Header Ads

Header ADS

Sungai adalah Seorang Ibu

Oleh Ikal Hidayat Noor




Riyanto terbangun pukul tiga pagi oleh suara berisik sekawanan katak di belakang rumahnya dan sebuah mimpi aneh.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, setelah bangun tidur ia akan minum segelas air, mencuci muka dan berjalan ke arah Kali Kening, sebuah sungai yang mengular di belakang rumahnya. Di sana, di tepi sungai, di bawah pohon sawo dan udara dingin yang menggigit kulitnya, Riyanto akan duduk mencakung; memandangi Kali Kening pada pagi buta yang lebih serupa permadani berkabut, hingga matahari perlahan terbit di balik punggungnya.
Ia tak ingat, kapan pertama kali melakukan hal semacam itu. Penduduk desa pun tak ada yang tahu mengapa hal tak masuk akal seperti itu selalu dilakukannya saban pagi. Riyanto tak banyak berbicara setelah anaknya meninggal. Dan ia semakin bungkam setelah istrinya meninggalkannya.
Jalanan masih basah oleh sisa hujan semalam ketika Riyanto melangkah meninggalkan rumah. Sebuah senter di genggaman tangan kanannya cukup mampu membantunya terhindar dari kubangan air.
***
“Yah, seandainya aku seekor ikan, pasti aku bisa berenang di sungai sepuasku.”
Itu hari kedua ia mengajari anaknya berenang di sungai. Tak seperti Riyanto dan teman sebayanya, kini anak-anak kampung tak lagi senang bermain di sungai. Kebanyakan dari mereka tak bisa berenang. Televisi dan telepon genggam membuat mereka jadi lebih senang duduk di rumah atau bergerombol di warung kopi mencari internet gratis.
“Seekor ikan barangkali juga ingin menjadi anak-anak, agar ia bisa bermain sepeda di daratan sepuasnya,” riyanto menjawab sambil tak henti memegangi tubuh anaknya dan memintanya menggerakkan sepasang kaki dan tangannya.
“Di sungai ini, dulu Ayah menghabiskan sebagian besar masa kanak-kanak.”
Riyanto ingin memberi tahu anaknya, bahwa ia memiliki sejarah hidup yang tak bisa dipisahkan dari Kali Kening. Bersama teman-teman sebaya, ia memilik banyak sekali kenangan menyenangkan di sana. Karena itu, Kali Kening tak bisa dihilangkan begitu saja dari dirinya.
Bagi anak kampung sepertinya, sungai berarti kamar mandi, halaman bermain, dan tempat melakukan banyak hal menyenangkan. Pagi hari ketika ia mendengar suara kereta api pertama menderu di seberang sungai, itu artinya pukul 06.45. Ia akan segera berlari ke sungai dan memasrahkan tubuhnya pada Kali Kening—yang biasanya pada jam tersebut permukaan airnya masih mengepulkan uap.
“Kau tahu, Nak… di sungai, tak ada seorang pun yang lekas-lekas mandi,” ucap Riyanto. “Ayah akan mengobrol di tepian sungai bersama teman-teman, menangkap ikan dengan sarung, atau berenang bolak-balik dari dua tepian sungai sampai kami mendengar suara kereta berikutnya,” lanjutnya.
Kereta berikutnya datang tiga puluh menit setelahnya dan sekolah akan dimulai pukul 07.30.
“Apakah dulu Ayah juga diajari berenang oleh kakek?”
“Tidak. Ayah belajar sendiri. Kakek pun tak diajari berenang oleh ayahnya.”
Riyanto ingat, ia sudah bisa berenang sejak kelas dua sekolah dasar. Di musim kemarau, air Kali Kening akan surut. Tak pernah benar-benar habis, biasanya sebatas leher anak-anak. Di saat seperti itul Kali Kening benar-benar menjadi ramai. Sepanjang hari, beberapa orang dewasa akan terlihat naik turun sungai untuk mengambil pasir. Sore hari pemuda-pemuda desa memadati tepian sungai untuk bermain sepak bola atau bola volly.
Anak-anak akan menyeberangi sungai setelah pulang sekolah dan makan siang. Mereka membuat sumur dan istana pasir, mengubur tubuh mereka sebatas kepala di dalam pasir di bawah terik matahari, atau sekadar menganggu teman-temannya. Mereka  baru meninggalkan sungai saat matahari hendak tenggelam.
Saat itulah anak-anak yang belum bisa berenang akan mulai belajar berenang, sendiri atau minta diawasi oleh temannya.
“Agar kau lekas bisa berenang, kau harus makan seekor udang mentah.”
Selalu hal itu yang akan dipesankan kepada mereka. Kau harus makan seekor udang mentah ukuran kecil, disarankan yang masih hidup, dan tidak boleh mengunyahnya. Kau harus makan udang seperti minum obat.
***
Riyanto sampai di tepian Kali Kening yang hening. Sebelum benar-benar duduk, ia terlebih dulu melepas sepasang sandal di kakinya dan menggunakannya sebagai alas pantat. Ayam-ayam belum berkokok. Suara katak di kejauhan yang menyanyikan entah lagu sedih atau bahagia masih satu-satunya suara yang didengarnya pada pagi buta seperti itu. Sesekali ia mendengar buah sawo jatuh. Seekor codot terbang menabrak ranting, menggoyangkan daun dan menjatuhkan rintik embun atau entah sisa hujan semalam.
Pada akhir bulan Januari seperti ini, hujan akan turun pukul tiga sore dan baru berhenti malam harinya, atau kadang tidak berhenti sampai pagi, membuat orang-orang lebih mencintai tempat tidur dan bermalas-malasan bangun. Tapi hal tersebut tidak menghentikan langkah Riyanto untuk duduk di tepian Kali Kening pada pagi buta dan berlama-lama di sana sampai matahari membuka mata.
Ada saja yang membuat Riyanto bangun pada pukul tiga. Seperti ada alarm otomatis yang dipasang di dalam kepalanya. Selebihnya adalah karena mimpi-mimpi aneh.
Riyanto kerap bermimpi aneh terkait Kali Kening. Suatu ketika ia bermimpi warna air Kali Kening berubah hitam dan baunya busuk luar biasa. Banyak sekali bangkai manusia yang mengapung di sana. Ia juga pernah melihat dalam mimpinya seorang penyihir berkepala tikus menyulap sebuah jembatan besar di atas Kali Kening, lalu  ia membawa serombongan truk raksasa yang ribuan jumlahnya. Truk-truk yang disopiri manusia keledai itu melenggang ke arah hutan di seberang selatan Kali Kening.
Di lain waktu, ia bermimpi Kali Kening berubah menjadi seekor ular raksasa dan memakan semua warga. Hanya dirinya yang selamat. Ular raksasa itu bersimpuh di depannya dan memintanya naik di atas kepala. Sesaat kemudian mereka pun terbang ke arah hutan.
“Sekarang kita tak butuh sungai lagi. Dan kau tak perlu memaksa anakmu belajar berenang,” ucap Maya, istri Riyanto.
Maya memang tak pernah sepakat Riyanto mengajak anaknya ke sungai setiap sore untuk belajar berenang.
“Atau jika tidak, kau bisa mengajarinya berenang di kolam renang.”
Istrinya benar, ada kolam renang yang hanya berjarak beberapa kilo meter saja dari rumahnya. Riyanto bisa saja mengajak anaknya ke sana, tapi ia hanya ingin anaknya belajar di Kali Kening, bukan di tempat lain.
“Ia harus belajar berenang di sungai. Dan jika ia harus tersedak air karena belajar berenang, ia harus tersedak air Kali Kening dan bukan air kolam renang.”
“Aku berharap kau tidak sengaja ingin membunuh anakmu.”
“Sungai itu seperti seorang ibu. Ia tak akan tega membunuh anaknya. Tapi, jika dia harus meninggal karena belajar berenang, aku tak akan menyesal. Dan aku kira mati karena tenggelam di sungai adalah sebaik-baik mati.”
Anaknya memang akhirnya meninggal dunia. Tapi bukan karena tenggelam di sungai, melainkan sebuah kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Anaknya berhasil masuk di sekolah menengah terbaik di kota dan istrinya bersikeras memberi hadiah sebuah motor matic.
Kecelakaan itu membuatnya terpukul dan istrinya pergi meninggalkannya.
***
  Tak ada yang dilakukan Riyanto ketika ia duduk di tepi sungai pada pagi buta melainkan memikirkan masa lalu dan mimpi-mimpi anehnya.
Jika ada yang dianggap tersisa dari hidup Riyanto, hal itu tak lain adalah Kali Kening. Selepas kecelakaan yang merenggut nyawa anaknya, ia keluar dari kerja dan hanya mengantungkan hidup dari mengambil pasir di Kali Kening. Kadang ia menjala ikan dan menjualnya kepada tetangga. Tubuhnya semakin hitam, dan sisa-sisa ketampanan masa mudanya perlahan pudar.
“Apa mungkin sebuah sungai berubah menjadi ular raksasa dan memangsa seluruh warga?” Riyanto bergumam. Ia seperti bertanya pada dirinya sendiri.
“Sungai adalah hal paling baik yang diberikan Tuhan kepada manusia. Bagaimana bisa ia berubah menjadi makhluk yang begitu menakutkan.”
Riyanto sama sekali bukan orang yang kehilangan akalnya. Ia masih sehat lahir batin. Hanya saja ia kehilangan minat untuk berbicara kepada orang lain.
Terakhir kali Riyanto berbicara, barangkali adalah saat ia diundang kepala desa di sebuah rapat terbuka tahun lalu. Pemerintah siap mengucurkan dana empat milyar untuk pembangunan jembatan Kali Kening. Posisi jembatan tersebut persis di belakang rumah Riyanto. Kecuali dirinya, semua warga sepakat dengan pembebasan lahan dan ganti rugi.
“Aku tidak sudi memberi jalan buat tikus-tikus itu merusak hutan. Kali Kening akan marah, dan aku benci melihat ibuku marah.”
Setelahnya ia tak pernah terlihat berbicara kepada siapa pun. Ia bahkan mengusir pamong desa yang berkali-kali datang ke rumahnya membawa segepok uang. Ia begitu keras kepala sehingga perlahan-lahan semua penduduk desa yang ingin mempunyai akses mudah ke sawah mereka sepakat membencinya. Tak seorang pun tahu ada sebuah rencana jahat di balik dibangunnya jembatan itu.
“Orang-orang harus tetap berenang jika ingin melintasi Kali Kening. Hanya pencuri yang membawa truk-truk raksasa saja yang menginginkan jembatan besar.”
Riyanto masih saja duduk di sana, di tepian Kali Kening yang serupa permadani panjang yang berkabut. Ia tak henti-henti memikirkan mimpi-mimpi aneh dan masa lalunya, sampai sepasang tangan kekar membekap wajahnya dari belakang dan membuat tubuhnya lemas karena tak bisa bernafas.
Beberapa hari setelahnya, tubuh Riyanto ditemukan mengambang tak bernyawa di dekat bendungan. Semua warga percaya, Riyanto mati bunuh diri dengan cara menenggelam diri di Kali Kening, karena tak tahan menanggung beban hidupnya. Tak seorang pun yang pernah berpikir bahwa seorang ibu tak akan tega membunuh anaknya sendiri.
Dua bulan setelahnya, proyek pembangunan jembatan Kali Kening dimulai.


Bangilan, 25 Januari 2017

gambar diambil dari http://www.ugallery.com

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.