Sinyal Rindu di Lembah Cinta
Oleh. Raso
Pekin*
Di depan rumah, Meylinda sedang duduk dan menatap awan
yang tak lagi mendung, hanya hatinya saja yang mendung, sendiri ia terpaku
melawan cekam pada rindu yang terus menghujam. Bertubi-tubi serasa tak punya
ruang untuk menghindar. Siapa gerangan? Masih saja wajah Haikal yang terus
berputar-putar seperti vertigo yang menyerang. Hingga tak sadar suaminya
menghampiri dan duduk didekatnya.
“Istriku, apa yang telah kau
pikirkan?” tanya Shalihin pada istrinya kala senja didepan rumahnya yang asri
dan mewah itu. Istrinya kaget dan mencoba tersenyum meski sangat terpaksa.
“Ah tak ada apa-apa mas. Saya
hanya rindu pada ibu, sudah lama aku tidak tahu kabarnya.” Jawab Meylinda sambil
tersenyum manis meski dalam hatinya tersayat sembilu, perih dan sakit. Ia pun
duduk merapat pada suaminya itu dengan manja walau terpaksa
“Tak bagus membohongi suami,
terbukalah padaku, aku tak akan marah meski halilintar yang keluar dari
mulutmu, aku hanya butuh kejujuran dari istriku bukan yang lain, karena
kejujuran adalah modal untuk menjalin rumah tangga yang abadi. Keluarga tak
bisa dibangun dengan rasa tidak jujur, ibarat kita berkeluarga adalah mengarungi
samudera kehidupan yang luas, ada ombak, ada badai, ada petir bahkan angin,
kita harus saling jujur dan bekerja keras untuk bisa bertahan dengan
badai-badai itu.” Shalihin dengan tenang menjelaskan pada istrinya. Istrinya
hanya diam, dihatinya sungguh dilema, disatu sisi ia mencintai kekasih lamanya
Haikal, disatu sisi ia telah mendapatkan suami yang dewasa, pengertian, dan
perhatian, borju lagi. Meski begitu dalam
hati Meylinda masih belum ada benih cinta yang bersemi, ia masih merasakan
hambar dan tersiksa dengan batinnya sendiri. Lain dengan apa yang dirasakan hatinya
ketika menjalin cinta dengan Haikal, kekasih dan pujaan hatinya. Pemuda yang
penuh dengan syair-syair mematikan itu, pemuda yang telah merontokkan hatinya,
pemuda yang membuat terbang tubuhnya ke awang-awang ketika syair-syair dari
mulutnya terucap. Dan pemuda yang suka membuat tulisan-tulisan cinta yang mampu
membius pikirannya. Pemuda yang kini telah memilih jalan sunyi, mengasingkan
diri dilembah Cinta, pemuda yang telah gila disaput kecewa, kecewa pada cinta
yang belum sempat ia rengkuh bersama.
“Tidak mas, aku baik-baik saja.”
Jawab Meylinda terbata-bata. Ia tak ingin melukai hati suaminya, karena
suaminya juga tak pernah melukai hatinya.
“Ehm…aku dengar kabar dari banyak
orang bahwa dilembah Cinta ada seorang pemuda yang telah gila, gilanya sangat
aneh, ia terus memanggil nama kau, apakah kau kenal dengan dia?” tanya
Shalihin. Hati Meylinda rontok seketika. Ia harus menjawab apa, ia kaget
mendengar bicara yang baru disampaikan dari mulut suaminya. Ia bagai disambar
petir, luluh lantah dan kaku. Dengan terbata-bata dan gugup Meylinda mencoba
menjawabnya.
“Eee, bukankah orang gila itu
juga aneh mas?”
“Iya memang. Tapi setidaknya ada
pepatah mengatakan bahwa gila itu ada sebab musababnya, ada endapan kejadian
yang telah mengendap dalam memorinya yang bisa pengaruhi hippo campus nya. Sehingga fre
frontal cortexnya terkadang tidak terduga. Sederhananya, ia gila karena
apa?, dan pada dasarnya orang semua gila. Dan ada penyebabnya.” Terang Shalihin gamblang .
“Aku kurang paham mas.”
‘Eee…apa sebabnya si bocah sial
itu jadi gila?”
“Aku tak tahu mas. Tapi kabarnya
ia terkena kutukan arwah hantu Riyanto.” Wajah Meylinda semakin pucat serasa
tubuhnya diawang-awang, serasa kakinya tidak menjejak bumi, dan lidahnya kelu.
Ia takut jika suaminya Shalihin sampai tahu awal kejadiannya. Suaminya akan
kecewa dan marah. Apa yang harus ia lakukan?
“Ini aneh, katanya terkena
kutukan hantu Riyanto tapi orang gila ini selalu menyebut-nyebut namamu, apakah
kau kenal dengannya?” tanya Shalihin pura-pura tak tahu.
“Iya mas, aku tahu pemuda itu.”
Dengan suara gugup, pecahlah suara hati Meylinda, seperti ada yang menggerakkan
batinnya.
“Teman?”
“Iya mas.”
“Atau….”
“Hanya teman mas.” Meylinda
menyahut pembicaraan Shalihin yang belum selesai.
Shalihin melirik wajah murung
istrinya. Meski dalam hatinya curiga bahwa ada perasaan aneh dalam diri
Meylinda, perasaan yang telah disembunyikan, dan itupun Shalihin ketahui ketika
istrinya sering memesan bakso dari Mak Sun. Shalihin seakan-akan masuk ke dalam rumahnya, tapi dari balik tirai
jendela Shalihin selalu memperhatikan gerak-gerik istrinya disaat berhadapan
dengan Mak Sun, pedagang bakso itu.
“Sudahlah istriku, aku hanya
kasihan saja padanya. Ia masih muda, masih ada banyak harapan yang bisa ia
rengkuh, terlalu muda ia mendekam dalam sunyi, kasihan.” Shalihin mencoba
mencairkan suasana hati istrinya yang kecut. Meski ia tahu kejadian sebenarnya
dari teliksandi yang telah ia sebar. Informasi-informasi itu ia kumpulkan dari
laporan orang terdekatnya yaitu Mr. Blind 51, orang kepercayaan Shalihin yang
banyak bekerja di balik layar. Orangnya misterius dan tertutup bahkan banyak
orang yang tak tahu jika ia Interpol.
“Lantas?” tanya istrinya
memberanikan diri.
“Maukah kau menemuinya? Datanglah
ke lembah cinta, temui dia, meski sebentar saja.”
Meylinda kaget bukan buatan,
hatinya seperti meledak.
“Mas….”
“Iya,”
“Apa maksudmu, mas?”
“Temui dia, percayalah padaku,
aku memberikan izin langsung padamu, cobalah kau tolong dia, temui dia, dan mampirlah
ke ibumu, ibumu juga pasti akan senang.” Dengan mata yang teduh Shalihin
menatap wajah istrinya yang masih pucat dan tak percaya.
“Mudah-mudahan ada sepotong
harapan dalam kesunyiannya di lembah cinta. Bukankah menolong seseorang yang
telah sekarat adalah kewajiban.”
“Tapi mas…..”
Shalihin tersenyum tanpa ada
reaksi kemarahan di wajahnya, seperti apa yang telah ia katakan dari awal bahwa
kita harus jujur dan terbuka meskipun itu menyakitkan.
“Pergilah, temui dia, kasihan
dia, bukan berarti aku tidak bertanggung jawab sebagai suamimu, tapi kita
sama-sama manusia yang punya hati dan jiwa. Semoga ada sinyal kebaikan darimu
untuk pemuda lembah cinta itu.”
“Mas, kau ini bicara serius?”
“Iya.”
“Mas,”
“Maaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaasssssss”
Bersambung…..
*Penulis aktif di Komunitas Kali
Kening Bangilan.

Tidak ada komentar