Header Ads

Header ADS

Senja dan Hal-hal yang Tak Pernah Selesai ditulis





Oleh: Adib Riyanto

Sepotong Senja untuk Pacarku adalah salah satu cerpen Seno Gumira Ajidarma (SGA) favorit saya selain Patung, Pelajaran Mengarang, dan Rembulan Dalam Cappucino. Cerpen ini bercerita tentang seseorang yang memotong senja untuk pacarnya yang sangat dicintai; Alina. Senja yang indah lengkap dengan debur ombak, pasir yang basah, burung yang beterbangan, siluet batu karang di kejauhan dan lain sebagainya. Kemudian ia memotong senja itu dan memasukkannya ke dalam amplop lalu mengirimkannya pada kekasihnya. Sebenarnya ide cerita ini sangat sederhana; tentang cinta seorang Sukab yang ingin memberikan sesuatu yang selain kata-kata untuk kekasihnya, dalam hal ini adalah senja, tapi SGA mampu menuliskannya dengan luar biasa.
Membaca cerpen ini, seolah mampu menyihir saya untuk memasuki dunia senja yang ia ciptakan lewat gaya bahasanya yang sederhana, romantis dan mudah dipahami. Menurut saya ia berhasil melukiskan senja yang begitu hidup dengan menuliskan detail-detail tentang senja di sebuah pantai, seperti paragraf kedua dalam cerpen ini; "Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian..."
Di sisi lain dalam cerpen ini, SGA seolah ingin memunculkan suatu kritik sosial; begitu sibuknya orang di tengah kehidupan metropolitan, sehinga waktu untuk menikmati senja yang indah terasa begitu langka. Padahal menyaksikan senja tidak perlu membayar. Yang menikmatinya hanya turis. Kritik sosial itu digambarkan secara tersirat pada percakapan dalam diri tokoh Sukab. Ia beranggapan bahwa polisi mengejarnya bukan karena sepotong senja yang hilang, bukan pula karena Sukab mencurinya, melainkan karena nilai komersil, sebagai objek wisata. Turis suka memotret senja dan ini adalah jualan pariwisata. Atau dengan kata lain, di kota metropolitan, para penghuninya tak peduli dengan orang lain, mereka telah membangun kemasing-masingan. Bahkan, saat senja hilang pun tak ada yang peduli.
Terlepas dari semua itu, ternyata SGA menuliskan cerpen ini dengan semangat humor, seperti yang diakuinya dalam buku "Ketika Jurnalisme dibungkam Sastra Harus Bicara." Supaya humornya lucu, dia membuat seolah-olah serius. Tekniknya hanyalah mencoba mengandaikan apa yang akan terjadi seandainya senja itu benar-benar hilang. Adapun teknik menulis surat adalah cara untuk membuatnya akrab, seolah memang benar-benar terjadi, padahal kita tahu itu adalah suatu kemustahilan. Tapi itulah surealisme; yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Dan pada akhirnya, senja adalah keindahan yang mutlak, dan sampai kapanpun akan selalu ada yang menuliskannya. Senja adalah kisah yang tak pernah usai.

Bangilan, 09 Maret 2017


Sumber tulisan: Ketika Jurnalisme dibungkam, Sastra Harus Bicara, SGA

Baca juga Sepotong Senja untuk Pacarku di sini: http://kalikening.blogspot.co.id/2017/03/sepotong-senja-untuk-pacarku.html

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.