Luka Hati Yang Terbayarkan
Oleh : Puput Priyo S
Berhari hari aku menunggu kawanan burung 'kuntul' yang sering berarak, membentuk sayatan Indah diatas awan. Seperti itu, setiap sore aku dapati mereka terbang dari langit Timur menuju barat.
Dari arah lain sekawanan kambing yang dipimpin oleh seorang tua bertopi sawah yang sangat menawan. Kupandangi lekat lekat lelaki tua itu dari kejahuan, tangan kananya menyongsong pecut yang dipakainya untuk memimpin barisan keluarga kambing, satu ekor paling besar dengan tanduknya yang lancip, menjadi Raja bagi yang lain.
Punggung ku diterpa angin arah barat yg kurang beraturan, semaunya, sekehendak inginya. Kini pandangan ku beralih kepada kawanan burung tadi, entah kenapa hatiku renyuk redam, sakit bukan main. Tiba - tiba matahari mulai meninggalkan awan dan langit senja ini begitu Indah untuk ditinggalkan, malam mulai kembali dengan gelapnya.
Aku pulang, sampai rumah aku tak langsung mandi karna
Senja telah membawaku kepada kepayahan yang bahkan cara mandi saat itupun aku lupa.
***||***
" kling kling kling" bunyi pesan whatsapp bergetar dari dalam saku baju yang sudang usang ini.
Bro maen ! Siap?
Aku read saja pesan singkat dari temanku Coni, seorang sahabat kelahiran Jawa tapi mirip peranakan orang Cina, bak penjual beras yang tau harga naik turun beras.
Aku tak bergeming untuk meneruskan atau membalas pesan temanku, aku rabahkan badanku diatas kasur lantai bergambar logo club asal Inggris Raya, Liverpool The Reds. Club besar yang dimiliki Inggris dengan segala sejarahnya yang luar biasa. Sekarang pandanganku beralih kepada benda bundar yang mengantung di dinding putih, jam besar yang berteman 3 jarum jam -merah putih merah - kesemuanya berjalan beriringan dan saling mendahului, sampai waktu kapanpun tak akan bisa ditebak siapa yang menjadi pemenangnya. Jam 19:20 WIB. Aku segera bangkit karna ada beberapa meeting dengan kawanku Hikaf, seorang master bahasa yang ahli ibadah, sempurna.
Selepas sholat isya 'alakadarnya' aku pancat sepeda angin warisan Masku. Satu, dua, tiga ayunan akhirnya aku sampai di depan gerbang pondok. Pondok yang sangat membanggakan ku dengan segala rentetan sejarah dan kiainya.
Hikaf sudah menunggu sejak dari tadi
"Maaf maaf telat Kaf" suara pembelaan dari seorang pemalas
"Udah mari segera kita selesaikan agenda kita malam ini" sambil berjalan dia ngajak aku.
Kamipun bergegas mencari ruangan kosong. Sial, tak ada satupun ruang yang kosong. Semua dipakai untuk belajar malam oleh para santri. Emperan kelaspun jadi tempat kita meeting. Seberkas tumpukan kertas dan tulisan oret oretan harus segera kita resume.
Hikaf menjadi pengendali pena, sedangkan aku mengendalikan mulutku yang komat kamit untuk segera menuntaskan tugas yang begitu mulia ini, aamiin.
"Jadi seperti ini... " bla bla.. Hikaf pun tidak mau kalah ngomel denganku.
"Tapi kan nanti. .." bla bla. . Aku menimpali omongan Hikaf yang tak ada hentinya itu, sedangkan tanganya merajai oena hitam merk pengendali pesawat, pilot.
Tiba tiba pandangan ku menuju arah jam 3, sekilas aku teringat Kiaiku yg sudah tiada, wafat sekitar setengah tahun yang lalu. Kami semua merindukan beliau, tak terkecuali para pembaca sekalian, iya toh?.
Arah pandangku berbalik ke Hikaf. Lebih sejam kami selesai meresume berkas berkas ini. Selepas ini aku pamit ke Hikaf untuk bertemu dan menyelesaikan janjiku dengan Coni, penjual beras amatiran.
***||***
Pakain -celana, kaos, sepatu- sudah siap. Tinggal menunggu Piraz saja. Aku tunggu lama tidak menunjukan tanda tanda kedatanganya. Dari arah Timur, barat tidak kelihatan gerakan apapun. Dan tiba tiba dari belakang dia sudah hampir menabraku yg sedari tadi berdiri di depan asrama santri, sial.
"Ayo Boi. .dari mana saja kamu ini? " tanyaku kesal sembari mengangkat kedua alisku.
Dengan muka nya yang cengar cengir dia menjawab "sorry sorry mas bro, aku tadi ada urusan kecil "
"Halah paling paling soal cintanya yang kandas." grutuku dalam hati.
Kemudi pun aku kendalikan dengan secercah semangat untuk mengapai kemenangan demi kemenangan. Sejatinya kemenangan bisa kita rasakan dengan segelas kopi yg disedu dengan bangga dan diakhiri dengan henbusan keras, membuang segala kekesalan hati. Lantas buat apa kita kalah? .
Pukul 21;57 WIB aku sampai di lapangan Futsal. Lumayan Bagus dari pada sebelum belumnya. Lapangan berukuran standart nasional ini sudah banyak mengalami perubahan. Kalu dulu setiap tendangan keras pemain amatiran ala tarkam, maka bola akan langsung keluar, butuh waktu lama untuk mencari bola yang keluar ditendang tanpa perasaan itu.
Kadang sampai tidak ketemu, maklum sekitar tempat futsal adalah semisal hutan yang tak berhutan, bingung juga. Tapi kadang kasihan kepada pemilik atau penjaga lapangan futsal ini, ngambil bola, nyari bola, mompa bola, makan bola, iya kale bola dimakan, wadaw.
Tim musuh sudah datang, mereka membawa luka lama. Seminggu yang lalu mereka kalah telak oleh kami, skor 23 - 17 . Hebat bukan, hebatlah saat itu aku tidak ikut, dan tim kami menang.
Waktu itu dua punggawa kami harus absen, Zack dan Abjad pamit tidak bisa ikut. Padahal secara statistik mereka andalan kami dilapangan dan secara mental mereka tidak lebih tempe dari pada kami, mereka hebat. Tapi kami tak boleh tertatih menghadapi musuh yang sedang membawa emosi besar ini.
"Priiiiit!!! " ayo mulai. . .
Kaos gembel menyertai badanku. Kaos yang biasanya dipakai bapak bapak ini aku kenakan. Iya memang kaos biru, lengan panjang ini kaos warisan Alm. Bapak ku.
Well, pertandingan pun dimulai. Kami mengawali langkah dengan Bagus. Umpan demi umpan kita bangun. Coni yang berperan sebagai esekutor pencetak gol sukses melesatkan tendanganya yang selang sebelumnya menerima umpan dariku, iya dariku.
Dan "goool" .
Akhirnya gol demi gol tercipta sampai skor yang mengantung dipapan yang banyak dipenuhi oleh lampu, sehingga nampaklah skor 17-20.
Menit menit akhir nampaklah kemenagan kami, serasa bebas dan lepas. Karna kami tak mengharapkan kemenangan ltu. Tapi, kelelahan menghantui kami. Tim lawanpun membalas, skor menjadi 23 - 22. Kami sudah tertinggal 1 skor.
Mati matian kami berlari sekuat hati, tenaga dan jiwa, hmm. Naas, tak satupun gol kami ciptakan, tapi yang ada mereka yang menciptakan gol. Kami tertinggal 2 angka. Dan "priiit" . Peluit panjang pun dibunyikan. Kami kalah, iya kami kalah. Aku lelah, teman teman juga lelah. Aku melihat wajah teman teman yang begitu kesal dan nampak begitu penyesalan.
Mereka, musuh kami, sedang tertawa dengan penuh kemenangan terhadap kekalahan kami. Mereka berhasil membelas sakit hati yang dahulu. Sebelum pulang, kami menerima tantangan lagi dari mereka. Kami belum begitu merespon.
"Tunggu saja pembalasan kami" guman ku dalam hati.
Perlahan namun pasti, hujan membasahi perjalan pulang kami, lengkap.
Tidak ada komentar