Pelet
Farikha Auliya
Selepas sholat magrib, Riyanto dan Suntini duduk
berhadap-hadapan di ruang tamu. Sesekali terdengar suara batuk dari kamar
Kumala, lalu tangisan lirih menyebut sebuah nama. Nama yang membuat bibir
Kumala tak henti-henti merapalnya. Nama yang membuat kehidupan Kumala jadi
jungkir balik dan hari-hari Riyanto
dan Suntini dipenuhi awan hitam.
Suntini memandang Riyanto gelisah. Ia tak bisa
mengungkapkan keinginannya. Riyanto membalas tatapan istrinya sepersekian detik,
kemudian melemparkan kedua bola matanya ke arah gerimis bulan Januari lewat
pintu rumahnya. Sesaat suara anak-anak mengaji timbul tenggelam, membuat
Riyanto jadi ragu. Apa keputusan yang akan diambilnya benar.
"Mau bagaimana lagi, Pak? Kasihan Kumala. Sepertinya
ini kutukan dari Mashari,” ucap Suntini setelah mengumpulkan keberaniannya.
Mashari adalah mantan calon menantu mereka. Tak ada
hujan tak ada angin tiba-tiba Kumala memutuskan pertunangan yang sudah
disepakati.
Suntini tahu, suaminya paham keinginannya. Ia pun tahu
suaminya ragu dengan keinginannya. Tapi apa mau dikata. Kumala sakit berbulan-bulan.
Wajah ayunya layu berantakan. Senyum memikatnya berganti lolongan mengerikan
tepat pukul dua malam. Anak semata wayangnya itu tak henti-henti meneriakkan
nama ‘Mashari’ siang dan malang. Sungguh tak tertolongkan. Kumala benar-benar
seperti mendapat kutukan.
"Ayo, Pak! Sebelum pukul delapan kita harus
mendatangi Mbah Juwoto. Atau khadim-nya tidak akan mau mengungkap
kebenaran yang terjadi pada anak kita."
Suntini berdiri cepat, tapi Riyanto tetap tenang dalam
duduknya. Sebenarnya kata tenang tidak mewakili perasaan Riyanto. Hatinya
gundah. Ia tak ingin menyekutukan Tuhan.
Suntini tak sabar, segera diraihnya tangan suaminya
dengan cepat dan kasar. Sudah jam tujuh, pikirnya. Riyanto mulai beranjak,
diraihnya sepeda tua kesayangannya. Memang selalu begini, ia selalu kalah dan tak
bisa menolak keinginan istrinya.
Suara Adzan baru saja berkumandang ketika pintu Mbah
Juwoto terbuka. Segera Suntini menyerahkan gula dua kilo, bubuk kopi dan minyak
goreng yang dibawanya. Wajah Mbah Juwoto datar saja, tapi entah mengapa nampak
begitu magis. Membuat semua orang tak mampu menatapnya lama-lama. Harum mawar
bercampur melati membuat perut Riyanto mual. Tapi bagaimana lagi. Ia
menabah-nabahkan perutnya dengan mengelusnya pelan. Setelah berdehem tiga kali,
Mbah Juwoto pun memulai pembicaraan.
"Wonten masalah nopo sampean mriki?" Mbah juwoto menanyakan niat kedatangan Suntini dan
suaminya.
Wajah Suntini pias, segera ia menyenggol kaki
suaminya. Riyanto memandang wajah istrinya sebelum berbicara pada Mbah Juwoto.
" Ng ... Nganu Mbah, dalem ajeng tanglit
punopo lare kulo sapirang sasi niki kados lare dipelet Mbah.. Larene
nyebut-nyebut nami mantan calon menantu kulo, Mashari namine Mbah, tiyang
Bangilan. Kulo ajreh yen Kumala, putro kulo dipelet Mashari, Mbah ..." Suntini
menjelaskan kondisi anak gadisnya, Kumala yang sudah berbulan-bulan seperti
terkena pelet. Tak henti-henti menyebut nama Mashari, seorang perjaka dari desa
Bangilan.
Mbah Juwoto mengelus jenggot brewoknya. Ia nampak
berpikir sejenak. Memegang lututnya sembari menatap tembok gedek-nya.
Tanpa ba-bi-bu ia meninggalkan Riyanto dan Suntini sembari merapal doa. Suntini
tahu, Mbah Juwoto pasti akan masuk ke dalam kamar, menemui khadim-nya.
Setelah itu ia akan mengatakan apa yang terjadi pada Kumala.
Cukup lama Suntini dan Riyanto menunggu Mbah Juwoto.
Riyanto mengucapkan istighfar tiada henti. Menyesali apa yang diperbuatnya.
Menyesali karena menuruti istrinya. Harusnya Riyanto pergi ke rumah Yai Kafabih,
bukan ke rumah dukun Juwoto. Tak terasa air matanya menggenang.
Suntini menjawil Riyanto setelah deheman Mbah Juwoto
terdengar. Dengan cepat Riyanto mengusap air matanya dengan ujung baju koko
lusuhnya. Ia ingin pergi saja dari rumah Mbah Juwoto, tapi kakinya kaku dan
berat.
Sebelum ia berdiri untuk mengajak istrinya pulang,
Mbah Juwoto datang dengan membawa dua botol air: satu air bening dan satunya
lagi air hitam pekat. Sepekat langit malam yang masih enggan menurunkan hujan.
"Anakmu, Kumala, sama sekali tidak terkena pelet
perjaka dari Bangilan itu. Ia menjadi linglung seperti itu justru karena kutukanmu,"
ucap Mbah Juwoto berat.
Seperti petir di siang bolong, Riyanto dan Suntini
tersengat mendengar ucapan Mbah Juwoto. Mereka saling pandang. Mereka
hampir-hampir tak percaya dengan ucapan Mbah Juwoto. Bagaimana mungkin Suntini
menjadi sebab dikutuknya Kumala. Bagaimana mungkin! Sedang yang menjadi igauan
Kumala nama Mashari, mantan calon menantu mereka. Mereka hampir saja berdiri.
Kalau saja Mbah Juwoto tak bertanya.
"Mashari sudah melamar anakmu, kan?"
Mereka berdua mengangguk.
"Tapi Kumala memutuskan hubungannya sepihak.”
Mbah Juwoto berhenti sejenak.
“Karenanya kamu membenci anakmu, bahkan kamu mengumpat
dan mengutuki Kumala, anakmu sendiri. Benar bergitu, bukan?" ucap Mbah
Juwoto sambil menunjuk Suntini. Matanya nyaris membuka sempurna, menakutkan.
Hening sesaat. Keringat dingin keluar deras dari
kening Suntini. Tangannya gemetar, ia menundukkan wajahnya. Ia tak mampu
menatap wajah penuh tanda tanya suaminya, apalagi menatap wajah Mbah Juwoto
yang tajam sekali pandangannya. Suntini tak tahu harus berbuat apa, ia mengangguk
pelan, bersamaan dengan air mata pertamanya yang jatuh tak tertahan.
"Kutukanmulah yang membuat Kumala kesetanan.
Menyebut nama Mashari tak keruan,” ucap Mbah Juwoto dengan mimik muka serius. “Tapi
tenang. Ada jalan keluarnya," lanjutnya.
Mbah Juwoto menaruh dua botol yang dibawanya ke atas
meja bersamaan. Membuat Riyanto dan Suntini serta merta menatap dua botol di
atas meja itu.
"Air yang jernih ini berasal dari Kali Kening,
sedang air hitam ini berasal dari sumber air gunung Gomang. Minumkanlah dua
jenis air ini barang sesendok kepada Kumala. Jika Kumala tidak segera sembuh.
Bawalah ia ke Kali Kening untuk dimandikan."
Raut muka Mbah Juwoto mulai bersahabat. Riyanto dan
Suntini pun mengangguk mafhum. Setelah beberapa saat hening, mereka segera
berpamitan karena mereka tak boleh berada di rumah Mbah Juwoto pada pukul
delapan. "Akan kerasukan," begitu kabar burung yang mereka dengar.
“Jaga putrimu baik-baik! Jangan terlalu memaksakan
kehendakmu padanya,” begitu pesan Mbah Joyo sesaat sebelum mereka pergi.
Di jalan, tak sepatah kata pun keluar daru mulut
Riyanto maupun Suntini. Suntini tak biasa meminta maaf, ia hanya memegang
pinggang suaminya erat, karena itu adalah kode khusus untuk suaminya.
Riyanto pun tahu, ketika Suntini memegang pinggangnya
erat, itu berarti Suntini sedang meminta maaf padanya. Dengan tergesa, ia
mengayuh sepeda tua kesayangannya. Sedang gerimis sedari tadi mengiringi
keberangkatan dan kepulangannya.
Surabaya, 29 Januari 2017
Tidak ada komentar