Header Ads

Header ADS

EUTANASIA



Oleh : Linda Tria Sumarno

Ratri menatap langit lekat, ditelisiknya tiap mega yang beriringan diantara kepak sayap burung yang hendak pulang ke sarang. Dihela nafasnya dengan berat. Seperti ada yang menyumpal di dada dan tenggorokannya. Keningnya berlipat membentuk kerutan di dahi dan sudut matanya. Mata sipitnya tajam memandang batu di halaman yang tak juga kikis oleh hujan yang tiap hari mengguyur. Mata yang menyimpan kemarahan dan luka. Handphone yang sedari tadi berdering dibiarkannya tetap tergeletak di meja teras rumahnya. Air mata yang coba ditahan, mengalir juga bersama lenguh panjang yang sengaja ia keluarkan dari dadanya.
“Bukan ini yang aku inginkan,” suara Ratri tertahan di kerongkongan. Tangan kuyunya mengusap air mata yang berkilau keperakan oleh sinar matahari yang mulai berubah jingga. Kakinya melangkah masuk dan dibiarkan handphone di teras rumah berdering entah untuk yang keberapa kalinya.
Ia rebahkan tubuh diantara tumpukan baju di kasur, tak dihiraukan nyamuk yang mulai merubung bau busuk di pojokan kamar yang penuh dengan sampah. Juga seprai yang entah sudah berapa bulan belum juga diganti dan semakin membuat pengap kamar yang hanya ada satu jendela dengan kayu yang mulai melapuk. Terlihat air yang menggenang di bawah jendela yang ditumpahkannya untuk menghilangkan kegusaran. Hidup yang berantakan. Ratri lebih suka menarik diri dari lingkungan juga teman-temannya serta mengurung diri di rumah, mencorat coret kanvas mori dengan berbagai gambar abstrak yang lebih mirip dengan coretan anak kecil yang merajuk karena permintaannya tidak dituruti ibunya. Belum lagi ruang tamu yang berukuran 3 x 3 meter terlihat tak terurus dengan debu yang menempel ditiap kursi kayu yang terlihat keropos oleh ulah rayap. Di dinding ruang tamu yang bercat putih yang mulai pudar warnanya, penuh dengan lukisan tergantung, diantara lukisan itu terlihat lukisan seorang bapak tua dengan rambut beruban. Tergambar kesedihan mendalam yang tersembunyi dari sorot matanya yang sayu. Dengan background warna hitam semakin menggambarkan kedukaan yang dalam padai sosok lelaki tua itu. Dialah Harto, ayah Ratri yang meninggal dengan sebilah benda tajam menancap di dada. 
Rasa capek yang mendera tubuh Ratri, membuatnya segera terlelap. Hari libur yang sudah seharusnya ia gunakan untuk sejenak beristirahat dari bisingnya mesin pabrik.

                                                                        ***

Ratri membuka mata ketika pintu rumahnya diketuk oleh seseorang. Terdengar orang itu memanggil-manggil namanya dengan ribut. Dilihatnya jam dinding di ruang tengah. Pukul delapan malam. Gumam Ratri sambil membuka pintu.
“Boleh saya masuk,” seorang lelaki berkata dengan sopan, Ratri tidak juga menyilakan. Dari seragam yang dikenakan, Ratri tahu betul siapa lelaki yang hampir tiap malam mendatanginya oleh karena suruhan perempuan yang selalu mengharapkan kedatangannya.
“Perempuan itu buat ulah lagi?” Ratri berkata datar.
“Beliau sakit dan terus mengigau nama anda.”
“Heh.. tidak ada alasan lain selain sakit dan sakit,” Ratri memelotkan matanya yang sipit.
“Benar mbak, beliau sakit dan empat bulan terakhir ini keadaannya semakin menurun.”
“Cuma itu tujuan bapak ke sini.”
“Iya, selain mengajak adik untuk menengoknya.”
 “Kalau begitu, silahkan bapak kembali dan bilang sama perempuan itu. Saya tidak peduli,” Ratri menatap tajam mata sipir dengan suara berat.
“Tapi dik, beliau sakit keras. Ingin sekali bertemu dengan adik. Tadi saya menelepon adik, namun tidak ada jawaban.”
“Apa peduli bapak dan apa peduli saya,” Ratri mulai meradang.
“Tapi dik, beliau ibu adik.”
“Ibu... bapak bilang? Berapa perempuan itu bayar bapak untuk selalu datang dan mengganggu waktu saya,”
“Saya datang karena rasa kemanusiaan dan hati, bukan karena uang,” sipir itu sepertinya tersinggung oleh ucapan Ratri.
“Asal bapak tahu, perempuan yang bapak bilang ibu saya itu tidak pernah mengajari saya tentang kemanusiaan apalagi soal hati.”
“Sekeras inikah batu yang menyumpal hati adik?”
“Terserah apa yang bapak katakan, dan bilang sama perempuan itu, bagi saya perempuan itu telah mati dalam pikiran dan hidup saya, jadi berhenti berharap soal saya,” ucapan Ratri membuat lelaki itu terhenyak. Lelaki yang menjadi tempat berbagi rasa pilu ibu Ratri selama ini.
“Bapak tahukan di mana letak pintu pagar rumah saya?” ucap Ratri sambil tangannya menunjuk pada pintu pagar seraya menutup pintu rumahnya dengan keras, lelaki itupun  mematung sekejap sebelum akhirnya angkat kaki secepat kilat.       

                                                                        ***

Setiap kedatangan sipir lapas tempat ibunya ditahan, membuat  Ratri sulit memejamkan mata. Meski di luar, malam mulai menebarkan gelapnya dan sayup-sayup terdengar suara lolongan anjing. Ratri masih juga terpekur di depan kanvas mori dengan gambar seorang gadis duduk meringkaskan tubuhnya di bawah rembulan yang ditelan oleh mega. Langit gelap di bagian belakang gadis itu menceritakan kesyahduan yang dirasakan sang gadis. Ratri terpekur di depan lukisannya, rambut sebahunya dibiarkan terurai tak beraturan. Mata gadis di lukisannya itu, membuka kembali luka yang coba ia sembuhkan bertahun-tahun namun selalu gagal oleh kedatangan sipir lapas suruhan ibunya, membujuknya dengan segala rayu dan sejuta alasan agar ia bersedia menemui ibunya.
Terlintas kembali masa silam yang meruntuhkan dunia Ratri, merobek hatinya dan membuatnya depresi hingga menjadi gadis aneh, sebutan yang tetangga dan teman kerja Ratri berikan karena sikapnya yang selalu menyendiri, sinis dan menarik diri dari pergaulan.
Ratri kembali menutup matanya, terlihat lipatan di keningnya semakin tak beraturan. Bayangan itu kembali memenuhi ruang matanya, dilihatnya dirinya sendiri yang kala itu masih berumur 9 tahun terduduk di sudut kamar, menangis dan gemetar ketakutan melihat ibunya tertawa lepas dengan seorang lelaki yang bukan bapaknya menatap tajam pada mata kecilnya dengan suara ancaman yang membuat tubuh ringkihnya semakin gemetaran.
“Awas, jangan bilang bapakmu. Bisa ibu kurung kamu dalam kamar mandi tanpa makan seminggu,” bentak ibunya dan mengunci Ratri dalam kamar semalaman. Kejadian yang hampir tiap hari dirinya alami ketika bapaknya membanting tulang di Malaysia.
Terlintas juga di matanya, ibunya yang malam itu pulang entah dari mana, karena Ratri sekalipun tak berani bertanya perihal kepergian ibunya yang selalu pergi siang dan pulang larut dengan seorang lelaki yang bukan bapaknya. Malam di mana ia juga harus merasakan pedihnya luka yang digoreskan lelaki ibunya itu, lelaki yang merenggut masa depannya dengan paksa tatkala ibunya tengah terlelap tidur. Luka hati dan fisik yang tak kan pernah terobati oleh apapun di dunia ini. Masa kecil dan masa depannya hancur seketika itu juga, mengadu pada ibunya hanya suatu kemustahilan karena tamparan dan makian yang akan diterimanya.
Hingga hari yang kelam itu, tepatnya sepuluh tahun yang lalu saat bapaknya pulang dari Malaysia tanpa memberi kabar dan mendapati ibunya sedang bersama dengan lelaki lain. Terjadilah pergumulan hebat antara bapaknya dengan lelaki ibunya. Hingga membuat ibunya kalap dan menikam bapaknya sampai meregang nyawa dihadapan Ratri. Satu hal yang tidak mungkin Ratri lupakan dan maafkan seumur hidup. Kenyataan yang membuat Ratri pilu adalah ibunya sendiri yang membuatnya menjadi yatim dan harus membanting tulang untuk menghidupi dirinya sendiri. Lelah dengan masa lalu yang terus saja menjadi hantu, mata sipitnya pun benar-benar dipaksakan terpejam dengan tubuh yang segera ia rebahkan di atas kasur, berharap malam berlalu dengan mimpi indah memeluk jiwanya.


***     

            Hujan mulai turun dengan kalap saat Ratri keluar dari pabrik sepatu tempat ia bekerja. Segera ia naik angkot yang tiap sore selalu menunggu para karyawan pabrik pulang dengan wajah kuyu karena tenaga dan pikiran terkuras habis dengan gaji yang masih saja jauh dari kelayakan. Belum lagi harga bahan pokok semakin melangit membuat mereka tercekik tanpa bisa memohon kesejahteraan hidup yang lebih, tak terkecuali Ratri.
“Ahh... nasib buruh memang bukan masalah primadona di negri ini,” keluh Ratri suatu ketika saat para buruh melakukan aksi di depan gedung DPRD dan lagi-lagi permintaan kenaikan upah pun hanya angan yang menggelikan. Ya, menggelikan di negeri antah berantah ini.
Angkot yang dinaikinya pun berjalan lambat karena penuh sesaknya kota tiap sore menjelang maghrib, sesak oleh ratusan buruh pabrik dari banyak perusahaan yang hendak pulang. Butuh waktu 30 menit untuk bisa sampai di rumah. Dan angkotpun semakin melambat saat berada tepat di pertigaan menuju rumahnya. Segera Ratri turun dan melangkah gontai menuju rumahnya yang berjarak sekitar 500 meter dari pertigaan.  Belum lagi Ratri masuk rumah, seorang lelaki yang seminggu lalu mendatanginya dan hampir tiap malam mendatanginya itu berlari tergopoh turun dari motor. Dengan nafas tersengal, segera ia berbicara pada Ratri.
“Dik, malam ini adik benar-benar harus segera ke lapas. Ibu adik dalam keadaan kritis. Ayo dik, sebelum terlambat,” lelaki itu menatap Ratri dengan penuh harap.
“Saya capek,”
“Tapi dik, ibu adik benar-benar butuh adik, jangan sampai menyesal dik. Biar bagaimanapun beliau ibu adik, yang melahirkan adik.”
“Apa pantas dinamakan seorang ibu jika membiarkan dan membuat anaknya menjadi yatim,” Ratri berkata sambil membuka pintu pagar.
“Dik, apa sedikitpun hati adik tidak bergetar jika adik melihat ini?” Sipir itu melihatkan sebuah foto dari handphone. Mata Ratri memandang foto yang tepat berada di depan matanya, terlihat seorang perempuan tua dengan selang di hidung dan tubuh yang tinggal hanya tulang belulang.
Pandangan mata yang seolah memohon dengan iba. Ratri tercekat. Beginikah keadaan perempuaan itu sekarang? Gumamnya. Cepat-cepat Ratri langkahkan kakinya, sebelum Ratri menutup pintu rumah, terdengar sipir itu berteriak yang membuat langkahnya terhenti.
“Saya datang atas nama kemanusiaan, jika adik memang seorang manusia, datanglah segera ke rumah sakit Bhayangkara. Ingatlah dik, kamu lahir dari rahim perempuan itu. Dan surgamu pun berada di bawah telapak kakinya. Terlepas dari apa yang pernah beliau lakukan. Beliau sangat menyesali apa yang dilakukannya di masa silam, beliau berpesan datanglah, meski hanya sumpah serapahmu yang kau berikan,” nafas Ratri seolah berhenti berhembus mendengar pesan perempuan itu. Tanpa terasa air matanya menetes dan jatuh di tanah yang mulai lembab oleh angin malam.
Segera ia masuk rumah dan menutup pintu. Merebahkan diri dengan dada masih sesak oleh beban yang ia sendiri tidak tahu kapan akan enyah dari batinnya. Belum satu jam ia rebah, handphonenya berdering dan dibukanya dengan malas. Ia terbelalak saat mengetahui pesan yang berisi foto ibunya yang sipir lihatkan tadi. Dan sekali lagi, ia menangis tertahan. Hingga ia harus lalui malam ini dengan berjuta rasa bimbang. Terngiang teriakan sipir yang mengganggu jiwanya. Tentang manusia dan kemanusiaan juga tentang sosok ibu. Meski rasa sakit yang memenuhi relung hati Ratri, sebenarnya ada rindu yang terselip di antara angkuhnya. Rindu akan pelukan ibu yang akan menenangkannya ketika ia mulai kehilangan kesadaran. Rindu akan sosok ibu yang dulu begitu sayang padanya sebelum lelaki pertama ibunya datang dan merampas semua kebahagiaannya.
“Ibu....,” ucapnya dalam tangis. Diraihnya handphone yang berada di sampingnya dan dipandangi foto ibunya. Ia hela nafas dengan berat. Selang yang berada dihidung serta tubuh kurus itu menunjukkan penderitaan yang luar biasa. Batin Ratri. Hatinya pedih, teriris. Segala bayang masa silam kembali menyergapnya. Belum lagi Ratri selesai memandang foto ibunya, terdengar handphonenya berdering. Sipir itu lagi, batinnya.
“Ratri....,” suara di seberang telpon membuat hati Ratri bergetar hebat. Tak sepatah katapun mampu terucap dari mulutnya. Sebuah suara yang bertahun-tahun tidak Ratri dengar dalam hidupnya. Segera ia jatuhkan handphonenya dan berlari menuju kamar mandi, membasuh muka dan mengatur nafasnya yang tak beraturan. Ibu... gumamnya.


                                                                         ***

            Matahari kembali menyapa dengan hangat sinarnya, Ratri masih terpekur di kamar. Sedikitpun matanya tak dapat terpejam. Rasa sakit yang ia pelihara dan pupuk membuatnya bersikukuh untuk tidak mendatangi ibunya. Perempuan yang telah memporak porandakan jiwanya, juga perempuan yang menghilangkan senyum masa kecilnya.
Hingga hari itu, sebuah telepon membuat kakinya bergetar hebat. Telepon yang memberi kabar yang seharusnya membuatnya gembira, karena sosok yang selama ini ia benci telah berpulang, namun ternyata ada rasa lain yang dirasakan Ratri, ada hati yang merintih merasakan pilu akan kepergian perempuan itu. Air mata seketika luruh seiring dengan ditutupnya telepon dari sipir yang tadi malam datang. Dan mulai detik ini, sipir itu tidak akan lagi datang menyita waktunya. Seolah semua telah berjalan sesuai dengan yang diharapkan Ratri. Cukup lama Ratri terdiam, mengurai sengkarut yang terlanjur terpilin erat. Betapa susahnya ia pilah dan urai agar berhenti melilit hatinya, namun gagal juga seperti yang sudah-sudah, justru yang terjadi sengkarut itu semakin menghebat yang tidak lagi memilin hatinya, namun juga jiwa dan fisiknya.
Sementara itu, jarum jam terus berdetak tanpa ada kesempatan sekalipun untuk berhenti, seperti halnya matahari yang mulai beranjak naik ke batas cakrawala yang esok akan berada kembali di tempat yang sama.
Dalam kesendirian, kedukaan juga kediriannya, Ratri bergumam dalam simpuhnya.
“Dan sekarang, aku menjadi manusia yang sama sepertimu, ibu...”


                                                                      ***



Bangilan, 15 Januari 2017



Penulis adalah anggota di Komunitas Kali Kening.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.