Selamatkan Generasi Emas
Oleh : Linda Tri Sumarno
Aku adalah
generasi yang lahir di tahun 80an. Generasi yang sangat mengagumi bulan
purnama, bulan yang sedang bulat-bulatnya dengan sinar yang membalut
tubuh-tubuh kecil kami di pelataran rumah. Masa kecil yang begitu bahagia,
bermain di bawah sinar bulan purnama dengan keriangan yang tak kami buat-buat.
Aku dan teman-teman masa kecilku yang menghabiskan malam tanpa takut terenggut
oleh canggihnya teknologi, tertawa lepas oleh rasa merdeka yang kami
punya. Ya, merdeka dari rasa takut akan penculikan, penganiayaan serta merdeka
dari rasa takut pemerkosaan yang saat ini begitu menghantui anak-anak di bawah
umur. Perasaan bahagia kami yang sampai saat ini masih bisa aku eja dengan
sempurna, perasaan yang mulai langka kita temukan di wajah anak-anak modern saat
ini, anak-anak yang termanjakan oleh fasilitas-fasilitas dan teknologi yang
terkadang memampetkan kreativitas mereka.
Miris,
ketika melihat kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan saat ini yang tidak
dibarengi dengan penanaman karakter. Seakan menjadi bebas dalam arus yang tidak
dapat dibendung lagi.
Arus
globalisasi yang mengharuskan kita menjadi orang-orang yang tanggap dengan
segala situasi, menjadi orang-orang yang dituntut untuk selalu mengikuti
perkembangan zaman, yang terkadang perkembangan zaman yang mulai terasuki oleh
budaya barat yang seakan semakin memudarkan budaya-budaya timur yang merupakan
identitas bangsa Indonesia.
Canggihnya teknologi bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan dari dampak globalisasi, kita bisa dengan mudah mengakses berbagai informasi dari dunia maya. Kemudahan mengakses informasi melalui internet ini diakui ataupun tidak telah mampu menurunkan minat baca anak juga orang dewasa untuk membaca buku. Suatu kegiatan yang saat ini begitu jarang kita temui pada anak-anak. Buku bacaan seolah menjadi barang langka yang bisa kita temui di kamar anak, di laci buku anak, bahkan di dalam rumah kita, orang dewasa.
Canggihnya teknologi bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan dari dampak globalisasi, kita bisa dengan mudah mengakses berbagai informasi dari dunia maya. Kemudahan mengakses informasi melalui internet ini diakui ataupun tidak telah mampu menurunkan minat baca anak juga orang dewasa untuk membaca buku. Suatu kegiatan yang saat ini begitu jarang kita temui pada anak-anak. Buku bacaan seolah menjadi barang langka yang bisa kita temui di kamar anak, di laci buku anak, bahkan di dalam rumah kita, orang dewasa.
Belum lagi
masalah-masalah kekerasan fisik juga sosial yang terjadi pada anak-anak
merupakan salah satu dampak dari era yang semakin modern ini. Begitu
tersayatnya hati ini ketika seorang anak SD mampu membunuh temannya sendiri
hanya karena tidak diberi uang Rp. 1.000,00, juga betapa menangis hati ini
ketika melihat anak SD mampu memperkosa teman sekelasnya hanya karena efek dari
melihat film Porno.
Kekerasan
seksual pada anak-anak memang menjadi permasalahan yang sangat memprihatinkan.
sebuah kasus nyata yang terjadi di suatu daerah, kasus yang menimpa anak-anak
yang masih mengeyam pendidikan di Sekolah Dasar, hampir 55 % anak-anak mulai
kelas 1 sampai kelas 6 SD sudah melakukan pencabulan terhadap teman sendiri,
terhadap anak-anak TK, bahkan kepada adik kandungnya sendiri. Pencabulan
terjadi dilatarbelakangi oleh kondisi lingkungan, kondisi sosial, kondisi
geografi juga kondisi budaya yang terbentuk di masyarakat tersebut. Anak-anak
bau kencur tersebut telah mendapatkan pelecehan seksual bahkan ketika mereka
masih duduk di bangku TK. Sehingga kejadian itu begitu membekas di hati dan
pikiran mereka sehingga ketika mereka mulai duduk di bangku SD melakukan hal
yang sama terhadap temannya, terhadap adik kelasnya bahkan yang lebih mengiris
hati, terhadap adik kandungnya sendiri yang masih belum bersekolah. Sungguh
suatu keadaan sosial yang sudah berada di bawah standart toleransi. Sebuah
kasus yang semoga cepat terselesaikan dan tidak menjadi mata rantai yang tidak
akan pernah putus.
Dan pendidikan
yang seyogyanya mampu menjawab permasalah-permasalahan tersebut, ternyata masih
belum mampu mencabut akar dari permasalahan yang ada. Penanaman karakter
ternyata masih sekedar menjadi slogan dan program pendidikan yang belum
sepenuhnya terealisasi. Menurunnya etika-etika dan tata krama anak-anak sekolah
menjadi PR untuk dunia pendidikan, sekolah, juga guru-guru yang ada di seluruh
Indonesia.
Penanaman karakter kepada anak didik
seharusnya diawali dari perbaikan karakter para guru. Hal ini dikarenakan,
anak-anak merupakan peniru yang baik. Sebuah teladan akan lebih mudah diikuti
oleh anak-anak daripada celotehan nasihat yang kita berikan. Tidak selayaknya
kita mengatakan kepada anak didik untuk membuang sampah pada tempatnya
sedangkan guru masih membuang sampah sembarangan, juga tidak sepatutnya kita
mengatakan pada anak-anak untuk menjauhi rokok yang menyebabkan berbagai macam
penyakit sedangkan guru masih dengan bebasnya merokok di depan anak-anak.
Ketika para guru masih sering terlambat datang kesekolah, akan semakin sulit
menanamkan kedisiplinan pada anak-anak. Ketika para guru masih sering memendam
rasa iri, amarah, ngrasani sesama teman guru, maka akan sulit
menanamkan kecerdasan emosional pada anak. Karena energi negatif yang keluar
dari para guru, akan menghasilkan energi yang negatif juga untuk lingkungan
sekitar tak terkecuali pada anak-anak didik. Namun, ketika para guru mulai
dapat mendisiplinkan diri, mengelola emosi dengan baik, bekerja dengan niat
yang tulus, ikhlas dalam mengamalkan ilmu, maka energi positif akan tersalur
pada anak-anak didik sehingga akan lebih mudah untuk menanamkan karakter yang
positif pada mereka, karena karakter yang positif merupakan pondasi sebuah
bangsa untuk perbaikan keadaan bangsa Indonesia yang mulai sakit ini.
"Mendidik dengan hati, bukan dengan
tangan besi, karena sesuatu yang keluar dari hati akan lebih mudah diterima
oleh hati"
Semoga Allah
selalu menjaga niat kita. Aamiin...

Tidak ada komentar