Pendidikan itu Melawan dan Membebaskan
Pict by: Salni
Setiadi/Beritagar.id
Oleh : Linda Tria Sumarno
(Tulisan ini saya tulis untuk menyambut hari ulang tahun PGRI dan hari
guru yang jatuh pada tanggal 25 November)
Tidak ada anak yang bodoh. Pemikiran Paulo Freire itulah yang mendasari
saya untuk selalu berpikir positif terhadap semua anak didik saya. Selalu berusaha mencari
potensi yang dapat dikembangkan pada diri mereka, karena pada dasarnya kecerdasan
tidaklah soal nilai 100 (seratus) untuk tiap mata pelajaran ataupun kecerdasan
tidaklah dapat diukur hanya dengan nilai raport dan ujian yang tinggi. Masih
banyak kecerdasan lain yang dapat dikembangkan, hal inilah yang kemudian
disebut dengan kecerdasan majemuk. Jika kecerdasan dinilai dari nilai
Matematika yang tinggi, jelas saya termasuk murid yang bodoh, karena nilai
Matematika sewaktu saya sekolah selalu di bawah rata-rata, kalaupun dapat nilai
bagus, itu berarti saya harus memutar otak melebihi kecepatan putaran komedi
putar, atau bisa jadi saya dapat contekan jawaban dari teman.
Jika kecerdasan diukur dengan kemampuan seseorang untuk mengetahui dan
paham akan arah mata angin, maka saya pun termasuk murid yang bodoh. Hal ini
dikarenakan kelainan yang entah apa namanya, karena sampai hari ini pun saya
belum mengetahuinya, saya menyebutnya Disleksia
Arah, ketidakmampuan dalam membaca arah dan ketidakmampuan dalam mengingat
jalan, hal ini sudah saya rasakan semenjak saya masih duduk di bangku SD, yang
pada waktu itu sepulang les menggambar, lupa jalan pulang ke rumah saya sendiri
dan harus tersesat hingga beberapa kilometer dari rumah. Bahkan ketika sudah
berumur seperti sekarang ini pun, saya sering lupa jalan dan keliru memilih
jalan di tempat tinggal saya sendiri. Akan tetapi, di sisi lain dan dalam
pelajaran yang lain, kemampuan saya melebihi teman-teman saya. Hal inilah yang
akhirnya membuka pikiran saya untuk memandang anak didik saya dari sudut
pandang yang lain. Tidak hanya dari segi nilai dan kemampuan menyelesaikan soal
ujian, tetapi juga dari sudut pandang seni dan etika.
Pendidikan yang sebenarnya, menurut saya adalah pendidikan yang mampu
memperlakukan anak didik sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Pendidikan
yang mampu menghargai mereka sebagai manusia, bukan malah menjadikan mereka
manusia yang rendah diri dan tidak menghormati dirinya sendiri. Karena tanpa disadari, stigma guru yang melekat pada anak didik yang mengatakan mereka anak
bodoh, akan mengendap di alam bawah sadar mereka dan membuat mereka yakin bahwa
mereka memang seorang anak yang bodoh, sehingga membuat mereka tidak
termotivasi untuk belajar dan berkreasi. Yang pada akhirnya akan mampu membunuh
karakter siswa secara perlahan, dan guru bertanggungjawab atas hal ini. Kalau
boleh saya katakan, ini adalah salah satu dosa besar kita sebagi guru.
Selain itu, anak didik cenderung
dibentuk sesuai keinginan guru, sehingga membatasi ruang gerak mereka dan
kreatifitas mereka. Untuk contoh kecil saja, ketika anak didik menjawab
pertanyaan yang tidak sesuai dengan kehendak guru, meskipun itu jawaban yang benar,
guru akan tetap menyalahkan jawaban tersebut. Padahal jika ditilik lebih jauh,
jawaban anak didik tersebut justru jawaban cerdas yang jauh dari alur berfikir
kita. Hal ini dikarenakan, dalam dunia pendidikan, selalu terdapat anak didik
yang berpikir di luar cara berpikir kebanyakan anak-anak lain, atau saya
biasanya menyebutnya out of the box. Anak-anak semacam ini cenderung dianggap aneh
oleh para guru dan terkadang dianggap biang masalah. Padahal jika potensi anak
didik tersebut dikembangkan, akan mampu menjadikan mereka sosok luar biasa di
masa mendatang. Sudah sepatutnya kita memperlakukan mereka selayaknya manusia,
meskipun mereka anak-anak, tetapi mereka juga mempunyai harga diri yang harus
dihargai dan dihormati.
Dan ketika berhadapan dengan mereka, memposisikan diri kita menjadi mereka, memasuki dunianya, menyelami hatinya dan menjadi sahabat sekaligus orang tua mereka. Sehingga mereka merasa nyaman berada di sekitar kita dan pelajaran serta nilai-nilai yang ingin kita sampaikan pun akan mudah mereka terima.
Dan ketika berhadapan dengan mereka, memposisikan diri kita menjadi mereka, memasuki dunianya, menyelami hatinya dan menjadi sahabat sekaligus orang tua mereka. Sehingga mereka merasa nyaman berada di sekitar kita dan pelajaran serta nilai-nilai yang ingin kita sampaikan pun akan mudah mereka terima.
Sekolah ataupun pendidikan, memang seharusnya menjadi tempat yang
menyenangkan untuk anak didik, membuat mereka merasa nyaman, dan selalu
merindukan hal-hal serta pengalaman-pengalaman baru. Bukan malah membuat mereka
tertekan yang akhirnya muncullah sikap pesimis, takut, dan malas untuk sekolah.
Justru ini lebih berbahaya dari nilai ujian yang jelek. Karena hal ini dapat
menjadikan anak didik sebagai pribadi yang tertutup, pesimis dalam menghadapi
persoalan hidup, mudah depresi, dan menjadikan mereka sosok yang tidak dapat
selesai dengan dirinya sendiri. Bagaimana mereka akan dapat menyelesaikan
persoalan hidup ketika dewasa nanti, ketika mereka tidak dapat mengenal diri
mereka sendiri. Dan bagaimana pendidikan dapat mengurai benang kusut ini jika
para guru masih berpikiran normatif, enggan belajar dari kesalahan, dan
menganggap diri sudah pandai hingga tidak perlu lagi belajar dan memperluas
wawasan.
Saya beranggapan, dewasa ini para guru sudah merasa nyaman di zona mereka
hingga nyaris tidak ada keinginan untuk mengembangkan diri, meskipun ada, hanya
sebagian kecil saja. Kebanyakan para guru mengikuti pelatihan dan kegiatan
pengembangan diri, hanya sebatas untuk memperoleh sertifikat agar dapat
digunakan untuk kenaikan pangkat. Sebuah disoreintasi, sehingga hal ini semakin
menjadikan pendidikan jauh panggang dari api.
Sebagai guru, sudah sepantasnya kita kembali berpikir ulang untuk tidak menjadikan anak didik hanya sebagai objek dalam pendidikan. Sudah saatnya mereka menjadi
subjek dalam pendidikan dan guru hanya sebagai fasilitator buat mereka. Di
revolusi industry 4.0 dan di abad 21 ini, Guru tidak lagi berperan layaknya penjual jamu yang ngomong dari awal
hingga akhir pelajaran. Sudah saatnya anak didik kita biarkan memecahkan
persoalan dalam pembelajaran dengan pikiran dan kemampuan mereka. Guru bukan
dewa yang serba tahu, yang segala ucapannya adalah maha benar. Guru juga harus
siap dikritik oleh anak didik ketika apa yang dilakukan dan diajarkannya tidak
sesuai dengan proses berpikir kritis mereka.
Persoalan lain dalam dunia pendidikan adalah guru dan pihak sekolah
menghalalkan berbagai cara agar anak didiknya mendapat nilai yang bagus. Hal
ini bisa kita lihat saat Ujian Nasional, sungguh memprihatinkan jika guru mengajarkan
pada murid untuk berbuat curang dan tidak jujur dalam Ujian Nasional hanya
untuk mengejar nilai yang bagus dan juga mengejar gengsi. Hal ini sangat
berbahaya untuk pribadi anak didik ketika mereka dewasa nanti, karena mereka
akan berpikir bahwa untuk mendapatkan segala sesuatu boleh mengesampingkan
kejujuran dan menghalalkan segala cara. Jadi jangan heran ketika para pejabat
banyak yang korupsi dan melanggar hukum, ini karena buah dari pendidikan
karakter yang salah dan melenceng. Bukankah lagi-lagi guru turut bertanggung
jawab atas hal ini?
Pendidikan yang seharusnya mampu memanusiakan manusia, pada akhirnya
hanya dapat melahirkan manusia yang mampu menikam manusia lainnya, yang Plautus
katakan sebagai homo homini lupus, manusia
adalah serigala bagi sesama manusianya. Bukankah ini sangat mengerikan?
Pendidikan itu seharusnya membebaskan, membebaskan peserta didik untuk mengembangkan kreativitas, membebaskan mereka untuk berpendapat yang bertanggung jawab, membebaskan pemikiran mereka yang out of the box, serta membebaskan ide-ide “gila” yang nyleneh.
Pendidikan itu melawan. Melawan kedunguan, melawan stigma tentang prestasi anak yang hanya diukur dengan nilai (raport dan kelulusan), juga melawan lupa (lupa adat, lupa sopan santun, lupa cara berterima kasih, lupa cara tersenyum dengan tulus).
Pendidikan itu ruang tempa untuk menjadikan manusia tahu dan merdeka. Tahu cara menghargai orang lain, tahu cara menjaga harga diri, tahu cara bertoleransi, tahu cara menggunakan hati, dan yang lebih penting lagi, tahu cara bercumbu dengan Tuhannya.
Dan pendidikan itu memerdekakan manusia, merdeka dalam mengambil keputusan, merdeka dalam berkreasi, berpikir kritis, serta berani menanggung resiko. Karena pendidikan yang memerdekakan manusia akan mampu memanusiakan manusia.
Pendidikan itu seharusnya membebaskan, membebaskan peserta didik untuk mengembangkan kreativitas, membebaskan mereka untuk berpendapat yang bertanggung jawab, membebaskan pemikiran mereka yang out of the box, serta membebaskan ide-ide “gila” yang nyleneh.
Pendidikan itu melawan. Melawan kedunguan, melawan stigma tentang prestasi anak yang hanya diukur dengan nilai (raport dan kelulusan), juga melawan lupa (lupa adat, lupa sopan santun, lupa cara berterima kasih, lupa cara tersenyum dengan tulus).
Pendidikan itu ruang tempa untuk menjadikan manusia tahu dan merdeka. Tahu cara menghargai orang lain, tahu cara menjaga harga diri, tahu cara bertoleransi, tahu cara menggunakan hati, dan yang lebih penting lagi, tahu cara bercumbu dengan Tuhannya.
Dan pendidikan itu memerdekakan manusia, merdeka dalam mengambil keputusan, merdeka dalam berkreasi, berpikir kritis, serta berani menanggung resiko. Karena pendidikan yang memerdekakan manusia akan mampu memanusiakan manusia.
Mendidik dengan hati, bukan dengan tangan besi. Karena sesuatu yang
keluar dari hati, akan mudah diterima dengan hati pula. Karena ketika kita
dapat mengambil hati mereka, maka jiwa mereka dapat kita genggam, dan ketika
jiwa mereka kita genggam, maka kita akan mudah memasukkan nilai-nilai karakter
ke dalam jiwa mereka. Sehingga harapan kita untuk menjadikan mereka pribadi
yang seutuhnya dapat terwujud. Pribadi yang bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa,
pribadi yang mencintai sesama manusia dan pribadi yang mengasihi semesta.
Singkat kata Pribadi yang takwa secara ritual dan takwa secara sosial.
Selamat Hari PGRI, Selamat Hari Guru, dan Selamat
untuk Berkarya dan Berbenah.
Hidup Guru.
Bangilan, 19
November 2018
02.44 Pagi
Tidak ada komentar