Header Ads

Header ADS

HAIKAL : MALAM KEPARAT



Oleh : Linda Tria Sumarno

Langit di ujung selatan terlihat muram, matahari meredup dan bersembunyi di sebalik awan. Burung-burung melela riuh di antara mendung, berkelebat dengan kepak sayap yang terlihat lemah. Awan hitam bergulung bagai debu yang tersaput angin. Pekat, seakan matahari tak akan lagi muncul untuk menghangatkan jiwa-jiwa yang kering. Sekering jiwa pemuda yang masih saja gila dalam warasnya. Terus saja ia bercericau tentang sajak-sajak yang menyayat, mengiris tiap telinga yang mendengarnya, ia ucapkan tiap sajaknya di antara riuh air sumber anget yang terus memancar dari sumbernya. Dan pemuda yang gila dalam warasnya itu tetap bergeming, tak peduli dengan uap yang mengepul dari air yang mengandung belerang di sebelahnya. Ya, dialah Haikal. Seorang pujangga lara. Pujangga yang syair-syairnya terus mengalir dari jiwa dan hatinya yang terhimpit oleh pahitnya luka akan seorang gadis manis peretak hatinya.
“Jika menutup mulut seperti membuka pintu bagi rasa putus asa, maka menitip air mata pada kesepian adalah memasang tali untuk menjerat leher sendiri. Dan aku, masih tersiksa menanti kematian tiba...” 
Sebait sajak lagi-lagi Haikal tulis dalam dinding gua, dipahatnya gua itu seumpama melukis gadis pujaannya. Ia ukir nama Meylinda tidak hanya di dinding hatinya, tapi juga di tiap dinding gua yang kini menjadi tempatnya berteduh, karena gubuk yang biasa ia pakai untuk menjelempahkan tubuh kurusnya, telah roboh oleh angin puting beliung kemarin sore. Ya, bulan Nopember adalah bulan di mana hujan sedang lucu-lucunya dan angin puting beliung turut juga menyemarakkannya.
Malam kembali menjemput, dan kau Meylinda kapan menjemput rinduku. Tahukah kau, betapa sakit dan melelahkan menunggu. Datanglah Meylinda, meski hanya kau beri aku sumpah serapah..” Teriak Haikal sebelum ia limbung dan menyatu dengan dinginnya angin Lembah Cinta.

                                                                      ***

Terlihat seorang perempuan manis dengan tubuh ramping berjalan pelan di bawah langit yang mulai berubah jingga, pinggangnya bagai kelokan sungai yang selalu basah oleh air, juga matanya bagai kejora yang selalu terang meski mendung bergelayut, dan di belakang perempuan manis itu terlihat sesosok pria perlente membuntutinya. Tingginya kira-kira sebahu perempuan itu, dan hidungnya bagai jambu ranum yang siap dipetik. Rambutnya di belah tengah, seperti jalan tol Suramadu yang membelah laut Madura. Dialah tangan kanan Shalihin, Blind 51. Dan perempuan manis itu melambatkan langkahnya ketika ramping kakinya menyentuh tanah Lembah Cinta. Jantungnya berdegup kencang, seandainya tak ada daging yang membungkus jantungnya, telah loncat dan larilah jantung merahnya. Ditebarkan pandangnya pada tiap sudut Lembah Cinta,  matanya yang bak kejora itu tertumbuk pada pohon tua yang masih kekar menancap di pinggir sumber air anget. Di antara akar-akar pohon, dilihatnya seorang pemuda yang badannya basah oleh keringat. Dibiarkan dadanya telanjang dan terlihat tulang-tulang menonjol bagai pipa-pipa air yang menyembul pada permukaan tanah. Mata Meylinda basah, diangkat rok yang menutupi halus kulitnya dan dipercepat langkahnya menghampiri pemuda itu.
“Kaukah itu Mas Haikal?” Ucap Meylinda dengan suara tercekat di tenggorokan. Pemuda itu menunduk, dan tetap menunduk. Hanya runcing hidungnya yang terlihat di sebalik dahinya. Meylinda berdiri membatu, seolah kakinya telah lekat oleh tanah. Tak kuasa ia menggerakannya.
“Kaukah itu Mas Haikal?”. Ulang Meylinda sambil duduk di depan pemuda kusut itu. Dan pemuda itu mengangkat dagunya. Terbelalak dan mundur melekatkan tubuhnya pada pohon demi melihat perempuan manis yang tengah duduk mengiba di depannya. Haikal pun berteriak lantang.
“Ohh, Bidadari dari mana kau. Bagaimana bisa wajahmu serupa dengan bidadariku. Bahkan aroma tubuhmu pun sama dengan bidadariku”. Pemuda itu berdiri cepat, disandarkan badan rapuhnya di pohon agar ia tidak terjatuh.
 “Ini aku, Meylinda”. Bulir-bulir kristal menganak pinak di pipi merah Meylinda. Dipandangi wajah Haikal, terlihat sangat tidak terawat. Jerawat berebutan hinggap di wajahnya. Juga giginya terlihat kotor. Namun, sisa-sisa ketampanan Haikal masih bisa terlihat meski samar. Beberapa kali Haikal mencubit tangannya sendiri dan mengucek-ucek matanya, memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi.
“Wahai angin, biarkan kuncup-kuncup kembang ini mekar di antara semak berduri. Jangan kau hempaskan ia sebelum lebah menghisap tandas madunya”.Suara lirih Haikal membuat sajaknya bagai duri menancap di antara bongkahan hati Meylinda.
“Mengapa kau menyakiti dirimu seperti ini Mas, bukankah kau pernah tulis dalam puisimu yang aku baca dulu di bawah pohon Kepoh, di kali kening, bukankah kau tulis dengan jelas Simpanlah masa lalu pada tempatnya, karena di sana kesedihan dan rasa sakit tumbuh berulang kali. Ingatkah kau Mas?” Meylinda mendekati Haikal, ia coba raih tangan Haikal. Namun, Haikal berbalik dan memeluk pohon beringin di belakangnya.
“Duh Gusti,, benarkah ini nyata. Kau kirim bidadariku ke sini. Untuk menjemputku atau malah akan menggantung leherku?” ucap Haikal. Dan dari jauh pengawal Meylinda, Blind melihat dua manusia itu menumpahkan rasa dengan sesekali menghisap rokok kreteknya.
“Aku datang mas, pulanglah bersamaku. Tak guna seperti ini”
“Kau Meylindaku, kau menjemputku, benar dugaanku kau memang masih mencintaiku. Duh Gusti, terima kasihku tak terkira”. Haikal memandang Meylinda, batu-batu yang ada di kepalanya luruh dan begitu ringannya sekarang ia angkat kepala.
“Bukan mas, bukan itu maksudku. Keadaan sudah lain sekarang. Aku istri orang” belum selesai Meylinda bicara, Haikal berteriak lantang. Ditudingnya Meylinda dengan jari telunjuknya.
“Persetan, tubuhmu boleh dijelajahi Shalihin keparat itu, tapi tidak jiwamu. Kembalilah padaku Meylinda, kembalilah...”. Haikal meratap, lututnya terjatuh di tanah. Tangisnya terdengar bagai melodi yang mengiris hati Meylinda.
“Hujan datang di musim yang lain, mengapa kau hanya datang disatu musim saja, wahai Bidadari peretak sukma”. Ratap Haikal. Meylinda terdiam, memandang tubuh lusuh Haikal dengan iba. Mata pengimpi Haikal terlihat redup. Didekatinya Haikal dan ditatapnya dengan tajam.
“Mas, jika kau masih mencintaiku. Dengarkan aku, lihatlah tubuhmu begini kurus. Juga kulitmu semakin kisut, mandilah dulu. Biar segar badan juga pikirmu. Berendamlah di air anget itu. Setelah itu boleh kau berlama-lama menumpahkan gundahmu”. Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Haikal berjalan pelan menuju sumber air anget, berendam dan membersihkan kulitnya dari daki dan kudis.

***
Haikal terlihat lebih segar, wajahnya kembali merah tidak sepucat kemarin. Ia dudukkan tubuhnya di samping Meylinda, di bebatuan sumber air anget. Ia menatap lembut wajah manis Meylinda.
“Kewarasanku seolah tenggelam di kali kening senja itu, saat kau tak datang lunasi janjimu. Dan kini, kewarasanku muncul kembali setelah aku berendam di air anget ini dengan kau di sisiku” Haikal mengibaskan rambutnya yang basah.
“Kau masih seperti Meylinda ku yang dulu, sikapmu, senyummu bahkan aroma tubuhmu”. Haikal menghirup wangi tubuh Meylinda. dipejamkan matanya, menelusuri tiap detail lekuk wajah Meylinda, ia dapati mata yang berbinar bak kejora, hidung mancung yang bertengger di antara merah pipinya, juga hitam rambut Meylinda tergambar jelas di mata Haikal. Kecantikan yang sangat sempurna, bisiknya. Puas ia bercumbu dengan bayang Meylinda, dibukanya kedua mata sayunya.
“Ingatkah kau Meylinda, waktu pertama kita berjumpa dulu, saat kau temani sepupumu Kafa bermain Sandur di bantaran Kali Kening. Pintar kau mendandani wajahnya menjadi Cawik, begitu cantiknya dia. Bahkan tidak ada seorangpun yang mengenalinya sebagai seorang lelaki, ku sapa kau dan kau berikan aku senyum. Senyum yang membuatku menjelempah malam itu dan membuatku tak bisa terpejam semalaman”. Haikal memandang lembut mata Meylinda, berusaha mengetahui pedalaman hati Meylinda. Namun Meylinda hanya melenguh tanpa suara. Haikal kembali melanjutkan dongengannya.
“Saat itu bulan sedang bulat-bulatnya, begitu indah. Namun kaulah rembulan yang sesungguhnya. Sinar rembulan tak mampu menandingi kilau sinar wajahmu”. Haikal meringkaskan tubuhnya, udara dingin Lembah Cinta membuatnya menggigil. Dihisapnya dalam-dalam aroma tubuh Meylinda. Ia nikmati setiap tarikan nafasnya. Dan sesekali melenguh panjang.
“Cukup mas, jangan kau siksa aku dengan dongenganmu”. Meylinda terisak. Haikal terus saja mendongeng.
“Ingatkah juga kau Meylinda, ketika Malam Festival Puisi di Kali Kening dulu, itulah kali kedua aku melihatmu. Kau begitu apiknya berpuisi seperti seorang ibu yang meninabobokan anaknya dengan kecup. Kau sihir semua yang hadir, termasuk aku. Kau bawa merenungi setiap gurat wajahmu, tubuhmu, juga sajakmu. Kau begitu anggun, seekor merpati yang jinak namun garang. Kau ratu panggung malam itu. Dan aku berpikir, aku benar-benar jatuh cinta kepadamu. Hingga kuberanikan diri memberikan bunga kenikir yang kupetik di pinggir pohon Kepoh dan kuberikan padamu di atas panggung”. Meylinda tercenung, memandang Haikal sayu. Ingin ia raih tubuh Haikal, namun wajah Shalihin membayang di pelupuk matanya. Ada kehormatan yang harus aku jaga, batin Meylinda. 
“Duh Gusti...” Meylinda meratap. Semua kenangan itu masih tersimpan rapi di setiap sudut hatinya. Dan kini Haikal mendongengkannya dengan begitu apik.
“Tahu kau Meylinda, setelah Malam Festival Puisi usai, aku buntuti kau ketika pulang hingga aku benar-benar tahu letak rumahmu. Selepas itu, aku selalu mengunjungimu dari jauh. Tak berani aku ke rumahmu, hanya berdiri mematung di ujung jalan dan sembunyi di balik pohon mangga. Memandang dan melukismu dalam ingatanku. Menjadikan kau patung dalam kepalaku. Kucumbui dalam diammu dan juga dalam sepiku. Dan aku juga tahu, jam berapa kamu menyapu, mandi, memasak, bahkan juga tahu berapa ember air yang kau berikan pada ternak kembingmu yang tiga itu”. Meylinda terlonjak, tak menyangka akan sedalam itu Haikal mencatat setiap detail kegiatannya.
“Aku juga tahu, topi pet coklat yang selalu kau pakai untuk melindungi lembut rambutmu, topi dengan sedikit sobekan di ujungnya”.
“Ohhh....” Meylinda melenguh panjang, disandarkan dagu lancipnya pada kedua lututnya.
“Iya Meylinda, hingga hari itu. Saat kau berangkat ke pasar. Aku membuntutimu dari belakang. Dan aku tolong kau dari tangan-tangan pemuda bebal yang mencoba menggoda dan menyeretmu. Dan aku mulai berani melihatmu dari dekat. Mengunjungimu dan mengajakmu jalan-jalan di bantaran kali kening”.
“Masih ingat kau Meylinda, saat aku nyatakan cintaku padamu lewat sajak-sajak ku? Karena aku tahu, kau begitu menyukai puisi. Dan itulah caraku meluluhkan hatimu. Ku kirim kau sajak-sajak cintaku setiap hari, ku titip pada Kafa. Karena hanya itulah yang aku punya selain wajah tampanku. Dan akhirnya, kau jatuh di pelukanku, ya gadis manis ini jatuh di pelukanku”. Haikal merengkuh Meylinda dan menenggelamkan Meylinda dalam dada ringkihnya. Meylinda terdiam, namun ia tidak ingin tenggelam dalam perasaannya. Diangkat dagunya dan melepaskan diri dari dekapan Haikal. Menggeser duduknya, menjauhi Haikal. Menyeka tiap bulir air yang menetes dari matanya. Perasaannya teraduk hingga tak sepatah pun kata terlontar dari bibir ranumnya.
Haikal juga menggeser pantat runcingnya, menggaruknya dengan kuku-kuku lancipnya hingga menimbulkan bunyi berderik. Ia tubrukkan pandangannya pada sumber air yang mengalir di bawah kakinya.
“Tahukah kau Meylinda, kenapa air ini terus mengalir meski kemarau menggerogoti?” Haikal membuka suara. Meylinda menggeleng pelan.
“Karena Cinta, Meylinda. Cinta yang menggerakkan semesta ini. Cinta yang membuat Zulaikha tersayat jarinya, Adam terbuang dari nikmat surga. Cinta juga yang membuat aku begini menderita”. Ditatapnya wajah Meylinda. Ia tarik kedua alisnya hingga menyatu. Cinta Meylinda, cinta. Gumamnya pelan sambil dipegangnya pundak Meylinda dan mata mereka beradu. Menimbulkan getaran-getaran aneh yang menjalar ke tiap-tiap aliran darah. Mendidihkan tiap helai rambut mereka hingga dingin angin lembah cinta tak mampu menembus pori-pori kulit kedua makhuk Tuhan tersebut. Meylinda tertunduk, terlihat pipinya memerah dan bibir ranumnya basah oleh air mata. Hari mulai gelap namun wajah Meylinda tetap bersinar bak bulan purnama.
“Tapi..., bagaimana bisa kau sampai sini, siapa yang memberi kabar padamu?” Haikal bertanya lembut
“Mas Shalihin yang menyuruhku”.
“Shalihin...?”
“Iya..” Jawab Meylinda pelan.
“Persetan dengan Shalihin, kau sekarang ada di hadapanku. Dan malam ini kau milikku Meylinda, bahkan dewa pun tak akan bisa membawamu pergi dariku”. Haikal memgang dagu lancip Meylinda. Di tantangnya mata teduh Meylinda.
“Tidak sepatutnya kita seperti ini, Mas. Ada kehormatan yang harus aku jaga dan junjung. Kau harus hargai itu”. Meylinda berkata tegas. Matanya meradang
“Aku kesini untuk membawamu pulang. Kewarasanmu benar-benar telah lenyap. Lepaskan Mas...”. Meylinda meronta, melepaskan pegangan tangan Haikal. Namun cengkraman tangan Haikal begitu kuat. Ia dorong Haikal dengan sekuat tenaganya. Namun tangan lembut perempuan itu tak mampu menghempaskan tubuh Haikal. Haikal semakin beringas, di cengkeramnya tubuh Meylinda. Disibaknya rambut Meylinda yang menutupi sebagian wajahnya. Dan suara jangkrik membuat gaduh malam yang baru saja merangkak, sedang Blind yang mengawal Meylinda tertidur di bawah pohon di seberang, teriakan Meylinda hilang ditelan senyap. Dan akhirnya, malam keparat itupun terjadi...


Bersambung....

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.