Haikal dan Sebungkus Bakso
Aulia berlari menuju rumah
mak sun dengan tangis tertahan. ia tergopoh gopoh menyongsong Mak sun yang tengah
membersihkan gerobaknya.
“Mbak yu” mak sun terperanjat
dan Aulia segera meraih mak sun dan memeluknya.
“Kasihaaan Haikal mbak
yu... Apa yang harus ku lalukan hiks” Aulia
berkali kali menyeka air matanya. Mak sun trenyuh melihatnya.
“pergilah...kabar terakhir
yang ku dengar ia menjadi penghuni lembah nganget. Bawalah sebungkus bakso ini
untuknya. Mungkin sekarang ia tengah kelaparan”
Auliya masih saja
sesenggukan. Ia teringat sebelum kutukan hantu Riyanto menggerogoti jiwanya.
Haikal sering kali berlari lari di tengah gerimis untuk meminta semangkok bakso
pada bu de nya itu untuk sekedar menghangatkan tubuhnya. Dan tak lupa juga
sebungkus untuknya. Dan Auliya selalu mengoceh bila Haikal melakukan hal itu.
“kau selalu saja melakukan
ini Haikal... Kau tak malu pada bu de mu. Kau mau di kutuk menjadi sebutir
bakso..?” dan Haikal selalu tersenyum menanggapinya. Karena ia tahu pada
akhirnya ibunya akan melahap habis bakso itu.
Auliya menerima sebungkus bakso itu dan
berlalu meninggalkan mak sun dengan sisa sisa airmatanya.
“Kau akan pergi dengan
siapa?” dengan tiba tiba mak sun menghentikan langkahnya. Auliya tak menjawab.
“kau bisa pergi dengan
Kafi. Kau tunggulah di rumah. Ia akan secepatnya mengantarmu”
***
Sementara di lembah nganget Haikal semakin
terpuruk. Dari bangun tidur ia selalu di bayang bayangi wajah Meylinda yang
tersenyum manis saat datang menemuinya di jembatan kali kening dan bayangan
wajah Meylinda menangis di kursi pelaminan. Disetiap senja datang ia selalu
meraung raung histeris. Menendang nendangkan kakinya, menghantam hantamkan
kepalanya di pepohonan. Ia terus menerus mencercau menyebut nama Meylinda dan
akan kembali tenang saat malam menjelang. Ketenangan yang ia dapatkan karena
kelelahan dan akhirnya tertidur. Suara dengkurannya begitu parau, nafasnya
tersengal tak beraturan, matanya terpejam tak sempurna dan ada bekas airmata di
sana. Tubuhnya kurus dan belepotan. Ada bekas luka di kakinya bahkan ada juga
beberapa luka baru di tangan dan pelipisnya. Entah apa yang di impikan Haikal
saat tertidur dalam pelukan hantu Riyanto. Mungkin Haikal bermimpi mengejar
ngejar hantu Riyanto yang sedang berlarian membawa Meylinda. Atau mungkin hantu
Riyanto yang sedang tertawa terbahak bahak melihatnya dan memamerkan bayang
bayang Meylinda yang tengah memeluk mesra suaminya dan bercanda ria dengan anak
anaknya. Dan mungkin karena itu juga Haikal menendang nendang gubuknya hingga hampir roboh dan melenguh
bak lolongan anjing dalam tidur kelelahannya itu
“Haikaaal...” sebuah suara
lembut menggelitik telinganya. Dalam tidurnya ia berharap itu suara Meylinda.
Ia tergagap dan terbangun. Haikal terperanjat, bukan Meylinda yang di lihat
nya. Auliya, ibunya tengah duduk di hadapannya dengan wajah sendu. Wajahnya di
belai dengan kasih sayang.
“cung ..nggerr kenapa jadi
seperti ini?” Haikal menatap kosong raut muka ibunya. Sementara Auliya
memandang area lembah yang begitu sunyi dan gelap. Kafi beberapa kali berusaha
menyalakan lampu senternya untuk membantu Auliya agar bisa melihat Haikal.
“Kau pasti kelaparan ngger...
Apa yang kau makan di sini?” Auliya mengeluarkan sebungkus bakso pemberian Mak
sun yang sudah tidak lagi hangat. Haikal terperangah dan ada sedikit rona
bahagia disana.
***
Sementara di sebuah rumah,
Meylinda memandang pagi yang runyam. Bayangan Haikal saat menerima surat
darinya menyesakkan hatinya. Padahal senja itu Haikal berjanji akan memberi
sebungkus bakso untuknya. Ia dan Haikal makan bakso dalam plastik yang di gigit
ujungnya. Ah.... Shalihin merenggut semuanya.

Tidak ada komentar