SEDIKIT CORETAN TENTANG RUMAH MASA KECIL PRAM, BLORA
Oleh : Linda Tria Sumarno
Hujan
deras mengguyur ketika Si Merah yang kami tumpangi memasuki hutan Sendangrejo
Bogorejo , Blora. Air hujan tumpah ruah di jalanan bercampur dengan tanah dan
lumpur. Jalanan terlihat lengang, hanya
satu dua pengendara yang kami temui. Aspal yang begitu banyak lubang membuat
laju Si Merah melambat. Pohon-pohon yang kira-kira berumur puluhan tahun bahkan
mungkin sudah ada ketika aku belum lahir berdiri kaku membisu dengan daun-daun
yang basah oleh kemarau yang juga basah. Pikiranku mengembara entah kemana
ketika tiba-tiba Si Merah berhenti mendadak. Aihhh,, seekor kucing ternyata,
gumamku pelan setelah aku teriak Allahu Akbar. Hampir saja menabrak kucing, akupun
melenguh panjang, pertanda apa ini, pikirku sambil mengernyitkan dahi. Semoga
saja pertanda baik. Si Merah kembali melaju kencang seolah ingin mendahului
waktu. Jam menunjukkan angka 14.30 WIB, ketika kami lihat Alun-Alun Blora
dengan jargon Mustika. Hingga Si Merah melambatkan lajunya saat kami mulai
memasuki Jl. Sumbawa No 40. Akhirnya kami menemukan juga apa yang kami cari,
lonjakku sambil mataku liar memandang sebuah sketsa wajah yang terpampang di
dinding luar rumah dengan goresan tinta “Rumah Masa Kecil Pramoedya Ananta Toer”,
rumah tua dengan banyak ilalang, pohon, juga kambing dengan bau khasnya.
Kehadiran kami
disambut oleh seorang ibu dengan rambut beruban yang sedang bercengkrama dengan
beberapa ekor kambing di depan rumah. Mataku tertumbuk pada sebuah lukisan
dengan kata-kata yang tegas dan provokatif, “Bacalah... Bukan Bakarlah !!!
“Bapak ada di
dalam, di sebelah sana”. Tutur ibu itu sambil menunjuk sebuah ruangan kecil
dengan rumput liar yang mengelilingi. Aku dan rombongan mengangguk, kemudian
berjalan menuju sebuah rungan dengan rumput liar yang seolah-olah menatap kami
tajam dengan rasa curiga.
“Assalamu’alaikum”
Ucapku pelan di ambang pintu ruangan dengan ukuran kira-kira 3 x 2 meter dengan
banyak lukisan Pram yang tergantung, 2 rak buku yang melekat pada dinding, juga
sebuah meja bundar yang berada di tengah-tengah ruangan dengan sebuah mesin
ketik tua, sketsa wajah Pram juga buku tebal yang bagian bawahnya dimakan rayap
yang semakin membuat sesak ruangan
-Perpustakaan Pataba- dan seorang tua dengan rambut juga cambang yang
semuanya telah memutih menjawab salam dan menyambut kami dengan senyum ramah.
“Monggo masuk, darimana?” ucap beliau
sambil mempersilahkan kami duduk dan akhirnya aku tahu, beliau adalah Soesilo
Toer, adik kandung Pramoedya Ananta Toer.
“Dari Bangilan-Tuban”
jawabku sambil mengambil tempat duduk di dekat meja.
“Ohh iyaa, silahkan
apa yang bisa saya bantu”. Dan akhirnya percakapan hangatpun memenuhi ruangan
yang pengap itu. Beliau bercerita panjang lebar tentang Pram, tentang
karya-karya Pram.
“Arus Balik itu
sebenarnya ada beberapa bagian yang menceritakan tentang kehidupan Pram. Dan
saya sangat benci ketika mengetahui Wiranggaleng bisa dengan tangan terbuka
menerima Idayu dan Anak Ulosowo itu. Karena saya tahu persis ada kejadian nyata
apa di balik itu”. Ucap beliau dan beliaupun menceritakan kisah di sebalik
kejadian tersebut. Aku membelalakkan mata dan mangap tidak percaya dengan cerita beliau. Sungguh di luar dugaan,
batinku tak percaya.
Memang benar apa
yang ditulis oleh Faidatur Robiah dalam Buku “Quantum Belajar”, buku yang kuperoleh
dari seorang sahabat “Joyo Juwoto” yang mengatakan, “Marahlah, Sebab Marah Itu Elegan”. Bahwa tidaklah mengherankan
jika seorang besar seperti Pram bisa mengelola marah dengan begitu elegan,
menuangkan rasa amarah yang meledak-ledak dengan goresan tinta tanpa harus
menyudutkan seseorang.
Soesilo Toer juga bercerita
tentang Tokoh Minke dalam Novel Bumi Manusia
“Tokoh Minke itu
sebenarnya Pram angkat dari sosok Bapak Pers Nasional kelahiran Blora Raden Mas
Djokomono Tirto Adhi Soerjo. Dan Pram salah, sebenarnya tokoh “Minke” itu bukan
anak Bupati, tapi beliau adalah cucu Bupati. Saya punya silsilah lengkapnya”.
Kata Soesilo sambil menatapku lembut dan menunjuk potret tua di atas rak, poto
seorang Ningrat yang memakai blangkon dengan warna hitam putih. Dialah “Minke”
sosok humanis yang merangkak dari bawah meski berasal dari keluarga Ningrat
untuk mengangkat harkat dan martabat negara Indonesia.
“Dan manusia salah
itu manusiawi, bukan begitu?”. Ucap beliau sambil tertawa.
“Owh,, kalau
Annelies Kung?” tanyaku sambil memandang potret “Minke” di dinding.
“Pram memang
menggabungkan antara sesuatu yang nyata dengan fiksi, dan itulah Annelies,
tokoh fiksi yang diciptakan Pram”. Soesilo menunjuk sebuah lukisan yang
tergantung di dinding tepat di sebelah pintu. Seorang perempuan dengan rambut
panjang dan memakai jarik sebagai kemben dengan duduk bersimpuh di tanah.
Annelies, gumamku sambil menatap lekat lukisan tersebut. Ku pandangi dengan
detail setiap gurat kuas yang membentuk wajah dan tubuh Annelies. Aku pun
menggeleng pelan, tak puas dengan lukisan tersebut.
“Kalau Perburuan
Kung ?” Tanyaku sambil melangkah mendekati dua kardus yang berada tepat di
belakang beliau. Kardus yang berisi puluhan buku tentang Pram karya beliau.
“Nah, kalau
perburuan itu terjadi di sini, di jembatan Bangle. Di situ memang terdapat
kolong dan banyak kere-kere yang berlindung di situ. Itu pemberontakan Blitar,
Mas Hardo yang melakukannya”.
“Owh,, iya Kung
benar. Mas Hardo”. Aku mengangguk sambil memegang buku dikardus Pram dalam tungku.
“Kalau Pram punya
Tetralogi, saya punya Pentalogi dan itu salah satunya”. Ucap beliau sambil
menunjuk buku yang ada di tanganku. Kuaduk aduk isi kardus dan kuambil enam
buku, setelahnya aku kembali duduk, sambil memandang mesin ketik tua yang ada
di hadapanku dengan di belakangnya sketsa wajah Pram di atas kanvas dengan
tulisan yang kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia kira-kira artinya, “Pikiranku tidak bisa diberangus”.
Sebuah kalimat provokatif yang cukup membangkitkan semangat.
“Tubuh kita memang bisa di berangus dan di
penjara, tapi tidak dengan pikiran kita”. Soesilo memandangku seolah tahu apa
yang ada di pikiranku. Aku tersenyum tersipu. Jika mata beliau masih awas,
pasti bisa melihat pipiku yang memerah. Dan ku beri lagi beliau pertanyaan.
“Kalau novel Bukan Pasar Malam itu kisah nyata
jugakah?”
“Iya, dan
kejadiannya di rumah ini. Ketika itu saya baru kelas 5. Tapi saya masih ingat
betul ketika semua anak bapak berkumpul di rumah sakit dan satu persatu meminta
maaf kepada beliau. Dan beliau membelai lembut rambut saya sambil bertanya “Kapan ujian le?” , saya tidak bisa
menjawab hanya menangis dengan sekeras-kerasnya. Dan di novel ini Pram
menekankan bahwa dia dan seluruh keluarganya bukan Komunis, karena ketika Pram
mendapati Bapak sakaratul maut, Pram membisikkan kata Allahu Akbar di telinga Bapak, masak Komunis bilang Allahu Akbar”.
Cerita beliau sambil berkaca-kaca dan berapi-api, seolah menjadi sebuah protes
terhadap keadaan diri beliau dan keluarganya yang selalu dihakimi dan
disudutkan oleh opini sejarah.
Di Novel Bukan Pasar Malam memang terlihat sisi
religiusitas yang ditampilkan oleh Pram. Di situ Pram menuliskan bahwa bapaknya
seorang yang beragama Islam. Kakeknya seorang Ulama, namun Bapaknya, Pak
Mastoer lebih memilih menjadi seorang Nasionalis bukan seorang Agamis, dan
mengabdikan diri menjadi seorang guru, lembaga bangsa dengan harapan mampu
membuka pintu hati anak-anak untuk pergi ke taman, taman di mana akan banyak
bunga yang bisa di petik dan di cium harumnya. Ku hela nafas, ku pandangi wajah
tua Mbah Kung Soesilo Toer. Kantung matanya terlihat tebal, pertanda terlalu
banyak aktifitas yang beliau lakukan sehingga mengurangi jam tidur beliau.
“Oya Kung, njenengan
sudah berumur 79 tahun tapi masih rajin menulis dengan ingatan yang kuat”.
“Saya ini seorang
yang suka mengorek-orek sesuatu yang “kotor” dan saya tuang dalam tulisan. Saya
tidak punya kekuasaan untuk melawan segala yang berbau “kotor”, hanya dengan
tulisan saya bisa melawannya dan saya juga seorang berpikiran ekonomis, sesuatu
yang saya lahirkan akan bisa menghidupi saya dan keluarga”. Ucap beliau sambil
menggulung lengan kemejanya ke atas.
Beliaupun bercerita
panjang lebar tentang hal-hal “kotor” yang pernah beliau temui dan cara beliau
menghadapi hal-hal “kotor” tersebut. Dan hal yang menarik perhatian saya adalah
ketika beliau bercerita tentang prinsip hidup beliau “bahwa jika kita berbuat
kebaikan, maka orang lainpun akan berbuat baik kepada kita”. Beliaupun
bercerita tentang hal-hal tak terduga yang beliau alami setelah berbuat baik
kepada orang lain. Tentang kedatangan dua orang yang beliau hidangkan mie
rebus, meski di dapur hanya tersisa dua mie rebus untuk makan esok hari,
tentang Wartawan dari Jepang, London juga tentang film yang beliau mainkan.
Di luar, langit
mulai berubah warna menjadi jingga. Juga kambing-kambing yang sedari tadi
berada di halaman sudah tidak tampak lagi karena sudah mulai mendekam di
kandang. Dan itu pertanda hari sudah semakin sore. Akhirnya kamipun pamit
dengan membeli enam buku karya beliau. Lima diantaranya buku Pentalogi Pram dari Dalam (2013), Pram dalam Kelambu (2015), Pram dalam Bubu (2015), Pram dalam Belenggu (2016), Pram dalam Tungku (2016) dan sebuah buku
berjudul Komponis Kecil karya Soesilo
Toer di pilih bidadari kecilku untuk dibawanya pulang dan dijadikannya bahan
bacaan di usianya yang masih sangat muda –kalau tidak boleh disebut kecil- hehe.
Ada binar bahagia di wajah tua Soesilo Toer ketika mengharapkan kami untuk bisa
kembali bertandang ke rumah masa kecil Pram. Beliau dan Suratiyem, istri ketiga beliau
–untuk istri pertama dan kedua aku lupa menanyakannya, apakah beliau masih
hidup atau sudah meninggal- mengantar kami hingga di tepi jalan raya. Sebuah
penghormatan yang begitu besar dari orang besar dan juga pemikiran yang besar
kepada kami yang baru beberapa jam beliau kenal.
“Hati-hati di
jalan”. Ucap beliau sambil melambaikan tangan tuanya.
Aku tersenyum dan Si Merah mencari jalan kembali pulang.
Begini cara pemerintah memperlakukan orang sehebat beliau,
seorang doktor lulusan Institut Plekhanov Uni Soviet (sekarang Rusia), dengan
pemikiran-pemikiran hebat dan rasa kemanusiaan yang tinggi, mendiskreditkan
dengan alasan yang hanya berdasar dari asumsi-asumsi dan opini sejarah bentukan
orde baru. Seakan tidak ada kata maaf dan menghakimi, seolah-olah mereka lupa
ada Maha Raja, hakim seadil-adilnya hakim. Seharusnya kita bisa lebih arif
dalam kerelatifan dengan menjunjung tinggi pepatah Jawa Mikul Dhuwur Mendhem Jero, mengubur semua yang berbau kejelekan
dengan hanya mengenang yang berbau kebaikan
agar kedamaian dan kehangatan selalu menyelimuti Bumi Manusia, Bumi
Indonesia...
Blora, 27 Nopember
2016
Penulis adalah seorang pegiat di Komunitas Kali Kening
dan berharap bisa memilih jalan sunyi untuk bersuara lantang meski harapan
tersebut setipis kulit ari untuk terwujud.
Catatan kecil:
Terima kasih tak terkira untuk Sang Penyemangat yang tak
sedikitpun protes ketika Ku rampas waktunya dan ku habiskan uangnya demi
terbelinya buku-buku untuk investasi pengetahuan.
PLUR.. Peace, Love, Unity, and Respect
Tidak ada komentar