Sebuah Kisah Tentangmu, Rey
Oleh : Linda Tria Sumarno
Hempasan
angin menerobos masuk ke jendela bus yang kunaiki, menerpa dingin wajahku yang
memerah karena sinar matahari yang begitu menyengat kulit. Ujung jilbabku
mengayun mengikuti hembusan angin yang menyapa tiap-tiap pohon cemara
yang berjajar rapi di pinggir jalan, seolah menyambut ramah tiap-tiap yang
bernyawa dan memberi damai untuk tanah yang kering menantikan datangnya musim
hujan. Bus mulai berjalan lambat saat mulai memasuki Bumi Manunggal.
“Pohon
Cemara ini sudah semakin tinggi Rey, setinggi harapanku untuk bisa kembali
bertemu denganmu. Pohon yang dulu selalu kita lewati ketika berangkat kuliah.
Kau bonceng aku dengan motor tuamu. Ya, motor tua yang kau bilang kekasih
keduamu setelah aku. Dan kini, aku datang Rey, menjemput kenangan yang
seharusnya tidak lagi menjadi sengkarut di pikiranku” Ucapku pelan sambil
menarik nafas untuk mengusir gundah yang membuat detak jantungku berirama tak
beraturan. Berkelebat bayanganmu memenuhi bulat mataku. Mata yang dulu
membuatmu jatuh cinta dan mata yang kau buat menangis berlama-lama karena
kepergianmu. Masihkah kau ingat Rey, sekuntum bunga mawar hitam yang kau beri
padaku dulu masih kusimpan rapi di laci kamarku, meski tiap-tiap kelopaknya
mulai terlepas dari tangkainya, kau tahu mengapa aku masih menyimpannya Rey ?
Karena itulah satu-satunya kenangan yang masih tertinggal. Tanda mata yang
bercerita meski tanpa kata. Dan aku tahu bunga itu kau dapatkan dengan susah
payah, yang karenanya kau harus membayar mahal untuk bisa mendapatkannya.
Bunga mawar hitam kesukaanku, yang mekar hanya dua kali dalam setahun dan hanya
bisa tumbuh di daerah yang sedikit intensitas cahaya mataharinya sehingga
menjadikan warna kelopak bunga menjadi ungu tua pekat menyerupai warna hitam.
Bunga yang tidak hanya ada dalam sebuah dongeng.
Lamunanku
buyar saat bus yang ku tumpangi berhenti pelan di depan klenteng yang
bersimbolkan kepiting yang berada tepat di atas pintu gerbangnya. Klenteng yang
konon terbesar seAsia Tenggara dan dengan berani menantang laut lepas yang
terhampar luas di depannya, dengan sejarah yang dulu begitu apik kau ceritakan
padaku Rey. Ya, kau memang begitu peduli dengan kisah yang mengawali suatu
kejadian. Katamu, sungguh memalukan kalau buta dengan sejarah, apalagi sejarah
kota kita tercinta ini. Kota Tuban yang menyimpan dan sarat dengan
cerita-cerita menarik yang melegenda. Dulu, sambil menikmati hangatnya susu
jahe kesukaanku di warung yang sering kita kunjungi, kau bercerita tentang Dewa
Kwan Kong yang menjadi dewa utama dipemujaan ajaran Tri Dharma selain delapan
dewa yang patungnya berjajar rapi di dalam Klenteng. Juga banyaknya pengunjung
yang datang dari Semarang, Surabaya juga dari Malaysia dan Singapura yang
dengan khusuk melakukan ritual Fung Shen untuk memecahkan permasalahan mereka
dengan melepas burung-burung kecil ke udara atau dengan menuliskan do’a-do’a di
tempurung kura-kura, mereka merapal do’a dan melepas burung serta kura-kura itu
ke laut dengan harapan lepas pula permasalahan mereka seiring hilangnya
binatang-binatang sakral itu dari pandangan.
“Klenteng
Kwan Sing Bio dibangun pada abad 18 di daerah tambak yang dipenuhi oleh
Kepiting“. Ucapmu sambil memandang lepas laut yang pekat oleh malam yang memang
saat itu gelap oleh mendung, dan kopi pahit kesukaanmu, kau biarkan hangatnya
hilang oleh angin malam yang semakin dingin menembus pori-pori kulit. Dan kau
tahu aku sangat benci angin malam karena hanya akan membuat asmaku kambuh.
Karenanya lekas kau sudahi dongengmu dan mengantarkanku pulang.
Lamunanku
terhenti saat para penumpang mulai turun satu per satu dari bus dan akupun juga
melangkah gontai menuju sebuah kedai kopi untuk menyesap pahit rasa kopi dan
mencium wangi aromanya. Aku mengambil tempat duduk di pojok kedai tepat di
sebelah tempat parkir. Ku lihat tukang parkir mengumpat pada seorang pengendara
motor yang hampir saja menabraknya. Aku tersenyum kecut.
“Permisi
mbak, ini kopi pahit pesanan mbak”. Pelayan itu menaruh secangkir kopi di
depanku dan aku tak bergeming. Sengaja aku pesan kopi pahit hanya untuk sekedar
mengingatmu Rey. Meski kopi pahit itu nanti akan membuat maag ku kambuh.
Penyakit yang mulai menjangkitiku setelah kepergianmu.
“Kau
melamun Kamila?” Lelaki yang sedari tadi menemaniku dan duduk di
sampingku memandang lekat wajahku. Seolah ingin menelisik kegelisahan lewat
mataku dan segera ku buang pandanganku ke jalan raya agar tak ia lihat mataku
yang mulai berkaca-kaca.
“Hari
sudah semakin siang, kita harus segera pergi dan sampai di sana sebelum penjual
bunga pulang dengan riang karena bunga dagangannya habis”. Kataku mengalihkan
pembicaraan dan beranjak membayar bill di kasir. Lelaki itu
membuntutiku.
“Kamila,
aku tidak ingin lagi melihat air mata menetes dari matamu, cukup sudah kau
kungkung dirimu dalam kenangan yang membuatmu lebih tua dari usiamu”. Seperti
yang sudah-sudah lelaki itu begitu tenang mengucapkan kata-kata itu, tak
sedikitpun ia goyah menghadapi keegoisanku. Ia genggam erat tanganku dan
membawaku keluar dari kedai kopi.
“Kita
naik angkot saja” Ucapku acuh sambil melambikan tangan ke arah angkot berwarna
kuning. Angkot yang dulu begitu setia mengantarkanku kemana saja sebelum aku
berjumpa denganmu, Rey. Karena setelah perjumpaan kita, kaulah yang dengan
setia menjadi pengantarku. Kau tak ingin debu jalanan dan asap angkot membuat
asmaku kambuh. Kau begitu peduli padaku Rey, bahkan melebihi kepedulianmu pada
hidupmu sendiri.
“Kemana
Mbak?” Tanya sopir angkot yang tak kujawab dengan segera.
“Jalan
Pahlawan Pak”. Jawab lelaki yang begitu setia menemaniku sambil menyodorkan
uang sepuluh ribu.
Angkot
berjalan pelan karena sesaknya penumpang, maklum angkot memang menjadi salah
satu alat transportasi yang begitu disukai penduduk Tuban, karena tarif yang
terbilang murah. Hanya dengan Rp.5.000,00 sudah bisa mengantar penumpang
untuk berkeliling kota yang terkenal dengan kota Seribu Goa ini, ya Goa Akbar
yang dulu sering menjadi tempatmu melabuhkan penat Rey, karena kau begitu
menyukai bau kelelawar yang bersarang di dalam gua itu sambil menikmati tetesan
air yang menetes dari stalagmit dan stalagtit gua yang meruncing bak pikiranmu
yang terus kau asah untuk menyelami tiap inci sejarah kota Tuak ini. Kau memang
bercita-cita untuk menjadi seorang antropolog, namun takdir yang
menghantarkanmu untuk terdampar di bangku kuliah jurusan Pendidikan di kampus
Unirow Tuban, kampus yang mempertemukan kita Rey. Kampus yang menjadikanku
seorang pegiat di bidang jurnalistik dan menjadikanmu seorang pendaki di sebuah
komunitas mahasiswa pecinta alam yang kau lebih suka menyebutnya Mahipal.
“Pantai
Boom Pak”. Seorang penumpang mencolek bahu sopir dan angkot berhenti tepat di
depan Pos Polisi yang berada di samping timur pintu masuk pantai Boom.
Pandanganku berhenti pada toko tua yang terletak di sebelah barat pos polisi.
Toko buku Pustaka yang dulu sering kita kunjungi Rey, tempat di mana aku
mencari buku-buku kesukaanku. Tak pernah sedikitpun kau protes ketika harus
berjam-jam menungguiku memilih buku-buku karya Pramoedya yang akan ku beli.
Karena kau tahu, aku begitu menyukai karya Pramoedya. Dan setelahnya, kau
mengajakku duduk di bibir Pantai Boom untuk menikmati indahnya matahari yang
akan pulang ke peraduan. Ya, itulah ritual yang selalu kita lakukan setiap
minggu sore, Rey. Melihat para nelayan yang mempersiapkan perahunya dengan
menenteng jala yang menjadi penyambung hidup mereka. Dan terkadang, para
nelayan mengalungkan sarung di punggungnya dengan hanya memakai celana dalam
tanpa sehelai benang pun menutupi badan mereka yang gelap karena jahatnya panas
matahari yang membuat kulit mereka semakin pekat. Dan kau tersipu menggodaku
sambil berujar “Jaga pandangan, agar kau terjaga dari zina mata”. Ucapmu dengan
senyum menghiasi bibirmu.
Riak-riak
kecil ombak pantai Bom yang mencoba mencium bibir pantai, seolah menjadi melodi
rindu yang membuatku selalu ingin berlama-lama duduk denganmu. Dan entah apa
yang ada dipikiranmu saat itu, karena kau hanya diam memandang puluhan
perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki dengan memakai rok mini yang
terkesan dipaksakan pantas untuk tubuh kekar mereka, juga balutan make up yang
semakin aneh ketika terkena sinar matahari di senja kala itu . Kau pandang
mereka dengan detail dan diam-diam kau abadikan setiap liuk gerakan mereka
dalam kamera ponselmu.
“Kita
sudah sampai Kamila”. Lelaki yang bersamaku menepuk bahuku dan membuat kenangan
yang baru saja ku jalin tercecer di tiap-tiap sudut hatiku. Dan sebelum ku
rangkai lagi kenangan itu, lelaki yang menemaniku menuntunku turun dari angkot.
“Seharusnya
kau biarkan aku bercumbu dengan masa yang telah lama ku tinggalkan”. Ucapku
pelan dan hilang bersama deru angkot yang pergi meninggalkan kami. Hanya asap
hitam dari angkot yang menyeruak ke dalam paru-paru dan membuatku
terbatuk-batuk. Kau ulurkan sapu tangan yang sedari tadi berada di saku
celanamu.
“Terima
kasih”. Ku tutup rapat hidung serta mulutku berharap asap yang membuat polusi
udara itu menghilang seiring hembusan angin.
Aku
berdiri mematung di pinggir jalan, ku biarkan angin memainkan ujung jilbabku.
Ku atur ritme nafasku yang mulai tidak beraturan. Ku tahan air mata yang mulai
hangat memenuhi sudut mataku. Seakan ada beban berat pada kakiku untuk
melangkah. Bayanganmu semakin hebat bermain di mataku Rey. Dan itulah yang
membuatku begitu rapat menutup hatiku selama ini.
“Kamila,
apakah kau hanya akan memandang dari tepi jalan seperti ini?” Lelaki itu
menyeka air mata yang mulai setetes demi setetes membasahi hangat pipiku.
“Kau
tidak boleh seperti ini, kau perempuan tangguh Kamila. Dan kau tahu itu”. Ia
usap lagi air mataku yang seolah semakin deras mengalir tanpa bisa aku
menghentikannya.
“Duduklah
dulu.” Lelaki itu menuntunku dan mendudukkanku di bangku panjang yang berada
persis di depan toko bunga.
“Minumlah,
aku akan membeli bunga. Kuatkan hatimu dan semua akan baik-baik saja”. Katanya
meyakinkanku sambil memberikan sebotol air yang dibelinya dari toko sebelah dan
aku mulai menata hati. Tak ada lagi air mata yang menetes dan nafasku pun sudah
mulai teratur serta itu pertanda baik untuk kondisi psikisku.
“Ini
bunga terakhir, untung penjual bunga itu masih punya sekeranjang bunga untuk
kita”. Lelaki itu duduk di sebelahku dan memegang pundakku pelan.
“Sekarang
saatnya kau tinggalkan semua kenang bersama taburan bunga ini. Dan biarkan aku
yang akan melanjutkan cerita indah di hidupmu, Kamila”. Ucap lelaki itu
menatap lekat wajahku dan akupun mengangguk pelan. Ia membantuku bangkit dari
duduk ku. Kakiku yang tadi seakan lumpuh oleh otot-otot penopang yang melemas,
kini kuat kembali ketika mendengar kata-katanya yang menyejukkan hatiku.
Kupandangi wajahnya yang teduh dan kuulas senyum di bibirku.
“Aku
siap merajut hari bersamamu, Reno”. Ucapku sambil melangkah memasuki pemakaman.
Ya, pemakaman tempat kau beristirahat dalam tidur panjangmu Rey. Dan ini adalah
untuk kesekian kalinya aku datang mengunjungimu. Sekarang, kali terakhir aku
datang dengan tangis. Karena minggu depan aku akan menikah Rey. Menikah dengan
lelaki yang begitu sabar mengurai sengkarut kenangan bersamamu. Ya, kenangan
yang begitu sulit ku singkirkan dari otakku. Kau ingat Rey, dua minggu sebelum
kita menikah, kau pamit untuk mendaki gunung. Hobi yang sudah 5 tahun kau
tekuni. Kau memang begitu mencintai alam, terutama gunung. Karena katamu,
ketika kau berada di puncak gunung disitulah kau bisa merasakan nikmat Tuhan
yang terkadang dilalaikan manusia, merasakan kedamaian yang sempurna dengan
guyuran cahaya bintang dan merasakan ketenangan jiwa dalam dekap malam. Di
puncak gununglah, kau bisa dengan syahdu bertafakur dan bercumbu dengan alam
juga dengan Tuhanmu. Meski di puncak gunung juga kau hembuskan nafas
terakhirmu karena hipotermia yang menyerangmu. Kau kesulitan mengatur suhu
tubuhmu untuk mengatasi tekanan suhu dingin gunung Lawu kala itu akibat hujan
yang mengguyur puncak Lawu. Malam setelah kau pamit untuk mendaki gunung Lawu,
hujan deras juga mengguyur Tuban. Aku panik dan mencoba menelponmu berulangkali
untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja, namun aku kembali tercekat dalam
risauku kala ku ingat telepon genggammu tertinggal dan jaket yang biasa
menghangatkanmu saat mendaki gunung juga masih berada di gantungan baju di
kamar kost mu. Entah kau lupa membawanya atau memang itulah jalan kau untuk
berpulang.
“Biarkan
Rey beristirahat dengan tenang, jangan kau bebani dengan ratapmu”. Ucap Reno
lelaki yang menemaniku dan yang akan mempersuntingku. Ia membuyarkan
lamunanku, menerbangkan kenangan 4 tahun silam saat Rey pergi meninggalkanku.
Tepat dua minggu sebelum kami menikah.
“Jangan
hanya kau tabur bunga di pusara Rey, karena do’a dan keikhlasanmulah yang akan
membuat Rey tenang, Kamila”. Reno memandangku lekat, dan untung saja tidak ada
setetes air matapun yang jatuh dari mataku. Karena aku tahu, itu hanya akan
melukai hatinya.
“Kuikhlaskan
kepergianmu, Rey. Dan semua kenang, biar hilang bersama angin sore ini”. Ucapku
sambil menatap lembut nisan Rey. Ku bersihkan nisan itu dari debu yang
menempel.
“Sudah
hampir malam, saatnya kita kembali pulang Kamila, bulan depan kita kesini
lagi”. Reno merapikan jilbabku yang mulai tak beraturan karena angin yang
berhembus kencang. Aku mengangguk pelan dan mengusap tanah pusara Rey
berulang-ulang seolah-olah ingin meninabobokannya agar tak terbangun karena
suara Reno.
“Beristirahatlah
dengan tenang Rey, tak usah khawatirkan aku. Ada Reno yang akan menjagaku”.
Ucapku pelan sebelum meninggalkan pusaramu. Dan bersama itu pula ku tinggal
semua kenanganku bersamamu, ku lepas cincin pertunangan yang berukirkan namamu,
Rey. Ku kubur di tanah pusaramu, berharap semua cerita tentangmu ikut terkubur
bersamanya. Biarlah sekuntum mawar hitam yang akan tetap ku simpan di laci
kamarku dan namamu tetap ku tulis dihatiku. Hujan nantinya yang akan menghapus
setiap jejak kaki kita yang pernah terukir di bumi Ronggolawe ini.
Selamat
tinggal Rey, tenanglah di alammu...

Tidak ada komentar