Kutukan Hantu Riyanto
Ikal Hidayat Noor*
Di kota ini, setiap memasuki bulan November, hujan
seringkali turun tiba-tiba setelah azan Asar dikumandangkan. Langit mendadak
putih pucat dan matahari menghilang seketika, membuat orang-orang segera belari
ke dalam rumah, menutup pintu dan mengunci jendela rapat-rapat.
“Ayo, Nak lekas masuk rumah. Jangan main hujan-hujanan!”
Selalu saja ada suara peringatan semacam itu keluar
dari mulut seorang ibu. Jika hujan turun tepat setelah azan Asar, tak akan ada
yang memperbolehkan anaknya bermain hujan-hujanan atau sekadar duduk di beranda
memandangi bulir-bulir air yang jatuh beramai-ramai menimpa tanah. Jika ada
seorang anak yang melawan, tak segan-segan ia akan dijewer hingga daun telinganya
semerah udang rebus.
Ini bukan perkara hujan semata. Di kota ini, hujan yang
turun secara tiba-tiba setelah kumandang azan Asar adalah hujan yang tak biasa.
Ia adalah hujan yang tak akan berhenti sampai malam datang, bahkan rintiknya
akan terus terdengar mematuki atap rumah kami hingga jam dinding menunjukkan
waktu lewat tengah malam.
Saat hujan seperti itu datang, kota kami lantas
menjelma serupa kota mati yang telah ditinggalkan penduduknya ribuan hari. Tak
ada kedai kopi yang buka, penjual makanan yang setiap malam biasa memadati
jalanan di sepanjang pasar hingga balai kota pun mendadak lenyap. Jalanan
beraspal akan berubah serupa aliran sungai hitam yang mati: basah dan tak ada
satu kendaraan pun yang bergerak di sana.
Kota ini benar-benar mendadak mati. Hanya dingin,
kesunyian dan rasa takut yang tak henti bergentayangan di mana-mana.
Entah sejak kapan hal semacam ini terjadi. Sejauh aku
mampu mengingat, hal ini sudah sangat lama, sejak aku masih kecil, bahkan konon
sudah ada ketika nenekku masih berusia remaja. Dan tak ada yang berubah sampai
puluhan tahun setelahnya. Ketika bulan November tiba, dan hujan turun sesaat
setelah azan Asar dikumandangkan, tak ada seorang pun di kota ini yang berani
keluar rumah.
Sekali lagi, ketakutan ini bukan hanya perkara air
hujan belaka, melainkan karena sebuah cerita (Anda boleh percaya boleh juga
tidak) tentang kutukan Hantu Riyanto.
***
“Nek, Hantu Riyanto itu siapa?”
Suatu hari sepulang sekolah, saat itu aku masih duduk
di sekolah dasar, aku pernah bertanya soal Hantu Riyanto kepada nenekku. Tapi nenekku
hanya diam. Kupikir ia tak mendengar pertanyaanku. Aku bertanya sekali lagi
dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya, namun ia tetap saja bungkam.
Aku memberanikan diri bertanya kepadanya karena tak
mampu menahan rasa penasaranku. Pada malam sebelumnya kota kami mendadak ramai.
Mas Heri, salah seoarang tetanggaku, tiba-tiba saja histeris: menangis, meratap
dan berteriak-teriak tak henti-henti dari selepas magrib sampai tengah malam. Kasak-kusuk
yang beredar di antara kami adalah lelaki yang usianya tujuh tahun di atasku
itu terkena Kutukan Hantu Riyanto.
Nenekku tak juga angkat suara. Ia sibuk menganyam
tikar pandan sambil menonton televisi. Aku tak habis pikir apa yang membuat
cerita tentang Hantu Riyanto seolah haram untuk diceritakan.
“Nek, Hantu Riyanto itu siapa?” Aku bertanya untuk
ketiga kali.
“Hush! Sudah, sana kamu ganti baju dan makan siang.”
Nenekku tak bergeming, ia kembali menyibukan diri dengan anyamannya, seolah tak
ada suatu hal yang baru saja terjadi di antara kami.
Sampai usiaku menginjak remaja, cerita tentang Kutukan
Hantu Riyanto dan hubungannya dengan hujan yang tiba-tiba turun setelah azan
Asar, tak pernah benar-benar terang di kepalaku. Cerita itu hanya
sepotong-sepotong saja bagaikan sebuah puzzel atau teka-teki yang meminta untuk
ditata satu persatu terlebih dulu agar lahir
sebuah pesan yang utuh.
***
Menurut sebuah kisah, Riyanto adalah seorang saleh yang
pernah tinggal di kota kami. Ada yang bilang ia masih keturunan Ronggolawe.
Versi lain menyebutkan ia adalah seorang perompak yang insyaf lalu mengasingkan
diri di kota kami. Sebuah sumber lain mengatakan Riyanto hanyalah orang biasa
yang mati muda karena cinta. Entah kenapa, aku lebih suka dengan cerita yang terakhir,
dan sepertinya karena suatu hal, aku hanya akan menceritakan versi tersebut.
Riyanto adalah seorang pemuda rupawan yang tinggal di
kaki bukit Nganget, sebuah tempat di ujung selatan kota kami. Ia tinggal
sendirian di sana, hidup sederhana dan menafkahi dirinya sendiri dari segala
hal yang bisa ditanamnya di sawah atau ditemuinya di sungai dan hutan. Dalam cerita
mana pun, tak ada yang menyebutkan siapa kedua orang tuanya.
Hidupnya biasa saja, hingga di suatu senja yang paling
indah ia melihat seorang gadis jelita yang tersesat di kaki bukit Nganget, tak
jauh dari gubuknya. Ia sudah jatuh hati kepada gadis berambut kabut itu, bahkan
sebelum berkenalan dengannya.
“Nama saya Maya Akira, Kisanak,” ujar gadis itu memperkenalkan dirinya dengan suara
selembut kicau burung bulbul. “Saya tinggal di utara, tak jauh dari air terjun
Nglirip,” lanjutnya.
Riyanto mendengarkan dengan seksama setiap tutur kata yang
keluar dari mulut Akira dan itu membuatnya semakin dimabuk cinta. Setelah
bertanya apa sebab yang membuatnya sampai di lembah Nganget, Riyanto jadi tahu
bahwa Akira kabur dari rumah karena hendak dinikahkan paksa orang tuanya dengan
Raden Rahmat, seorang saudagar kaya yang sudah beistri dua.
Di kaki bukit itulah sebuah cerita cinta singkat
antara Riyanto dan Akira terjadi. Meski itu adalah sebuah cerita yang berakhir tak
bahagia, karena di hari keempat, Lurah Rahmat dan beberapa kaki tangannya
sampai di lembah nganget dan ingin membawa paksa Akira. Riyanto dengan jantan
mengajak mereka berduel, tapi naas, dia tumbang.
Konon Riyanto meregang nyawa tepat ketika suara azan
Asar berkumandang. Lalu hujan turun dengan derasnya, menghapus jejak darah
Riyanto. Bahkan konon tubuhnya pun hilang bersama hujan yang tak kunjung reda
hingga tengah malam.
Kenangan adalah hantu di sudut pikir. Aku pernah
membaca kata-kata itu entah di buku apa. Tapi aku selalu ingin bilang bahwa ada yang lebih tepat dari kata-kata tersebut, yaitu: hantu adalah kenangan di sudut pikir. Dan itulah
mengapa kisah tentang Hantu Riyanto begitu lekat di pikiran kami, bahkan
setelah puluhan tahun berlalu.
***
Aku tumbuh dengan cerita tentang Hantu Riyanto hingga
dewasa dan jatuh cinta dengan seorang perempuan manis bernama Meylinda. Aku
benar-benar mencintai gadis yang pandai menari dan membacakan puisi itu, dan ia
pun merasakan hal yang sama kepadaku. Itu adalah cinta yang sempurna, dan karenanya
kami rela melakukan apa saja, meski kedua orang tuanya tak merestui.
Kami sudah berkali-kali berdiskusi dengan kedua orang
tuanya, tapi tak pernah bersepakat. Puncaknya adalah dua hari lalu, kami
memutuskan untuk kawin lari.
Aku dan Meylinda sudah berjanji akan bertemu di
pinggir Kali Kening pada pukul empat sore itu. Aku sudah bersiap-siap keluar
rumah. Tapi mendadak hujan turun tiba-tiba setelah azan Asar berkumandang.
Ibuku serta merta menutup pintu rumah dan mengunci jendela.
“Hujan, Nak. Jangan keluar dulu!”
“Aku ada acara penting, Bu,” kataku membuat alasan. “Jangan
khawatir, ada mantel, kok!”
Ibuku tak menjawab. Tapi kedua matanya melotot,
sekilas aku jadi teringat ketika masih kecil dulu, ketika hujan turun tiba-tiba
selepas azan Asar dan ibuku melarangku keluar rumah karena alasan kutukan Hantu
Riyanto. Tapi saat ini aku sudah dewasa dan tak takut apa pun. Dan mustahil
ibuku akan menjewer telingaku hingga merah.
Aku merebut tangan kanannya dan menciumnya seperti
biasa, hanya saja sore itu durasinya sedikit lebih lama dari biasanya. Lalu aku
pergi, dan sekilas kulihat kedua matanya yang sedikit nanar, seolah tak rela
anaknya keluar rumah di bawah hujan dan ancaman kutukan Hantu Riyanto.
Di tepi Kali Kening, di bawah hujan yang genting, aku
menunggu Meylinda yang tak kunjung tiba. Hujan semakin lebat dan semesta mulai
pekat. Tubuhku menggigil. Aku tahu rasa sayangnya kepadaku, ia pasti datang.
Aku meyakinkan diriku sendiri.
Tapi Meylinda tak kunjung datang hingga azan Magrib
berkumandang, dan tubuhku semakin letih diterjang air hujan. Tak lama kemudian
aku melihat sesosok tubuh mendekat, hatiku mengembang, tapi hanya sebentar saja.
Karena ternyata yang datang adalah Mukafa, adik laki-laki Meylinda. Ia
memberiku sepucuk surat lalu bergegas pergi:
Maafkan aku. Sungguh, demi rasa cintamu padaku, tolong
maafkan diriku yang lemah ini. Aku tak bisa pergi bersamamu, ibuku mengancam
bunuh diri jika aku memilih memenangkan rasa cintaku padamu dan mengabaikan
pinangan Shalihin, anak pak lurah itu.
Aku tak tahu apakah aku akan bahagia atau tidak nantinya
dengan pilihanku ini. Tapi sungguh, jangan hukum aku dengan cara menyakiti
dirimu sendiri. Berbahagialah dan lupakan aku.
Seperti seorang anak kecil yang telinganya dijewer tak
kenal ampun oleh ibunya, aku menangis sejadi-jadinya malam itu. Rintik hujan
yang gaduh bahkan tak sanggup lagi menyamarkan tangisku. Detik itu aku bisa merasakan
seperti apa perasaan Riyanto saat kekasihnya direnggut paksa.
Aku limbung. Sekujur tubuhku seperti tercabik-cabik
oleh rasa sakit.
Malam itu aku pulang dengan tubuh yang menggigil
hebat, dan mulut yang tak hentinya
merintih. Aku tumbang di ruang tamu, sesaat setelah ibuku membukakan pintu.
Esok harinya ketika aku membuka mata, aku melihat
seorang lelaki tua berjenggot tebal duduk di samping dipan. Lelaki itu adalah Mbah Joyo,
orang pintar di kota kami. Ibuku bercerita kepadanya tentang keadaaanku.
Katanya, aku semalam tak henti menggigil, meratap dan mengigaukan banyak hal.
Mbah Joyo menatapku dengan pandangan mata yang
dipenuhi rasa welas asih. Lalu perlahan aku mendengar ibuku berbisik pelan ke
telinganya, “Kena kutukan Hantu Riyanto, Mbah.”
Jika yang dimaksud oleh ibuku dengan kutukan Hantu
Riyanto adalah rasa sakit di ulu hati dan putus asa yang menghimpitku dari segala
arah, maka ibuku benar soal itu. Aku benar-benar sedang menderita kutukan Hantu
Riyanto saat ini. Dan aku tak tahu entah sampai kapan kutukan ini akan menghinggapi
diriku. Apakah sesaat atau selamanya.
Mbah Joyo meminta segelas air dan mulai merapalkan
sebuah mantra, aku memejamkan kedua mataku kembali. Namun, tiba-tiba saja bayangan
Meylinda duduk di sebuah pelaminan dengan orang lain nampak begitu jelas di
mataku, dadaku jadi sesak. Aku mulai menangis dan berteriak sejadi-jadinya.
Tuban, 12 November 2016
*Penulis lahir di Tuban dan aktif bergiat di Komunitas Kali Kening.

Tidak ada komentar