Pergi ke Surga
Oleh. Rohmat Sholihin*
Jum’at
yang cerah. Setelah hampir semalam hujan turun begitu derasnya, membuat aliran
sungai Bengawan Solo ikut naik. Namun tak juga mengurangi niat Barik menyeberangi Bengawan yang airnya pasang
untuk pergi ke pasar dengan mengendarai perahu. Mengambil uang di ATM kiriman
dari orang tuanya untuk kebutuhan di asrama pondok. Kehidupan santri tak jauh
beda dengan kehidupan anak kos-kosan jika tanggal muda juga sangat menunggu
kiriman uang dari orang tua dirumah. Untuk beli kitab, untuk beli buku, untuk
beli keperluan-keperluan lainnya. Dari fajar sebelum sholat shubuh ia sudah
mandi, sholat berjamaah dan bersiap-siap pergi ke pasar yang lokasinya sangat
dekat jika ditempuh dengan naik perahu. Bisa ditempuh dengan waktu lima belas
menit.
“Rik, kamu jadi ke pasar? Aku mau
nitip belikan sandal jepit ya.” Tanya teman kamarnya.
“Sandal jepit?”
“Iya, sandal jepitku hilang.”
“Kok bisa hilang. Tak mau kang,
aku tak jadi ke pasar.”
“Katanya tadi mau ke pasar. Kok
tak jadi. Tak tahu kemarin habis ngaji terus hilang, entah siapa yang bawa?”
“Malas kang, pinginku pergi ke
surga saja.” Sambil senyam-senyum menggoda teman kamarnya.
“Ah kau Rik, menggodaku saja,
semua orang juga mau pergi ke surga, Rik. Siapa yang tak mau pergi ke surga?”
“Ayo, kuajak ke surga kang!, oh
iya nomor berapa sandalmu kang?”
“Nomor 11 Rik, jepit warna biru
ya. Emangnya gampang pergi ke surga?”
“Gampang tinggal ikut aku,
beres.”
“Surga soto ayam Babat-Lamongan
ya.”
“Ha…ha…bisa juga, boleh-boleh.
Soto ayam dekat pasar Babat itu enak.” Barik hanya tertawa lepas.
“Tidak Rik, aku mau bantu
bersih-bersih Gus Maksum. Kapan-kapan saja jika ada waktu luang, lagian sungkan
sama Gus Maksum kemarin malam aku ditunjuk langsung.”
“Oh ya sudah. Tapi hanya berlaku
sekali ini ya kang, besok-besok sudah tak ada lagi.” Senyum manis dari bibir
Barik terasa lain. Seakan-akan ia ingin berangkat ke surga beneran.
“Ini uangnya Rik. Suwun ya.”
Barik hanya mengangguk pelan sambil tersenyum.
“Ya kang, sampai jumpa disurga ya
kang,”
“Ah kau Rik bisa saja. Aamiin. Aku
juga akan pergi ke surga membantu Gus Maksum bersih-bersih ruangan untuk mengaji.”
“Iya kang.”
“Aku berangkat dulu kang!” Teriak
Barik sambil berlalu meninggalkan tubuhku yang masih mematung seakan-akan ada
sesuatu yang berkesan dihatiku. Ada perasaan berat melepaskan bayangannya
berlalu dari hadapanku. Sekejap tubuh Barik hilang dibalik kamar Pondok yang
berjajar-jajar. Akupun berlalu menuju ruang Gus Maksum.
***
Sampai
di pinggir Bengawan Solo Barik dan kawan-kawan sedang mengantri menunggu
jemputan perahu yang akan menyeberang. Airnya sedang pasang, berduyun-duyun
siap menerjang. Wajahnya menatap air. Ada sesuatu yang tak bisa dikeluarkan
dari dalam batinnya. Mengawang, mengikuti arus air, hatinya seakan-akan bicara
dengan dirinya sendiri yang tak bisa diungkapkan, ada banyak bayangan-bayangan
tercerabut dari kepalanya, bayangan pasar, bayangan bapak-ibunya, bayangan
adiknya, bayangan sandal jepit, bayangan soto ayam, bayangan kitab, bayangan
ATM, bayangan perahu, dan bayangan-bayangan lainnya bahkan bayangan pergi ke
surga meski tak tahu jelas surga seperti apa gambarnya.
Perahu
tak juga kunjung datang, terseok-seok mengarungi ganasnya air Bengawan Solo
yang sedang pasang. Dengan mengambil posisi beberapa meter ke depan baru juru
kemudi perahu berani memutar mengikuti arus air yang kencang agar ketika belok
punya area lengkung dan tepat pada lokasi pemberhentian. Perahu tidak
disejajarkan berjalan lurus dari titik A ke B karena tak bakal kuat perahu
menahan arus air yang kencang. Lama Barik dan kawan-kawannya menunggu perahu
datang, tak sabar ingin segera ke pasar sebelum siang datang. Karena waktu
luang untuk belanja hanya dibatasi sampai jam 10.30, dan setelah itu harus bersiap-siap
melakukan sholat Jum’at atau jum’atan bersama dimasjid pondok. Sehingga harus
menggunakan waktunya jangan sampai melebihi jam 10.30. Tak sabar ingin segera
sampai ke pasar.
Setelah
lama menunggu, perahunya datang. Santri-santri itupun berhamburan segera naik
ke atasnya. Barik ragu karena perahu telah penuh dengan penumpang namun atas
desakan kawan-kawannya, ia pun juga ikut naik. Perahupun berlalu dengan tak
nyaman, kekuatan perahu tak sebanding dengan penumpang dan besarnya arus, jika
oleng sedikit saja bisa-bisa terbalik, ternyata hukum keseimbangan mulai tidak
diperhatikan oleh juru kemudinya. Meski perahu tetap juga berjalan namun
berbahaya.
“Tolong untuk semuanya tak usah
banyak bergerak, ikuti saja laju perahu!” perintah juru kemudi perahu. Barik
dan kawan-kawan semakin panik. Air yang berwarna coklat bercampur lumpur itu
bergulung-gulung datang terus menerjang perahu yang kecil dengan muatan yang
melebihi kapasitas penumpang. Perahu terus melaju meski geol-geol lajunya, hati
Barik semakin miris dan tegang meski yang lain masih saja terlihat cengengesan.
“Awas kang, ada buaya!”
“Di sini tak ada buaya.”
“Yang ada hanya buaya darat, itu
dekat Barik.”
“Siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan kamu.”
“Ah sialan, kau sendiri yang
baunya darat, eh buaya darat.”
“Ha…ha…bilang buaya darat saja
tak bisa.”
“Sudah, sudah tak usah bercanda,
bahaya ini lo.”
Barik semakin tegang dan banyak
diam, matanya mengikuti arus air yang terus menerjang perahu yang oleng ke
kanan dan ke kiri. Mulutnya sedikit komat-kamit, sepertinya melafalkan doa-doa
agar selamat sampai tujuan. Maklum umurnya masih sangat muda dibanding
kakak-kakak kelasnya yang sudah hampir 18 tahun, sedangkan ia masih 13 tahun.
Ia menyadari jika dirinya tak bisa berenang. Ia lihat daratan masih lumayan jauh,
matanya tak sabar terus memandang tanggul yang masih berjarak sekitar 10 meter
itu. “Ayo cepat sedikit, ya Allah berikan perlindungan padaku dan teman-temanku
ya Allah.” Batinnya. Dan arus air
bengawan semakin kuat sedangkan kapasitas kapal semakin terhuyung-huyung
seperti petinju yang kena pukulan lawan, terombang-ambing ke kanan dan ke kiri,
seisi perahu menjerit histeris. Juru kemudinya mencoba menenangkan para
penumpangnya, namun apa daya jika rasa panik telah hinggap dihati. Dan, rasa
panik itu telah membuat seisi penumpang perahu kalang kabut laksana tragedi
kapal Titanic yang besar itu terbelah menjadi dua. Perahu yang ditumpangi 25
santri itupun terbalik.
“Byuuuur,” disertai dengan suara
kepanikan-kepanikan minta tolong.
“Kang, tolong kang, kang tolong
aku kang,” suara riuh melolong minta untuk ditolong namun apa daya, kekuatan
arus bengawan yang begitu kuat dalam sekejap suara kepanikan itu pun
perlahan-lahan mejadi hilang. Tubuh Barik terlihat menyembul, hilang,
menyembul, hilang, lalu hilang ditelan arus Bengawan.
Dalam sekejap orang-orangpun
gempar mendengar berita duka dan berduyun-duyun menuju bengawan untuk melihat
dan membantu untuk mencari beberapa
penumpang yang belum bisa diketemukan dan diselamatkan. Termasuk teman kamar
Barik yang mendengar berita itu langsung meloncat dan berlari menuju pinggir Bengawan
namun apa yang bisa dikerjakan?, hanya memandang hamparan air yang
bergulung-gulung, coklat, pekat, dan mengerikan. Tubuhnya hanya lunglai terdiam
dengan seribu tanya dan harapan semoga mereka masih bisa diselamatkan meski
dalam hatinya ada keraguan.
“Allahu Akbar! Baaaariiik, semoga
kau pergi ke surgaaaa, seperti apa yang telah kau katakan tadi.” Teriak teman
kamar Barik yang masih setengah tak percaya. Namun tak juga Barik muncul ke
permukaan. Hanya bayang-bayang wajahnya yang tersenyum ketika sebelum berangkat
ke pasar untuk kutitipi sandal jepit. Senyumnya, candanya, menggugah hati akan
kerinduan tentang kalimatnya, “Ya kang, sampai jumpa disurga ya kang,”
Hingga beberapa hari berlalu
jenazahnya telah diketemukan oleh tim penyelamat. “Semoga kau tenang di surga
Allah, sahabatku, Barik dan kawan-kawan yang telah mati tenggelam di Bengawan.
Al Fatikhah.” Doaku dalam kesunyian dan kesepian dikamar pondok ditemani
samar-samar bayangan wajah-wajah mereka
tanpa dosa.
Babat, 9-10-2016
Mengenang tragedi Bengawan Solo atas perahu yang
terbalik dan meninggalnya 7 santri Pondok Langitan akibat tenggelam. Semoga
atas kejadian itu menjadi pelajaran berharga tentang keselamatan penyeberangan dengan
perahu. Dan semoga para korban mendapatkan tempat yang terbaik di sisiNya.
Aamiin.

Tidak ada komentar