Header Ads

Header ADS

BUNDA (The Greatest Power Of Mother)



Oleh : Robi’ah Althafunnisa

Darahku mendadak berdesir deras tak berarah, detak jantungku kian mengencang. Ya, seperti sebuah firasat yang tak kusuka. “Ya Robb apapun yang terjadi pada bunda, aku akan terima”. Hanya kata-kata itulah pertama kali yang mengusik seluruh jiwa raga ini ketika kulihat handphoneku berdering. Pertama mendengar nada dering itu aku yakin itu telepon dari ayah. Memang sengaja ku pilihkan nada dering spesial untuk beliau dan untuk bundaku tercinta, agar keriangan senantiasa meliputiku ketika nada dering itu terdengar memanggilku, maklum orang perantauan, yang terbiasa jauh dari keluarga. Pastinya bak mendapatkan air segar ketika mendengar kata-kata mutiara dari beliau berdua. Kata-kata itu terucap indah menari-nari mengokohkan dan menumpuk kembali kepingan-kepingan semangat yang sempat tercecerkan dan berserakan akibat kerinduan seorang anak kepada orang tuanya.
Namun kali ini berbeda dengan biasanya setelah tadi pagi ayah menelponku menanyakan bagaimana kabarku, “sehatkah ?” “tidak apa-apa”
Yang tidak biasanya beliau serius jika telephon denganku, riang, canda tawa yang biasanya terlontar begitu indah dan sangat murah dari mulut ayah dan bunda. Tadi sangat berbeda, tak terdengar suara bunda satu kata pun, dan dengan gaya bahasa ayah yang to the point saja. Sekuat tenaga beliau mencoba menutupi, namun suaranya sungguh tak bisa tertutupi, semua terdengar jelas ditelinga ini, bahwa beliau ingin sekali bertemu dengan sang buah hatinya pun walau hanya satu minggu yang lalu baru bertemu. Dan pastinya ada sesuatu yang telah disembunyikan.
Detak jantung pun kian bertambah, jari-jari ini seakan-akan disfungsi dengan refleks hilang daya, pandanganku fokus tertuju pada handphone yang terus berdering itu.
“Ya Robbii.. ada apakah gerangan bundaku?? tadi pagi suara ayah”
Badanku pun kian melemah, belum sempat tanganku meraih handphone itu namun brakkkkkk..!!
Aku terjatuh, pingsan dan ketika aku membuka mata, eh sudah di kamar tidur dan terlihat satu sosok manusia dengan senyum khasnya, membuatku ikut tersenyum pula.
“Kakak?!” sapaku.
“Ngapain kamu dik kok tiduran di tempat setrikaan ?, mang nggak ada tempat lain apa buat tidur ?” Sentil kakakku yg mencoba mengajakku bercanda.
“Hemmm... kakak..! kakak sih ga tahu !”
“A.. a.. a.. a..ku tadi pagi dapat telpon dari ayah tapi aneh gitu, terus ayah nelpon lagi, lha pas mau ngangkat.......” kakak memotong pembicaraanku.
“Iya dik, kakak juga sudah dapat kabar” sela kakakku.
“Maksudnya kak ?! Kabar apa ?!!!” Aku tersentak dan penasaran ketika melihat wajah kakak yang tadinya cerah ceria menggodaku kini berubah 180 derajat. Walau dia mencoba untuk tegar namun tetap tak bisa membohongi tatapan matanya.
“Bunda..... kau tenang ya dik” Jawab kakak pelan
“Bunda kenapa kak ??” Sembari bertanya tak sadar air matapun menetes, ku kuatkan tuk tidak menagis. Sekilas teringat kata-kata bunda yang lembut sembari mengelus-elus kepala kami.
“Husna Hasan yang sholih sholihah, bunda mohon ya ketika bunda kelak dipanggil Sang Kholiq bunda mohon jangan sampai ada air mata yang menetes mengiringi kepergian bunda ya, Husna Hasan cinta ma bunda dan ayah kan ?!”
“Seseorang itu akan bersama dengan orang yang dicintainya nak” Jadi jangan menangis dan bersedih ya. Allah mencintai kita semua wahai anak bunda, jadi insya Allah kita pasti dipertemukan kembali dikehidupan yang kekal “
Kutarik tangan kakakku kupaksa dia untuk berkata lebih.
“Bunda telah dipanggil dik, kita tidak bisa pulang hari ini, kakak mencoba mencari jadwal pesawat tercepat untuk hari ini namun tidak ada, kondisi cuacanya lagi buruk, jadi mau tidak mau kita harus menunggu hingga esok”
“Allahu Robbi, innalillahi wa inna ilaihi roji'un” Secepat itukah dia mengambil bunda kita kak?” Jawabku dengan isak tangis tersedu-sedu.
Walau aku teringat kata-kata bunda, namun tak dapat kutahan kesedihan ini.
“Allah memiliki rencana yang lebih indah dik, bersabarlah dan tawakkal. Setiap manusia pasti akan mengalami ini, hanya tinggal menunggu giliran dari Nya” Tukas kakak dengan kata-katanya yang begitu bijak yang mampu menguatkanku kembali.
“Iya kak semua tlah tertulis dan akan berjalan ketika telah datang waktunya. Usia tak pernah ada yang tahu hingga kapan masanya.”
“Aku tidak akan menangis kak, aku kuat aku kuat” Kataku sembari mengusap air mata yang terus menetes.
Sekejap teringat pembahasan dari musyrifah (ustadzah) terkait ajal dan bersegera dalam melaksanakan kebaikan.
“Ya benar benar sekali, ajal tidak pernah menunggu kita, namun kita yang menunggu ajal, kapan? dalam keadaan bagaimana? kita tidak pernah tahu, sebuah ibrah yang indah untuk kami Yaa Robb, bahwa masihkah ada alasan untuk kita menunda-nunda sebuah kewajiban jika ajal terus mengintai kita, bagaimana jika kita diambil namun kita dalam keadaan hina dina, tak ada yang bisa kita haturkan kepada Mu Ya Robb, Tuhan pemilik segalanya, yang Maha segalanya, apa yang bisa kita haturkan sedangkan keinginan kita begitu besar, surga!! Omong kosong jika kita memberi sedikit akan tetapi meminta lebih. Astaghfirullah, maafkan saya Ya Robb” Air mata semakin deras menetes.
Kakakpun memelukku dan menepuk pundakku “Iya dik, sudah lihat disana perasaan ayah dik, kasihan ayah sendirian dik”
“Iya kak, semoga ayah diberikan kekuatan, aku cinta kakak!!! aku cinta ayah!!! aku cinta bundaa!!!”
“Iya dik” Kakak semakin erat memelukku.
Subhanallah, itulah akhir kalinya kami kehilangan seseorang yang luar biasa. 2009, tahun terakhir kalinya kami bisa merasakan indahnya dalam buaian kedua orang tua yang begitu mencintai kami. 2009 tahun terakhir kami, aku, kakak, ayah meniupkan lilin dan bermain kue dengan beliau ketika diberikan waktu oleh Nya tuk mengenang semakin berkurangnya usia kami. Teringat setiap kami pulang dari perantauan JAKARTA yang terkenal kota metropolitan kota bebas tanpa batas, bunda selalu memberikan yang terbaik, cara berfikirnya dan cara mendidik kami membuat kami menjadi orang terbahagia di dunia, membuat kami faham akan makna “hidup dan kehidupan”, membuat kami faham akan indahnya arti berbagi, membuat kami faham akan makna cinta dan mencintai, sehingga membuat kami mampu tuk beranjak seperti saat ini.
JAKARTA bebas lepas tanpa batas kurasa tidak untuk kami, justru disana kami ingin mengembangkan sayap-sayap kami tuk membuktikan bahwa dunia akan terasa indah ketika terselimuti dan terpayungi oleh islam, hidup terasa lebih hidup ketika islam selalu digenggam
dan hari tiada terpatri dan terkunci ketika setiap sendi sisi dari kehidupan kita itu berdasarkan islam. Ya, semua kami belajar dari beliau. Beliau ibarat al-Qur'an yang berjalan. Semua yang dikatakan Al Qur'an. Semua yg diucapkan Al Qur'an indah, subhanalalh indah sekali kata-katanya. Tak pernah sekalipun beliau membentak kami, semua itu bukan karena kami tidak nakal, tidak manja. Kami juga suka usil dengan bunda saat beliau memasak, membuat kue. Semuanya kami selalu mengganggunya, subhanallah, namun beliau seperti itu karena beliau mampu membedakan antara “kewajiban” dan “hak” beliau sebagai seorang “ibu dan pengatur rumah tangga”. Tak tertinggal seorang ayah yang sama faham “hak dan kewajiban” beliau sebagai ayah, ituah membuat bunda semakin optimal menjalankan tugas beliau. Subhanallah hanya karena itulah kami sendiri yang tak memiliki celah untuk tak meng-iyakan apa yang beliau inginkan. Sekaligus kami belajar bagaimanakah menjadi seorang ibu dan ayah (menjadi orang tua) yang bijak. Pola fikir dan pola sikap yang sejalan membuat kami belajar dari itu semua. Kami merasa tak ada hari spesial yang men-spesialkan hari yang spesial untuk bunda, karena bagi kami setiap hari-hari yang kami berada disampingnya selalu spesial. Subhanallah sungguh tak heran jika beliau pernah membisikkan ditelingaku ketika kami berdua sedang diteras. Saya tiduran dipangkuan dan dipundak beliau, beliaupun mencoba meraih kerudungku yang menjulur panjang terkena angin malam yg indah sembari memandangi bintang-bintang yang tak terkalahkan pula indahnya yang tercipta dari yang Maha Indah, tercipta dari dzat yang Maha Sempurna Dialah Allah, yang sungguh tak kan layak manusia tuk mengingkari petunjukNya.
Dengan lirih beliau berbisik “wanita itu tiang negara nak“
Beliau mengelus-elus kepalaku serta kembali memberiku surprice lagi dengan memberikan jilbab yang baru beliau jahit tadi pagi. “Subhanallah bundaaaaa....” senyumku penuh kasih sayang dan kupeluk bunda.
“Oh iya bunda wanita tiang negara?” tukasku
“Iya sayang... mbak Husna yang sholihah. Jika kelak mbak Husna menempati posisi seperti bunda, mbak Husna harus faham dan mengerti ya, hak dan kewajiban seorang ibu. Ibu bisa menjadi sumber malapetaka ataupun keindahan sayang, bisa kita lihat kan sayang banyak sekali ketidak beruntungan anak-anak diluar sana, ada yang free sex, narkoba, memiliki orang tua tapi layaknya yatim-piatu, budaya tawuran dan lain-lain. Semua itu karena ibu nak, karena ibu yang seharusnya menjadi tempat buah hatinya belajar segalanya, mencari keteduhan, mencari pengamanan, mencari kasih sayang, namun faktanya tidak didapatkan akibat sibuk dengan karirnya. Memang bukan hanya ibu saja sih nak, terkendala pula sebuah lingkungan yang serba bebas jauh dari islam membuat mereka asal tubruk saja, terkendala pula ekonomi entah karena gaji seorang suami yang minim atau mungkin tidak kerja, sehingga tidak mencukupi, nah ini seharusnya Negara nak yang menjamin kesejahteraan rakyatnya, mengapa masih saja ada laki-laki yang menganggur. Alhasil jika demikian wajar saja jika Ibu menjadi kepala rumah tangga dan ayah sebagai ayah rumah tangga. Akhirnya amburadul semua nak keutuhan fungsi dari keluarga tersebut. Namun kembali lagi ketika memang ibu tetap ada pada kewajibannya tuk mendidik anak-anaknya, maka bunda yakin tidak akan mungkin mereka sedemikian itu. Pintar namun kepintarannya membodohi rakyat ya itu para koruptor. Pintar namun tak di ajarkan pada yang lainnya. (karena ibu dan anak (Husna dan bundanya) up to date tentang permasalahn remaja yg “nakal” karena problem keluarga saat ini, alhasil nyambung)”
“Sayang.... ibu adalah tempat belajar yg pertama dan utama. Ibu adalah sosok yang terdekat dengan buah hatinya, darinyalah akan hadir tidaknya generasi terbaik. Jadi sayang... kau adalah calon ibu, jadi persiapkanlah tuk menjadi ibu yang terbaik sayang. Ibu yang menghasilkan bibit-bibit unggul yang mengunggulkan ad-diin. Agama islam ini. Subhanallah sungguh kekuatan seoarang ibu itu luar biasa nak. Tak ada yang bisa menandinginya.”
“Love you sayang...”
“Love you too mom...”
Kata-kata bunda itu seakan-akan memberikan kekuatan besar yang membara. Oh bunda, tak ada kata-kata yang mewakiliku tuk berterima kasih padamu, tidak hanya khusus di tanggal 22 Desember ini, namun kata-kata ucapan terima kasihku disepanjang waktu. Karena tak pernah lelahnya engkau menyayangi kami dari kecil hingga dewasa ini. Semoga harapan, ucapan terima kasih, do'a ini cukup bunda. Hanya 1 ini yang bisa kami upayakan dan persembahkan,

menjadi anak yang sholih-sholihah bunda. Karena dengan itu do'a-do'a kami untuk bunda akan sampai walau engkau telah disana. Ya kami tidak akan berpaling bunda menuju pribadi yang taqwa, menjalankan semua perintah Nya dan menjauhi larangan Nya. Karena dengan itulah Allah akan melirik kami, hingga kami mampu mengajak bunda ke surge. Semoga kita kan dipertemukan kembali ditempat terindah bunda, tempat itu adalah surga.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.