Header Ads

Header ADS

KEHADIRAN YANG TAK DISANGKA





Oleh : Dino J

Udara terasa lebih sejuk pagi ini. Embun yang menutupi senyum mentari merapatkan pekatnya. Kicauan burung cendetpun terdengar lebih merdu dari biasanya. Namun semua itu tak menyurutkan keinginan Riyanto untuk pergi ke kantor pos dengan mengayuh sepeda jengki biru warisan kakeknya. Tidak jauh memang, hanya 3 kilometer saja. Tapi dengan sepeda ontel yang telah usang tentu beda tenaga yang harus dikeluarkan untuk menempuhnya.

Dengan semangat empat lima, Riyanto mengeluarkan si jengki dan sedikit memberi tambahan angin pada kedua rodanya, dan perlahan mulailah ia mengayuh sepedanya itu. Jalanan kampung memang tidak bersahabat, namun jalanan ini sudah menjadi sahabat dekat yang selalu menemani dan menjadi tempat curhat kala masalah melanda. Tak terasa sumur waru telah dilewatinya, itu berarti tidak lama lagi kantor pos sudah bisa dia masuki. Sesampainya di kantor pos riyanto dapat urutan pertama, itu berarti ia bisa langsung mengambil kiriman uang dari sudara kembarnya Riyanti yang bekerja di kota.

Selepas lulus SMP Riyanti memutuskan untuk mengadu nasib di kota, sementar Riyanto menjaga rumah sambil sesekali membantu bapak bekerja di sawah. Dengan modal ijasah SMP, tentu tidak banyak yang bisa dilakukan Riyanti selain menjadi asisten rumah tangga. Dan untung nya dia mendapat majikan yang kaya raya dan baik hati. Sudah hampir lima tahun terakhir ini Riyanti rutin mengirim uang ke kampung tiap dua bulan sekali, dan hasilnya pun sudah bisa memberi pembeda secara ekonomi dibanding tetangga sekitar.

Perasaan yang sumringah dan terkadang senyum dari bibirnya tak mampu disembunyikan sepanjang perjalanan pulang. Ia kayuh sepedanya dengan sangat kecang karena ingin segera memberikan uang dan membacakan sepucuk surat dari Riyanti kepada kedua orang tuanya. Karena terlalu semangat, ditikungan sebelum sumur waru Rianto terjatuh karena akan menabrak ayam dan terlemparlah tubuh wanginya itu ke selokan air kencing sapi dari kandang milik warga sekitar. Mau marah tapi tak tahu kepada siapa dia harus marah, namun secepat kilat segera ia lepas baju dan sarungnya untuk diperas dan dikenakan kembali, mumpung belum ada orang dikayuhnya kembali sepeda jengki agar segera sampai rumah.

Setelah mandi dan mencuci pakaiannya, ia segera memanggil ibu dan bapaknya untuk  membacakan surat dari Riyanti.

Assalamu`alaikum
Mak, pak, kak Riyanto semoga kalian tetap dalam lindungan Tuhan yang maha kuasa. Kali ini riyanti sangat bahagia, karena sebentar lagi emak akan mempunyai seorang menantu, itupun jika emak, bapak, dan kak Riyanto menyetujuinya. Riyanti sudah dikenalkan dengan kedua orang tuanya diantar oleh pak Patmo majikan Yanti, karena dia ini anak dari rekan bisnisnyai. Balasan dari rumah nanti akan menentukan bagaimana kelanjutan hubungan ini. Karena jika emak, bapak, dan kak Riyanto menyetujuinya, mereka akan mangsuk bertolak ke kampung untuk berbicara lebih lanjut. Oh iya sampai lupa mak, laki-laki yang melamar Riyanti ini namanya Ikal, dan fotonya sudah ada di dalam amplop.
Ya sudah ya mak, pak, kak, mohon segera dibalas.
Peluk rindu dari Riyanti.
Wassalamu`alaikum.

Setelah membacakan surat, Riyanto memberikan foto laki-laki yang dimaksud, tapi justru semua tertawa geli menghirup bau dari foto itu.

“sudah To, ndang ditulis. Bilang sama adikmu kita sekeluarga setuju”. Wajah ibunya begitu sumringah, meski tak bisa melihat dengan jelas kegantengan wajah Ikal karena sedikit rusak terkena air kencing sapi. Riyanto tidak segera menulis tapi membawa ibu dan bapaknya ke rumah pak kades untuk telpon secara langsung. Namun ternyata menelpon tidak semudah yang dibayangkan. Karena beberapa kali dicoba baru bisa menyambung.

“Halo, apa benar ini rumah pak Patmo?” dengan perasaan senang dan gemetar ibu membuka pembicaraan.

“Iya benar, ini dengan ibu Patmo, apa ada yang penting?, jika tidak penting, silahkan tinggalkan pesan saja”. Lirih terdengan suara perempuan seperti menahan tangis.

“Iya ndoro, begini, ini ibunya Riyanti yang bekerja di rumah ndoro, apa saya boleh bicara sebentar dengan Yanti?” jawabnya gugup.

Dari dalam telepon samar-samar terdengar suara teriakan bu Patmo memanggil suaminya. Dan tak lama dengan nada tegas namun lembut pak patmo berbicara.

“Begini ibu, tadi pagi Riyanti diajak anak saya Aulia ke villa dipuncak untu mempersiapkan pesta ulang tahunnya, namun dalam perjalanan ban mengalami slip ditikungan yang menyebabkan mobil terpental ke jurang. Dan dengan berat hati kami sampaikan bahwa Riyanti meninggal dalam kecelakaan itu”.

Seketika gagang telepon lepas dari pegangan, badannya lunglai, seperti petir menyambar di terik siang, seperti matahari gerhana pada puncaknya. Riyanto membopong ibunya pulang. Suasana bahagia itu berubah menjadi kacau balau, berantakan.

Tepukan halus dipudak Riyanto menyadarkan lamunannya. Ingatan akan kematian Riyanti selalu muncul disela lamunnya. Memang ia sudah mengikhlaskan kepergian adiknya, namun ada sakit hati dan dendam yang masih tertinggal begitu banyak dalam amarahnya. Bagaimana tidak, perempuan yang lahir sekian menit sebelum kelahirannya harus mengakhiri hidup menjelang saat bahagianya.

“Permisi mas, apa ibu ada?” suara lirih sedikit gemetar itu memecah keheningannya.

Dengan pandangan nanar ia tengokkan lehernya menatap wajah yang selama ini ingin ia temui. Perempuan yang selama ini laknat itu hadir sekian senti dihadapannya.

“perempuan laknat, perempuan bangsat, kau renggut nyawa adikku disaat bahagianya menjelang. Perempuan macam apa kau ini, hah?! Kenapa tidak kau saja yang mati bersama mobil terkutukmu itu orang kota?! Atau kau tak sendiri saja yang terjun bebas ke lembah berdarah itu, tapi kenapa malah kau jadikan adikku tumbal dari dari takdir kematianmu yang sudah mengintip?!.
Cercaan pertanyaan penuh kemarahan itu ia dengarkan dengan seksama. Uraian air mata sengaja tak ia hapus agar semua rasa bersalah itu ikut keluar bersama hujan yang semakin membanjiri pipi yang terawat indah.

“Apa jangan-jangan sebenarnya kau mencintai Haikal? Anak rekan kerja ayahmu yang lebih memilih adikku, dan kau iri? Dan kau sengaja menyingkirkannya dengan cara picikmu?”

“Cukup nak! Adikmu sudah tenang di alam sana. Bukankah sudah kau bilang sudah mengikhlaskannya?”. Dengan pelukan erat kepada Aulia berusaha menengahi dan membelanya yang seakan sudah tak berdaya dengan berondongan pertanyaan kemarahan Riyanto.

“Ibu yang mengizinkan Aulia kesini. Memang awalnya ibu menolak ketika Aulia ingin kesini untuk meminta maaf kepadamu, karena dalam tidurnya kamu selalu hadir, terus menerus mendoktrinnya sebagai penjahat, sebagai pembunuh adikmu. Setelah ibu fikir, tidak ada salahnya untuk mendamaikan kalian berdua.”

“Selamanya aku tidak akan pernah memaafkan pembunuh picik ini. Hah!”. Dengan teriakan kemarahan yang ditahan, ia tinggalkan Aulia dan ibunya yang masih berpelukan di emperan rumah dengan isak tangis.

Hidup Riyanto semakin hari semakin tak tenang saja, dengan hadirnya musuh yang selam ini ia cari, bukan semakin bisa melampiaskan kemarahan, tapi justru semakin dia harus menahan setiap amarah yang tiba-tiba keluar. Karena musuh yang selama ini dia cari, sekarang menjadi ratu dalam istananya. Serorang ratu yang kecantikannya tak berarti apa-apa baginya. Seorang ratu yang harus ia hormati dan turuti setiap keinginannya selama ia mampu. Begitulah tradisi dalam rumahnya secara turun temurun.

Hal yang sama dirasakan Aulia. Bayangan indah yang selama ini ia dambakan tak berjalan dengan baik. Ia bisa mendapatkan maaf dari kakak Riyanti dan kembali ke kota menjalani kehidupannya dengan normal kembali. Namun justru tekanan yang begitu kuat, lebih kuat dari hantu yang selalu hadir dalam mimpinya.

“Aulia, tolong kirimkan makanan ini ke sawah yang kemarin kita kunjungi, bapak dan Riyan sedang memanen cabai. Tidak ada salahnya juga kamu membantu mereka memetik, setidaknya bisa menjadi cerita saat kau kembali ke kota nanti”.
“Baik bu”.

Dengan semangat penuh harap, ia bawa rantang-rantang itu ke sawah. Namun perjalanan yang kemrin dirasa cepat, kali ini terasa lebih lama, bahkan lama sekali. Sampai-sampai bayang langkahnya tak terlihat lagi. Karena kepanasan ia berhenti disebuah gubuk sambil mengingat-ingat arah langkahnya.

Disisi lain, Riyanto, ibu dan bapak sedang bingung memikirkan kemana Aulia nyasar.

“Pak, cobalah ke sawah, cari anak itu, ibu takut kalau kesasar atau kenapa-kenapa”. Ibunya meminta.

“Gak usah. Bencana tetaplah bencana. Kemana-mana juga akan membawa benca”. Dalam kerisauan ibunya, Riyanto masih saja menyimpan dendam kesumat yang semakin membesar saja.

Belum ada jawaban, Ibu Riyanto beranjak dari rumahnya mengambil caping dan bergegas menuju sawah. “ biar Riyan saja yang pergi mencari. Ibu dan bapak di rumah saja. Doakan semoga Riyan tidak menjadi korban selanjut dari perempuan jahat itu”. Cegah Riyanto.

Rasa lapar, terik siang yang menyengat, dan Dendam yang membara seakan memberi energi khusus kepada Riyanto untuk berjalan. Entah berapa puluh petak sawah yang sudah ia lewati, namun tak kunjung juga ia temukan perempuan laknat itu. Ia hentikan langkahnya dibawah pohon kepoh ditengah sawah itu sekedar untuk minum dari air sumur dibawahnya. Namun disaat hendak jongkok mengambil air, ia mendengar sebuah perdebatan yang begitu menggebu yang salah satu suaranya kental dengan suara perempuan. Ia lanjutkan untuk menggayung air yang tidak begitu dalam, namun suara itu semakin keras dan lekat ditelinganya. Hatinya tergugah, ia urungkan niatnya untuk mengambil air, dan berdiri mencari sumber suara. Terlihat perempuan disamping sebuah gubuk pinggir jalan sedang berdiri, tidak sendiri, ada sosok laki-laki terlihat sedang membicarakan sesuatu. “ternyata dia sudah mendapat korban lain”. Lenguhnya sambil meninggalkan tempat sejuk itu. Riayntopun masih sempat memikirkan bagaimana nanti Aulia pulang, “ kalau memang itu Aulia dan ada orang yang ingin membunuhnya, atau dalam perjalanan pulang ada ular yang menggigitnya, biarlah. Anggap saja itu sebagai imbalan dari kejahatan yang pernah ia perbuat”. Dendam hatinya berbicara. 

“Kamu bilang sakit hati sama Aulia karena menjadi penyebab kematian adikmu, tapi kau tinggalkan seorang perempuan lemah dipematang sawah dengan seorang laki-laki yang tidak kamu tahu apapaun tentangnya. Ya kalau itu orang baik. Bagaiaman kalau dia itu ternyata penjahat dan akan memperkosa Aulia, atau mungkin membunuhnya?. Dimana hati kamu sebagai seorang manusia, nak?”.

Ibunya lemas, terduduk dilantai rumah sambil menyeka air matanya yang begitu deras mengguyur hati-hati yang sedang mati dan kering. Tak pernah ibu semarah ini. Hati Riyan tergerak untuk kembali ke sawah, dan pulang membawa Aulia untuk ibunya.

“Tak perlu Nak, biar ibu saja. Kamu tunggu dirumah. Bila ternyata ibu tidak kembali karena dibunuh oleh laki-laki itu, cukup kuburkan ibu dengan layak dan tak perlu kau benci dirimu sendiri. karena itu akan lebih menyakitkan”.

Langkah wanita kampung empatpuluh tahunan itu tegap meninggalkan rumah. Namun sebelum memasuki pematang sawah, dengan lari secepat kilat, ia hentikan langkah ibu sembari berlutut di kakinya. “Biar Riyan saja bu yang membawa pulang Aulia untuk ibu. Kali ini mohon percaya niat tulus anakmu ini, ibu”. Ibunya ikut terduduk. Dera air matanya masih saja mengucur. Dengan satu anggukan dari ibunya, ia kecup tangan suci itu, lantas berlari kencang menuju gubuk kecil dipinggi sawah.

Dari kejauhan ia lihat Aulia sudah sendiri berdiri di bawah gubuk. Semakin Riyan kencangkan larinya, meski sesekali terpelanting jatuh ke sawah. Sakit sudah pasti, karena ini musim kemarau. Namun tak menciutkan niatnya untuk menemui nadia.

“Kamua tak apa-apa Aulia?” dengan suara gemetar dan ngos-ngosan penuh kekhawatiran, tak sadar kedua tangannya telah melingkar di leher Aulia. Tak ada jawaban dari Aulia, karena mulutnya tertutup dada Riyan yang sedang memeluknya. Entah apa yang dihembuskan angin, yang pasti melalui terpaannya doa ibu di rumah sedang didengar oleh Tuhan. Pelukan dilepas dan mereka berjalan pulang dengan rantang yang masih penuh.

Diperjalanan, Aulia menjelaskan bahwa laki-laki tadi adalah mantan pacarnya di kota  yang meninggalkannya untuk perempuan lain dan bermaksud untuk kembali. Riyanpun meminta maaf akan sikapnya selama ini. Ia tidak bisa menjelaskan dari mana benci datang dan semakin menggunung tiap harinya, bahkan sampai berimbas pada mimpi Aulia. Kemarahan itu sudah berubah jadi gurauan. Tak ada lagi dendam. Keceriaanpun terlihat kembali dirumah Riyanto. Bahkan hari itu mereka sekeluarga masih bergura sampai tengah malam.

Sarapan sudah siap dengan lauk dan minumnya. Meski baru belajar beberapa hari dari ibu, Aulia memberanikan diri untuk memasak. Setidaknya bisa menjadi salam perpisahan yang manis. Sebab tepat hari ini jemputan dari kota akan datang. Bukan karena sudah mendapat maaf dari Riyan dan keluarganya dia langsung pulang, tapi dua hari lagi dia harus mengikuti wisuda pendidikan yang diambilnya.

Satu persatu dari mereka bangun, dan kaget melihat kondisi rumah dalam kondisi bersih dan rapi. Ditambah sarapan sudah tersedia di meja dengan desain cantik. Tak lama mereka segera memulai sarapan masih dengan candaan renyah yang terbagung baru kemarin siang. Tapi ada tangis  yang tertahan dari peserta sarapan ini. Ya, Aulia. Ia tidak bagaimana harus membuka kalimat perpisahan yang pasti akan menghancurkan ketegarannya selama ini. Sepertinya daun sawi dan ketela yang ia masak tadi ikut berdoa atas keresahan hati yang ia rasakan. Suara mobil berhenti tepat didepan rumah dan mematikan mesinnya. Riyantopun segera menghabiskan makanannya dan menemui pemilik mobil didepan rumahnya. Sementara ibu dan Aulia membersihkan piring di dapur. Disitulah Aulia berpamitan dan menceritakan alasannya.


Auliapun segera mengambil semua barang di kamar yang sudah ia kemasi semalam. Tangis haru mengiringi perpisahan mereka. Dan untuk pertama kalinya, tangis Riyanto tertumpah bukan karena dendam, tapi kebahagiaan yang telah begitu lama tertimbun abu amnesia.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.