HAIKAL : PERTAPA DI LEMBAH CINTA
Oleh
: Linda Tria Sumarno
Hari
belum juga sore, namun mendung mulai bergelayut manja di arak-arakan awan.
Langit yang sedari pagi terang bak mata bidadari, berubah menjadi pekat, suram
dan menakutkan. Meylinda memandang
syahdu mendung dengan pandangan nanar, diantara suramnya langit terlihat seraut
wajah Haikal yang menunduk. Dari sebalik matanya, terlihat bulir-bulir kristal
yang menetes bak air hujan yang belum lagi turun sore ini. Lamunan Meylinda buyar
ketika sesosok laki-laki gagah menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Dan
dialah suaminya, lebih tepatnya suami pilihan Bapaknya : Sholihin.
“Masuklah dik,
hujan sebentar lagi akan turun. Aku tidak ingin suara halilintar nanti
merusakkan telingamu”. Ucap suami Meylinda sambil memegang dagu Meylinda yang
lancip. Meylinda hanya memandang suaminya dingin, ia rasai betul rasa sayang
Sholihin padanya. Perlakuan Sholihin yang lembut dan tulus seolah-olah
menjadikan Meylinda seorang Ratu di kerajaan kecil hatinya.
“Sebentar Bang, aku
menunggu Mak Sun. Lama aku tidak mencicipi baksonya, sejak kita menikah”. Belum
lagi selesai Meylinda berucap, sebuah suara denting mangkok terdengar
melengking, membelah angin yang mulai ribut berhembus. Dan meuncullah sebuah
gerobak bakso di depan rumah Meylinda. Hanya dengan melambaikan tangan, gerobak
bakso itu berhenti. Meylinda beranjak malas mendekati gerobak bakso Mak Sun.
“Bakso Neng’. Ucap
Mak Sun sambil menundukkan kepala tanpa melihat wajah Meylinda, apalagi menatap
matanya. Keadaan yang sangat Meylinda benci. Ya, semua orang memperlakukannya
seperti itu setelah ia menikah dengan anak Pak Lurah. Orang paling terhormat di
desa dengan berhektar-hektar tanah dan berpuluh-puluh sapi di dalam kandangnya.
Keluarga priyayi, begitu sebutan Meylinda sekarang. Dan semua orang harus
menunduk memandangnya. Memandang wajah apalagi menatap matanya, ada kesalahan
fatal.
“Kompeni sudah lama
pergi, pun kerajaan-kerajaan sudah lama tumpas. Masih saja kepriyayian ini
melekat”. Gumam Meylinda di antara rintik hujan yang mulai turun.
“Bakso Den Ayu” Mak
Sun mengulang pertanyaannya dan Meylinda memberi isyarat dengan mengangguk.
“Satu mangkok Mak”.
Ucap Meylinda sambil mendekati Mak Sun.
“Den Ayu, ucap Mak
Sun pelan masih dengan menunduk.
“Sudah dengar kabar
tentang Den Haikal?” Ucapnya hati-hati, Mak Sun mengetahui perjalanan cinta
Meylinda dengan Haikal, karena Mak Sun adalah Budhe Haikal. Darah Meylinda
terkesiap mendengar nama Haikal. Meylinda menoleh ke tritis, dan mendapati
suaminya sudah tidak ada. Masuk ke kamar barangkali.
“Memang kenapa Mak,
dia sehat kan?” ucap Meylinda mendesak.
“Dia sakit,
kabarnya dia terkena kutukan Hantu Riyanto. Mengigau namamu terus, jadi gila
dia sekarang. Dan kabar terakhir yang aku dengar, Haikal sekarang menyepi di
Lembah Cinta. Menyendiri atau jadi pertapa mungkin”. Mak Sun berhenti bicara,
mengambil sambal dan menaruhnya dalam mangkuk, bibir Meylinda terkatup, bisu.
Sesak dadanya mendengar berita yang menyakitkan hatinya ini.
***
Sementara
di sebuah tempat di pinggiran hutan. Sesosok pemuda tengah merenung di bawah
pohon beringin besar. Akar-akarnya menonjol keluar, seperti mata orang yang
sedang melotot. Semak-semak di sekitarnya pun semakin menghijau dan liar.
Bergerombol lebat di tiap sisi Lembah Cinta, mirip dengan kumis Mbah Joyo dukun
yang kondang yang dulu pernah mencoba menyembuhkan Haikal dari kenangan yang
menyesakkan ulu hati dan menghimpit Haikal dari berbagai sisi. Di antara semak
itu, terdapat sebuah gubuk tua yang mulai bengkah dindingnya, karena tendangan
maut kaki Haikal ketika kumat gilanya ketika
bayang sosok Meylinda menyergap otak, hati juga matanya. Dan sesosok tegap
seorang pemuda berumur puluhan tahun terduduk bisu memandang langit. Seolah
ingin dicakarnya gurat-gurat langit yang semakin menyudutkannya dalam kenangan.
Ya, dialah Haikal. Seorang lelaki yang kata kebanyakan orang dikutuk menjadi
Bujang Lapuk tidak bisa melepaskan diri dari kutukan Hantu Riyanto.
“Meylinda,
Meylinda..” Hanya itulah yang Haikal igau sejak sebulan terakhir ini.
Kakinya meruncing,
seolah ingin menembus tiap jengkal tanah yang diinjaknya, rambutnya yang dulu
selalu ngelimis, kini semakin bergelombang dan lengket. Wajahnya pun penuh
dengan daki setebal 5 cm. Tangan kekarnya dipenuhi dengan kudis. Seperti orang yang tidak mandi setahun.
“Meylinda......”.
ucapnya sekali lagi sebelum ia jatuh pingsan karena badannya yang gemetar,
hatinya berdegup kencang. Kali ini ia tidak sedang jatuh cinta, namun
benar-benar lapar, sangat kelaparan. Tubuh Haikal akhirnya terjerembab ke
tanah, menelungkup, memeluk bumi. Dan ia jatuh pingsan untuk kesekian
kalinya......
***
Sementara Auliya, ibu Haikal
masih saja tersedu di pojokan kamarnya, memeluk bantal dan menumpahkan
tangisnya di sana. Tak kuat ia mendengar gunjingan para tetangga yang
meributkan Haikal sebagai bujang lapuk. Belum lagi, ketika semua penduduk desa
mengarak anak-anaknya masuk ke dalam rumah dan mengunci semua pintu dengan
palang kayu. Kutukan hantu Riyanto memang sudah hilang tersapu hujan yang turun
setiap sore, namun tidak dengan kutukan Haikal Bujang Lapuk, karena kutukan itu
kini semakin mencekam dan menakutkan. Melebihi kutukan Hantu Riyanto.....
Bersambung
Bersambung

Tidak ada komentar