhnya sangat lemah namun berhasil diobati oleh tabib desa,
perlahan-lahan tubuhnya kembali kuat. Beliaupun segera mengumpulkan seluruh
harta kekayaannya dan digunakan untuk membeli tanah didaerah ini, beliau
menghilang untuk sementara waktu, sebagai ucapan terima kasih kepada tabib desa
yang telah menolongnya, beliau mengelola sawah yang dibelinya dan hasilnya
untuk membantu warga desa yang kelaparan dan mengirimkan bahan-bahan makanan
itu untuk Pangeran Ronggo. Sampai beliau meninggal didaerah sini.” Jawab bapak
diplomatis seperti guru yang sedang menjelaskan kepada murid-muridnya. Kini
saya mulai sedikit mengetahui diri bapak kenapa setiap hari selalu pergi ke
gubug tua yang tak menarik itu. Ya, bapak telah lama menjadi juru kunci makam
atau gubug tua yang bersemayam seorang pejuang yang bernama Ki Bayan Sosro.
Tidak semua orang bisa menjadi juru kunci setidaknya ia harus melalui beberapa
proses tirakat yang tidak mudah bisa dilakukan. “Ah bapak kenapa aku baru tahu
sekarang melalui orang lain?, kenapa tidak dari bapak sendiri? Dengan kesibukan
berjudi setiap hari hanya untuk mengisi kesenggangan waktu saja. Tapi kenapa
bapak berjudi ditempat makam seorang tokoh yang dianggap pahlawan meski namanya tak ada dalam peta
pahlawan-pahlawan nasional, tapi setidaknya ia dianggap orang pahlawan.”
Batinku mulai berhamburan kata tanya penasaran pada makam yang ada digubug tua
dan juga bapakku sendiri. Akupun lebih mendekat lagi pada obrolan-obrolan
mereka yang telah membentuk seperti orang kajian.
“Kenapa
adik-adik bisa tertarik dengan tokoh Ki Bayan Sosro?”
“Pertama,
perang Pantura yang sungguh melelahkan bagi VOC yang terjadi sekitar tahun
1800-1811 itu membuat VOC hampir bangkrut. Yang menjadi menarik ada seorang
tokoh orang Jawa Pangeran Ronggo bisa membuat Pemerintahan Kolonial kalang
kabut, bahkan hampir saja bisa dikalahkan karena sekelas perusahaan dagang yang
terbesar di daratan Eropa VOC itu bisa bangkrut hanya karena perang selama
kurang lebih sebelas tahun. Dan kekuatan pasukan dari Pangeran Ronggo bisa
tetap bertahan dengan baik. Setidaknya yang menjadi menarik ada banyak
orang-orang dibelakang Pangeran Ronggo yang menyuplai dan mendukung, hampir
semua daerah-daerah ikut terlibat mendukung sang Pangeran untuk memerangi
Kompeni. Mulai dari Semarang sampai Lasem, Rembang, Tuban dan Bojonegoro ikut
bergolak dan membantu sang Pangeran. Tak mungkin dalam strategi perang yang
besar seperti perang Pangeran Ronggo tidak menggunakan gerakan bawah tanah atau
underground, tetap ada tokoh-tokoh underground dibelakang sang Pangeran.
Termasuk Ki Bayan Sosro, tokoh bawah tanah yang bertugas mengirim makanan dan
senjata melalui Pangeran Dilogo di Bojonegoro yang kemudian secara diam-diam
dikirim ke Madiun markas besar Pangeran.” Jelas salah satu mahasiswa yang
memakai kaca mata.
“Betul
adik-adik, Ki Bayan Sosro termasuk orang kepercayaan Pangeran Ronggo yang bertugas
menggali informasi seputar Kompeni. Ia bertugas sebagai intel, ibarat pisau
bermata dua, dimata kompeni ia seperti teman yang berada dipihaknya sedangkan
dimata Pangeran ia memang pengikut yang setia. Resikonya tinggi. Jarang orang
mengetahui jika ia ahli judi, keahliannya itu yang sering digunakan untuk
membaur dengan pejabat-pejabat tinggi kompeni. Dan hasilnya judi itu ia belikan
tanah untuk bertani dan hasilnya ia kirimkan ke Pangeran untuk bekal perang,
sedangkan separonya lagi yang masih dalam bentuk uang ia belikan persenjataan
untuk pasukan Pangeran. Namun, jarang orang tahu, karena keberadaannya sebagai
intel hanya beberapa orang kepercayaan Pangeran saja.” Terang Bapak. Sedikit
aku kenali kini tentang bapak. Bapakku yang kuanggap pejudi tulen ternyata
mempunyai wawasan sejarah yang memukau, diam-diam aku mulai bangga dengan
bapak. Buktinya, ia menjadi nara sumber bagi mahasiswa-mahasiswa universitas
terfavorit di Indonesia. Menjelaskan sejarah yang tak semua orang tahu. Sejarah
yang tak pernah tercatat dalam buku-buku pelajaran disekolah manapun. Tapi
bapak tahu dan faham betul sejarah Ki Bayan Sosro tokoh bawah tanah pada Perang
Pantura 1800-1811. Disamping bapak suka judi namun disisi positifnya bapak
termasuk sejarawan karena mengetahui banyak informasi-informasi seputar perang
Pantura melalui catatan-catatan rahasia milik Ki Bayan Sosro yang masih tersimpan
rapi dan utuh dilemari dalam kamar bapak. Dan mengenai kenapa alasan bapak suka
berjudi, ternyata juga mulai kusadap beberapa alasan mengenai itu, pertama
ternyata judinya bapak bukanlah mencari keuntungan dan kemenangan yang hasilnya
untuk dimakan sendiri dan keluarga, tapi ada beberapa kabar dari temannya bapak
yang sempat ku tanyai bahwa hasil judi bapak selalu diberikan pada anak-anak
yatim dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan dana mulai orang yang miskin
dan tak sanggup membayar rumah sakit, orang jompo, dan tak pernah hasil judinya
diberikan ibu dirumah barang sepersenpun. Walaupun kebenaran cerita tentang
bapak belum aku buktikan sendiri, hanya masih cerita-cerita dari salah satu
teman dekat bapak. Kenapa aku tidak tanya langsung pada bapak, bisa aku tebak
sekarang, jawabannya jelas tak kan berterus terang, bias-bisa dampratan yang
aku terima. Biarlah kusimpan dulu misteri judi bapak.
‘Bagaimana Ki
Bayan Sosro bisa mendapatkan pasokan senjata?”
“Ki Bayan
Sosro yang pandai dan cakap dalam berjudi, bisa disebut dewa judinya Jawa punya
banyak koneksi, mulai penjudi dari Tionghwa, Spanyol, Portugis, India, Inggris,
yang sering berjudi ditempat-tempat perjudian kelas dunia, seperti di pulau
Tumasek, Ki Bayan Sosro selalu menang diarena perjudian dan hasilnya ia belikan
senjata di Tumasek melalui orang yang tak dikenal. Orang yang tak dikenal ini
adalah untuk menghilangkan jejak oleh mata-mata Kompeni dan lainnya. Jika
Tumasek kurang aman, Ki Bayan Sosro membeli persenjataan dari Gresik. Juga
melalui orang yang tak dikenal. Bahkan uangnya juga digunakan untuk membeli
tanah-tanah dipedalaman dan digunakan untuk bercocok tanam, seperti singkong,
ketela, jagung, pisang dan juga padi sehingga lumbung pangan pasokan Pasukan
Pangeran melimpah.” Jawab bapak. Aku juga terbelalak mendengar penjelasan bapak
yang gamblang. Seorang bapak yang hanya suka berjudi bisa menjelaskan
pertanyaan-pertanyaan para mahasiswa itu.
“Sang
Pangeran adalah seorang tokoh yang santri, bagaimana beliau bisa menerima dana perang
dari hasil perjudian?” tanya mahasiswa itu lagi.
“Agak rancau
memang menjawabnya nak, tapi, sang Pangeran mengacu pada hukum membela tanah
air dari penindasan kaum kafir atau penjajah asing, maaf sang Pangeran kalau
menyebut penjajah asing atau Kompeni adalah dengan sebutan kafir, hukumnya
wajib. Mereka telah merampas hak milik rakyat secara paksa kita juga harus
merampasnya kembali. Setidaknya hasil perjudian bukan untuk menghidupi keluarga
tapi untuk berperang membela tanah air kita. Tanah yang telah dirampas secara
paksa, kita sebagai rakyat yang berhak atas kepemilikan telah dijadikan
budak-budak orang kafir. Kita ini berperang adalah untuk mengusir orang kafir,
untuk melindungi hajat orang banyak dari penjajahan. Di samping Ki Bayan Sosro
berjudi tapi juga menggali informasi strategi penting dari Kompeni yang akan menghancurkan
sang Pangeran.” Jawab Bapak lihai.
“Berarti
secara tidak langsung sang Pangeran membenarkan perjudian?” tanya mahasiswa
yang berperawakan tinggi dengan rambut ikal.
“Bukan, hanya
hukum ini telah dipikir secara dalam oleh sang Pangeran bahwa perbandingan
antara kemaslahatan dan kemudhorotan ternyata lebih besar kemaslahatannya, maaf
semua anggaran dana ini untuk berperang ke jalan yang suci, membela tanah air
dari penindasan orang-orang kafir yang telah mendholimi rakyat pribumi yang
lemah. Ingat betapa dholimnya mereka penjajah itu telah membantai ribuan rakyat
kecil yang tidak tahu apa-apa, apakah kita hanya diam? Tidak melawan. Dan
melawan membutuhkan biaya besar dan logistik yang cukup memadai, jika tak bisa
memenuhi kedua hal itu, kita akan kalah lebih cepat, karena perang bukan hanya
beradu dengan senjata saja tapi juga harus dengan perhitungan strategi yang
jitu dan tepat.” Jawab bapak.
“Apa tidak
persis dengan ibarat berwudlu dengan air seni?” tanya mahasiswa lagi.
“Itu benar,
tapi ada beberapa pilihan, melihat rakyat banyak yang sengsara apakah kita
hanya diam tidak melawan? Karena hanya termangu mencari solusi penyelesaian
anggaran yang kempis bahkan tak ada sedangkan rakyat semakin menderita
terkungkung oleh penindasan dan perbudakan ditanahnya sendiri, ibu pertiwi kian
menangis dikuras habis untuk kepentingan mereka orang penjajah, kita hanya
diam, bukankah membela tanah air itu hukumnya wajib. Ingat yang dilakukan oleh
Ki Bayan Sosro dalam berjudi tidak semata-mata memang mencari keuntungan uang
saja, tapi niat utamanya juga mencari informasi yang harus digali
sedalam-dalamnya untuk melemahkan musuh.” Jawab bapak berapi-api. Dan mahasiswa
itu termanggut-manggut mendengar jawaban bapak.
“Lebih
jelasnya adik-adik, nanti ada beberapa kesepakatan dalam catatan Ki Bayan Sosro
mengenai beberapa hal tentang hukum-hukum dan perintah langsung dari Pangeran,
seperti buku tugas rahasia dari Pangeran untuk terus memata-matai Kompeni.”
Jelas bapak lagi.
Aku semakin
heran sama bapakku sendiri, begitu rapinya bapak menyimpan dan menutupi
data-data yang telah bapak miliki tentang gubug ini dan makam Ki Bayan Sosro
kepadaku, apa aku memang belum cukup umur untuk mengetahui rahasia Ki Bayan
Sosro. Dan kebetulan bapakku sendiri sebagai juru kuncinya, orang yang setiap
hari selalu menjaga pesareannya dengan telaten, tekun, ikhlas dan penuh suka
duka, bahkan harus rela meninggalkan anak-anak dan istrinya yang selalu
menunggu dengan setia dirumah, dan merelakan waktunya buat gubug tua ini.
Merawat dan melayani dengan baik tanpa mengharapkan imbalan, apa yang dilakukan
oleh bapak adalah murni dari pengabdian hatinya.
Tamu-tamu
mahasiswa itupun diajak bapak ke rumah. Aku disuruh bapak pulang lebih cepat
untuk mengatakan pada ibu bahwa hari ini akan ada tamu mahasiswa dari kota. Ibu
disuruh bapak menyiapkan ruangan beranda depan dan hidangan ringan serta
minuman teh dan kopi. Sebelum para tamu mahasiswa itu sampai rumah, ruangan dan
hidangan sudah siap. Jadi bisa langsung dimulai wawancara dan kajiannya.
‘Adik-adik
silahkan langsung duduk saja diruangan itu, lebih sejuk dan lebih nyaman.”
Perintah bapak dengan ramah mempersilahkan tamu-tamunya.
“Terima kasih
bapak, terima kasih.”
“Sebentar ya
adik-adik, bapak akan mengambil beberapa dokumen tentang Ki Bayan Sosro, siapa
tahu berguna untuk riset adik-adik.” Pamit bapak masuk ke dalam rumah.
“Mari-mari
bapak, sekali lagi terima kasih bapak.”
Bapak terus
berlalu masuk ke rumah meski kelelahan ada pada guratan wajahnya yang semakin
menua saja, namun kelelahan itu ibarat riak kecil pada laut lepas tak
berpengaruh apa-apa pada semangat bapak. Dalam rumah ada perbincangan bapak
dengan ibu.
“Tamu siapa
bapak? kelihatannya tamunya dari tempat jauh.” Tanya ibu.
“Iya tamu
mahasiswa dari Jakarta, kaum terpelajar yang akan meneliti tentang Ki Bayan
Sosro, ini bapak akan mengambilkan beberapa dokumen penting untuk riset
mereka.” Jawab bapak.
Ibu tak
melanjutkan perbincangan segera ibu pergi ke dapur menyiapkan lagi hidangan
yang akan disiapkan. Bapak masih sibuk membuka lemari tua dan memilah-milah
naskah-naskah tulisan tangan Ki Bayan Sosro. Dan tak lama bapak keluar lagi
dengan membawa dokumen tua warna coklat seperti kertas tempo dulu.
“Ini
adik-adik dokumennya, mari kita lihat bersama-sama dan mari kita diskusikan!”
bapak mengeluarkan dokumen-dokumen itu perlahan-lahan dan hati-hati agar jangan
sampai kertas yang sudah lusuh dan usang itu rusak. Terlihat seperti surat
untuk pangeran. Tertulis dalam bahasa Jawa yang sudah diartikan dalam bahasa
Indonesia oleh bapak.
“Pangeran, kita tak bisa melawan
Kompeni hanya dengan peperangan-peperangan saja, bertempur dengan pisik saja,
karena Kompeni mempunyai kekuatan tempur yang memadai, dan modal yang cukup
besar, tidak bisa kita bertempur dengan terbuka, kekuatan kita terbatas dan
kita butuh strategi dan cara yang lain yang bisa membuat Kompeni kalang kabut. Satukan
seluruh pembesar-pembesar pulau Jawa agar kita bisa memukul mundur Kompeni.”
Jumat Pahing, 13 Jumadil Akhir
1221.
Disusul
dengan lembaran surat yang ke-2,
“Pangeran, malam selasa
pon saya diundang tuan Residence untuk datang ke kantor Kompeni. Ada tamu
kehormatan dari pemerintah pusat Hindia Belanda dari Batavia, beserta
tamu-tamunya. Saya mungkin akan berjibaku dengan tokoh-tokoh penjudi dari
seluruh priyayi-priyayi Jawa dan pembesar Kompeni, jika ada kemenangan ditangan
saya, akan ada pasokan senjata dari Tumasek melalui Lasem, sejumlah 250 pucuk
senapan, uang saya transaksikan melalui Tedjo. Karena untuk penyamaranku, kenal
Tedjo? Ia antek-antek Kompeni yang hanya mencari keuntungan saja. Dimana ada
asupan uang, disitulah Tedjo tersenyum merekah.”
“Tak ada
catatan tanggalnya, namun ada hari yang telah disebutkan yaitu hari selasa
pon.” Bapak menjelaskan dengan seksama.
“Apa Ki Bayan
Sosro berhasil menang dalam perjudian itu bapak?”
“Ki Bayan
Sosro setiap perjudian selalu menang.” Jawab bapak. Lalu, bapak meneruskan
membuka lembaran lagi. Isinya,
“Pangeran, 250 pucuk senapan dan
pelurunya telah aku bayar melalui Tedjo. Tiba dari pantai Lasem, mudah-mudahan
secepatnya bisa digunakan untuk teman-teman seperjuangan di medan laga. Dan
beberapa bahan makanan berupa jagung dan padi juga akan segera dikirim melalui
Kakang Dilogo.”
“Coba ini ada
lagi,”
“Pangeran, situasi semakin sulit.
Meski kita berhasil dalam setiap peperangan dan berhasil melaluinya dengan baik
dan cukup membuat Kompeni hampir putus asa, namun ada berita untuk Pangeran
agar dicatat bahwa ada bujukan-bujukan yang akan ditebar oleh Kompeni untuk
mencelakakan Pangeran. Bahkan Kompeni berani membayar mahal bagi siapa saja
yang bisa membunuh Pangeran atau menangkap Pangeran hidup-hidup. Tolong semua
kesatuan pasukan Pangeran dikondisikan dengan baik. Agar jangan sampai ada ular
ditengah-tengah pasukan Pangeran.”
“Tak ada
tertanggal catatan Ki Bayan Sosro.” Bicara bapak. Lalu bapak membuka lagi
catatan berikutnya:
“Pangeran, Kompeni akan
menggempur lagi dengan kekuatan sekitar 1000 pasukan yang akan dibagi menjadi
empat bagian, timur, barat, utara dan selatan. Sekiranya Pangeran segera
menempatkan beberapa pasukan untuk mencegat pasukan-pasukan Kompeni yang telah
dibagi menjadi empat itu sebelum melumpuhkan pusat pertahanan Pangeran.
Tempatkan pasukan-pasukan pilihan disetiap empat penjuru mata angin agar
Kompeni tak bisa menerobos ke jantung pertahanan.”
“Juga tak ada
tanggal dan harinya, kita teruskan adik-adik, sambil minum kopi, makan kue
buatan ibu, biar gayeng, mari adik-adik, jauh-jauh dari kota yang jelas capek
dan lapar. Lumayan untuk mengganjal perut.” Bapak mempersilahkan adik-adik
mahasiswa dengan sabar.
“Tuan Residence akan mendatangkan
lagi pasukan cadangan dari daerah Madura, tak menutup kemungkinan banyak
orang-orang Madura akan ikut berjibaku melawan pasukan kita. Apa boleh buat,
kita akan berperang dengan tentara-tentara bayaran. Sebaiknya perintahkan pada
kakang Dilogo untuk menghalau dari pantai utara tepatnya pelabuhan Tuban, Sedayu, Lasem, Surabaya, dan Gresik.”
“Tak ada lagi
catatan tanggal dan harinya.”
“Baiklah kita
teruskan lagi,”
“Tuan Residence akan memanggilku
lagi, tak tahu apa yang akan dibicarakan. Namun firasatku mengatakan bahwa dia
juga menaruh curiga padaku. Meski hanya sebatas firasat tapi itu menjadi
pertanda bahwa kita harus waspada,maaf Pangeran jika ada meja perjudian dengan
tamu-tamu besar, jika menang, beberapa hasil kemenangan akan saya berikan pada
Kompeni sebagai langkah menghilangkan kecurigaan tuan Residence padaku selama
ini.”
13 safar 1223.
“Ini ada
tanggal dan harinya. Ki Bayan Sosro selalu menulis catatan dalam bentuk surat
dalam jumlah 2 kulit/kertas yang ia dapat dari Tumasek dan juga Batavia,
sebagai bukti bahwa surat itu benar yang menulis surat Ki Bayan Sosro sendiri.
Satu untuk pangeran dan satunya untuk Ki Bayan Sosro sendiri. Agar pangeran
percaya bahwa Ki Bayan juga memegangnya.” Jelas bapak.
“Dimana Ki
Bayan simpan dokumen-dokumen itu?” tanya salah satu dari mereka yang masih
asyik melihat-lihat keaslian dokumen meski tak berani menyentuhnya karena takut
rusak. Hanya berani memotret-motret saja.
“Bapak
temukan didekat makamnya, dari keterangan-keterangan Ki Broto sewaktu bermain
judi dekat makamnya Ki Bayan Sosro, tepatnya dibawah pohon kepoh, ada tempat
yang dirancang khusus oleh Ki Bayan sendiri.” Bapak memberikan keterangan.
“Siapa Ki
Broto bapak?” tanya mereka.
“Ki Broto itu
juru kunci sebelum bapak, ia yang mewariskan keterangan-keterangan tentang Ki
Bayan Sosro pada bapak. Hingga akhirnya bapak menggantikan Ki Broto menjadi
juru kunci makam Ki Bayan Sosro.”
‘Selama
menjadi juru kunci makam Ki Bayan Sosro apakah ada hal-hal aneh yang dihadapi
bapak?” tanya mahasiswa lagi.
“Banyak,
terutama pada tahun 1978, terjadi hujan deras hampir seharian penuh mulai pagi
sampai pagi lagi, ada banyak kiriman air berkubik-kubik dari daerah lain melalui
Kali Kening yang meluap-luap dan daerah kita ini kebanjiran, namun anehnya
ditengah-tengah sawah ada makam tua yang tak terjamah oleh banjir. Padahal arus
air banjir sangat kencang menerjang apapun tapi tidak pada makam tua itu, yaitu
makamnya Ki Bayan Sosro.” Cerita bapak.
Aku mendengar
cerita bapak dengan seksama, kupahami dan kumengerti bahwa makam tua seperti
gubug ditengah sawah itu bukanlah orang sembarangan dan aku semakin tertarik
ingin megetahui lebih jauh. Ki Bayan Sosro, seorang tokoh underground pada
perang Pantura melawan Daendels bersama dengan Pangeran Ronggo yang tak terima
melihat penderitaan rakyat Jawa sewaktu melakukan pelebaran jalan sepanjang
1000 km itu.
“Ayo, mari
adik-adik kita makan kuenya!” ajak bapak dengan ramah.
“Iya mari,”
mereka pun makan kue bersama-sama.
Bapakpun
melanjutkan membuka dokumen-dokumen kuno Ki Bayan Sosro lagi, dan isinya:
“Pangeran beberapa hari dari
kejadian perjudian di gedung Residence, saya telah disekap oleh tuan Residence,
bersama dengan pengikut-pengikut Residence aku ditanyai tentang pada siapa aku
bekerja, apa saya kenal dengan pangeran? saya jawab kenal namun hanya dari
cerita banyak orang bahwa Pangeran telah melawan Kompeni, sedangkan Tedjo orang
yang saya suruh beli senjata telah mengatakan bahwa yang membeli 250 pucuk
senapan adalah saya. Benar-benar penghianat. Maka saya putuskan untuk
mengakhiri Tedjo agar tidak mengatakan lagi pada Residence setelah saya
dibebaskan dengan membayar seluruh hasil kemenangan perjudianku malam itu
diminta lagi oleh tuan Residence, saya disuruh pulang hanya dengan membawa
pakaian yang saya kenakan. Itupun ditengah perjalanan saya mau dihabisi oleh pembunuh-pembunuh
bayaran, namun untung saya bisa mengatasinya.”
“Tak ada lagi
tanggal dan harinya.”
“Betul.”
Bapak dan
beberapa mahasiswa itupun masih sibuk membuka dokumen demi dokumen dengan tanpa
bosan-bosannya. Beberapa mahasiswa juga sibuk mencatat dokumen-dokumen itu pada
buku agendanya. Memotret, bertanya jawab tiada lelahnya. Aku yang hanya
mengamati dan tidak tahu apa-apa hanya bisa mengatakan dalam hati bahwa,
“mengungkap sejarah bagaikan mengungkap sisi kebenaran meski buram sekalipun.”
Dan kutahu
lagi bahwa bapak berjudi hanya terinspirasi sang tokoh yang diidolakan yaitu Ki
Bayan Sosro, Dewa Judi Jawa yang tersohor dan judinya tidak untuk dirinya
sendiri tapi untuk rakyatnya yang kelaparan dan tertindas. Sedangkan sawah-sawah
yang mengitari makam tua itu masih menjadi milik Ki Bayan Sosro yang hasilnya
untuk disedekahkan kepada fakir miskin dan orang-orang yang hidup dalam
kemiskinan. Sedangkan sawah-sawah bapak yang terjual akibat perjudian, aku
semakin kagum dan sulit percaya bahwa seorang bapak yang telah mempunyai anak
seperti aku mempunyai jiwa besar seperti Ki Bayan Sosro, terjual bukan berarti
kalah berjudi tapi hasil penjualannya disumbangkan untuk membangun sarana dan
prasarana pendidikan. Bapak dan Ki Bayan Sosro, bertahun-tahun baru sedikit aku
mengetahuinya. Dan maafkan aku bapak dengan prasangka buruk dihatiku. Meski kau
penjudi tapi setidaknya ada sisi kemanusiaan.
Bangilan,
30 September 2016
Cerita ini
hanya berdasarkan imajinasi penulis.
*Penulis adalah Anggota Komunitas Kali Kening, Bangilan-Tuban.

Tidak ada komentar