Aku adalah Senja*
Adib Riyanto*
Saat kau membaca cerita ini, di beranda rumahmu
sembari menyeduh kopi atau membaca koran pagi, barangkali aku sudah menjadi
senja.
Aku tak pernah mengenal kebahagiaan yang begitu terang
sampai-sampai tak ada yang lebih terang dari apa pun seperti saat bersamamu.
Aku dilahirkan bersama kesedihan yang serupa cairan hitam gurita, tak
henti-henti disemprotkan oleh tentakel waktu. Kesedihan yang membuat batu-batu
pecah dan matahari menceburkan dirinya ke dalam lautan air mata.
Damar: kekasihku. Kau adalah busa ajaib yang mampu
menyedot kesedihanku sampai tak tersisa satu tetes pun. Senyummu adalah angin
adalah danau adalah bunga adalah kupu-kupu; keindahan paripurna yang tak lagi
bisa diwakili kata-kata.
Kau benar, kita hanyalah sepasang kekasih yang teramat
mencintai senja. Kau mengabadikannya dengan sapuan kuasmu, sedang aku hanya
bisa menulisnya dalam kesederhanaan kata-kata.
“Bukankah kita adalah sepasang pencerita,” ucapmu
suatau ketika. “Apakah kita akan jadi hampa jika salah satu tak ada?”
Aku tak pernah mampu menjawab pertanyaan itu. Tak
pernah.
Kekasihku, di pantai itu, ketika matahari merah dan
lidah air mulai menjilati bibir daratan, aku telah memutuskan untuk mengakhiri
hidupku. Aku tak tahan dengan segala penderitaan yang telah dirajahkan Tuhan di
dalam tubuhku. Rasa sakit dan aib yang diwariskan oleh ayahku ini selamanya
adalah milikku. Selamanya. Dan hanya kematian saja yang mampu menghilangkannya.
Tapi kau datang hari itu. Seumpama pangeran berkuda putih
yang mengulurkan tangannya untuk menyelamatkan hidupku, membawaku ke kastil cahaya
dan menenggelamkan segala kesedihan.
Damar:
pelitaku. Sejak hari itu, kegelapan dalam tubuhku mulai kau isi dengan secercah
cahaya dan lagu-lagu. Aku bukan lagi malam tanpa rembulan. Aku bukan lagi batu
di jantung sumur tua yang pengap dan sendirian. Meski aku masih pendiam seperti
selembar daun, tapi bunga di wajahku mulai mekar dan tubuhku menguarkan wangi
kebahagiaan.
Aku merasa bahagia menghabiskan waktuku bersamamu; menemanimu
melukis senja, dan tak pernah melewatkan ceritamu tentang muasal kunang-kunang:
“Kunang-kunang tak pernah dilahirkan dari kuku orang
meninggal,” ucapmu. “Ia adalah air mata bahagia seorang perempuan sebab begitu
dicintai oleh kekasihnya.”
Aku tahu, kau hanya membual saat itu. Tapi aku tak
peduli. Aku menyukai ceritamu.
“Jika di kota ini populasi kunang-kunang semakin
sedikit, apakah itu pertanda bahwa semakin sedikit saja perempuan yang bahagia
karena kekasihnya?” Aku bertanya.
“Barangkali memang seperti itu. Tapi aku berjanji,
mulai saat ini akan lahir begitu banyak kunang-kunang dari matamu.”
Wajahku jadi merah serupa buah apel yang dipetik Adam
untuk kekasihnya. Sedang kau tersenyum penuh kemenangan.
Kau benar. Mulai saat itu, aku memang jadi sering
menangis, bukan karena kesedihanku, aku bahkan mulai melupakannya. Aku menangis
karena merasa bahwa Tuhan tidak menciptakanku sia-sia. Aku menangis karena
cinta yang dulunya kurasa begitu jauh, kini ada di depan mataku. Aku menangis
karena kau telah memberiku seribu alasan untuk bahagia.
Kebahagiaan yang kau nyalakan di dalam diriku
membuatku jadi semakin senang menulis. Dan kau pun nampak semakin rajin
melukis. Lalu senja menjadi hal yang tak bisa terpisahkan dari hidup kita.
“Apa yang membuatmu begitu menyukai senja?” Tanyaku
suatu ketika.
“Entahlah, aku tak pernah benar-benar tahu mengapa.
Hanya saja ketika tanganku mulai melukisnya, aku merasa ada keindahan dan
kedamaian yang begitu dalam di sana. Warna-warna itu membuatku diam sesaat,
lalu menghembuskan nafas dalam-dalam. Senja membuatku merasakan kebahagiaan dan
kesedihan secara bersamaan.”
Aku begitu mencintai caramu melukiskan kekaguman serta
rasa cintamu kepada senja; dan tiba-tiba saja aku ingin menjadi senja, agar kau
tak pernah berhenti mencintai dan mengabadikanku dengan kuasmu.
Lalu kuceritakan kepadamu bahwa banyak sekali penulis
yang tergila-gila kepada senja.
“Seno Gumira Ajidarma misalnya,” ucapku. “Ia menulis
cerita pendek berjudul Sepotong Senja untuk Pacarku.”
“Oh, ya? Apakah itu tentang seorang lelaki yang
melukis senja untuk kekasihnya?” Kau bertanya.
“Tidak. Lebih gila dari itu. Itu tentang seorang
lelaki yang mengerat senja. Memasukkannya ke dalam amplop, lalu mengirimkannya
untuk kekasihnya.”
“Yang benar saja! Mana bisa seperti itu?” Raut wajahmu
menggambarkan rasa tak percaya. Ada beberapa lipatan kerut di keningmu dan
entah mengapa itu membuatku ingin tertawa.
“Begitulah. Bahkan, ada yang lebih gila dari itu,”
jawabku. “Senja di Taman Ewood. Itu tentang seorang lelaki yang bunuh diri agar
bisa menjadi senja untuk kekasihnya.”
“Astagaa! Siapa yang menulis cerita semacam itu?”
“Sungging Raga. Seorang penulis dari Situbondo.”
“Kukira dia benar-benar sudah putus asa.”
“Maksudmu, si penulis atau tokoh di dalam cerita itu?”
“Dua-duanya.”
Aku terdiam beberapa saat. Rasa putus asa. Ah, tiba-tiba
saja kata itu menjadi jarum tajam yang berkali-kali menusuk ulu hatiku. Aku tahu benar seperti apa rasanya putus asa.
Ah, memutuskan untuk menjadi sesuatu yang berharga bagi orang yang kamu cintai,
saat hidupmu tak lagi menyisakan harapan, kurasa itu bukan sebuah kesia-siaan.
“Entahlah. Mungkin ia hanya ingin menjadi berarti
untuk kekasihnya.”
Kau terdiam, lalu mengangguk sepersekian detik
berikutnya. Dan kita berpelukan sore itu di bawah senja yang bisu, hanya udara
yang berkali-kali menyisir rambutku dan aroma laut yang berusaha menyebunyikan
kesedihan.
Seperti senja yang hanya sementara, kebahagiaan yang
kurasakan pun tak bertahan lama. Aku seperti terbangun dari mimpi indah
semalam, saat dokter pribadiku memberikan vonis bahwa umurku tak lama lagi.
Tubuhku mengambang bagai busa di lautan. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan
kepadamu. Maka yang bisa kulakukan adalah menghilang, mengunci diri dalam
kesedihanku sembari menunggu kematian datang.
Aku bersedih. Aku sudah sangat akrab dengan kesedihan,
dan mungkin memang aku dilahirkan untuk itu. Tapi, rasa sedihku kali ini bukan
karena penyakitku. Bukan karena aib yang diwariskan oleh ayahku. Tapi aku
bersedih karena waktu yang kita miliki begitu singkat.
“Kita adalah pecinta senja. Tapi semoga cinta kita tak
selekas itu. Kita adalah ombak dan bibir pantai, yang mungkin surut sesaat,
tapi selalu kembali dan tak pernah berhenti saling mencintai.”
Kau pernah membisikkan kata-kata itu di telingaku. Aku
pun melambung seperti balon udara yang lepas dari tangan seorang kanak.
“Untuk ukuran seorang pelukis, kupukir kata-katamu
terlalu puitis. Kau belajar itu dari mana? Jangan bilang kau juga ingin menjadi
penulis. Setelah mencuri hatiku, sekarang kau ingin merebut pekerjaanku?”
Kau tertawa dan tak berhenti menghujaniku dengan ciuman.
Aku benar-benar bahagia. Bersamamu aku seolah lupa bahwa di dalam tubuhku ada
sebuah bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
“Re, aku tak bisa bebicara soal ini kepada Damar.”
Sore itu, aku menangis di dekapan sahabat kita,
Renata. Aku baru saja menceritakan segala hal kepadanya. Terkait penyakit yang
kuderita dan bagaimana caranya agar kau tidak terpukul saat kehilangan diriku.
“Tapi, bagaimana pun Damar berhak tahu soal ini. Kamu
tak bisa tiba-tiba menghilang dari hidupnya. Itu tidak adil!”
Aku tak tahu harus bagaimana. Satu hal yang kuminta
dari Renata saat itu hanyalah menutup rapat-rapat rahasiaku darimu, sampai saat
kematianku benar-benar tiba. Dan tak ada kesedihan lagi yang bisa diceritakan
melainkan air mata.
Di pantai itu, di antara debur ombak dan angin pada
pohon-pohon kelapa, untuk terakhir
kalinya, aku membuat sebuah permintaan kepadamu.
“Pejamkan matamu, dan lukislah diriku seolah-olah aku
adalah senja terindah yang pernah kau lihat?”
“Tentu saja, sayang, kau adalah senja terindah di dalam
hidupku. Bahkan kuasku tak akan mampu melukis parasmu yang sempurna ini.”
Kau tertawa dan tak berhenti membelai wajahku dengan
tanganmu yang beraroma cat air. Perlahan aku menjauhkannya dari wajahku.
“Kumohon, jangan menggombal. Aku serius. Lukislah
diriku seperti kau melukis senja.”
Kau pun mulai memejamkan mata dan menyapukan kuas di
atas kanvas putih.
“Jangan kaubuka matamu, sebelum kau yakin telah
menyelesaikan lukisan itu!”
Kau terus memejamkan mata dan memindahkan keindahan
senja di sana, di kanvasmu. Sedangkan aku diam-diam pergi meninggalkanmu.
Meninggalkan kebahagiaan dan harapan yang pernah begitu benderang menyinari
langkahku. Meninggalkan segala percakapan kita tentang senja, kunang-kunang dan
masa depan.
Barangkali kau akan kembali bertanya: Bukankah kita
adalah sepasang pencerita. Apakah kita akan jadi hampa jika salah satu tak ada?
Aku tak tahu. Aku hanya berharap, saat kau membaca
cerita ini, di beranda rumahmu sembari menyeduh kopi atau membaca koran pagi,
aku sudah menjadi senja yang sempurna kau lukis dengan kuasmu.
Kekasihku, percayalah, aku adalah senja yang indah.
Senja yang hanya mampu hadir sebentar dalam hidupmu. Senja yang bahagia
sekaligus sedih, yang membuatmu gemetar dan memejamkan mata, lalu menarik nafas
dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
Sekali lagi, aku adalah senja. Aku sama sekali bukan perempuan
malang yang meregang nyawa karena mewarisi penyakit HIV Aids dari ayahnya.
Kumohon,
jangan pernah berhenti melukis keindahanku.
Bangilan, 08
Desember 2016
*Cerita ini
adalah cerita balasan untuk cerita pendek Yoru Akira yang berjudul Melukis Senja, terbit di Radar Bojonegoro
Minggu 19 Juni 2016.
*Adib Riyanto,
Penikmat Senja, Anggota Komunitas Kali Kening.
Tidak ada komentar