VIOLINIS KECIL
Oleh : Linda
Tria Sumarno
Gadis berumur 8 tahun dan berkaki
ramping itu berlari-lari kecil mendapati ibunya yang sedang memasak di dapur. Diraihnya
tangan sang ibu yang sedang mengiris sayuran dan ditatapnya dengan lembut.
“Biola itu musik yang indah dan merdu ya, bu?” tanya
gadis kecil itu dengan tangan kanannya memegang sebuah buku cerita bersampul
kuning yang berjudul Komponis Kecil karya
Soesilo Toer yang bercerita tentang H enki,
anak laki-laki kecil yang pandai bermain biola.
“Iya, Nak. Merdu sekali semerdu suara ibu saat meninabobokanmu
dengan nyanyian”, sang ibu membalas pandang putri kecilnya dengan senyum
terurai.
“Anak perempuan juga boleh main biola, bu?”
“Siapapun itu boleh Nak, laki-laki dan perempuan
sama haknya dalam hal ini. Tuhan tidak membedakan”, gadis kecil itu terdiam
beberapa saat, pandangannya menerawang ke langit-langit rumah. Sebelum akhirnya
bergelayut manja.
“ Bu, boleh Salsa minta hadiah biola saat ulang
tahun besok?”
“Boleh Nak, asal nanti serius untuk belajar
biolanya”. Ucap sang ayah yang mendengar
obrolan mereka dari ruang keluarga.
“Makasih ayah”. Salsa berlari memeluk ayahnya yang
sedang membaca koran dan menciumnya bertubi-tubi. Sang ibu memandang mereka dan
tersenyum bahagia melihat kedekatan sang putri dengan ayahnya.
***
Hari
masih pagi saat Salsa dan keluarganya pergi untuk memesan sebuah biola pada
teman lama ayahnya, seorang seniman dari Rengel. Sepanjang jalan, Salsa selalu
bertanya tentang apapun yang ditemuinya di jalan dan sang ibu dengan sabar
selalu menjawab semua pertanyaannya. Persis jam sembilan saat mereka mulai
memasuki rumah sang seniman yang terletak di pinggir jalan dan dekat dengan Gua
Ngerong, sebuah gua yang ada di Rengel dengan banyak kelelawar dan ribuan ikan yang
selalu bersahabat dengan manusia.
Kaki kecil salsa lincah menaiki tangga rumah sang
seniman. Wajahnya berbinar dan dari mulutnya tak henti menyenandungkan lagu
kesukaannya, Anak Gembala.
“Assalamu’alaikum....”, ayah Salsa mengetuk pintu
yang terbuka. Tak berapa lama terdengar sahutan salam dari dalam dan keluarlah
seorang laki-laki dengan umur sekitar 40 tahun dengan rambut gondrong tersisir
rapi dan di kuncir separo dan selebihnya dibiarkan terurai menutupi lehernya
yang jenjang. Senyum ramah tersungging di bibir laki-laki itu, dialah pemilik
rumah yang bernama Arif. Seorang seniman yang hasil karyanya sudah mulai
menjelajah ke luar kota bahkan luar pulau. Selain jago membuat alat musik, Arif
juga sangat jago main gitar dan mempunyai sebuah grup band yang bernama Arigato.
“Silahkan masuk”, Arif berkata sambil membereskan
gitar dan kendang yang berada di ruang tamu. Setelah berbincang dan saling
menanya kabar akhirnya ayah Salsa menyampaikan maksud tujuannya datang pagi
ini.
“Oh ya Mas, mau pesan biola untuk Salsa. Adakah
biola yang cocok untuknya?” ayah Salsa berkata sambil memegang tangan Salsa
yang mungil.
“Kalau untuk anak seumur Salsa, nanti saya buatkan
yang ukuran ¾ mas, Biola Solid, biola yang paling bagus speknya. Nanti saya
buatkan dari kayu jati Belanda”.
“Kayu Belanda Om, wuihh negeri seberang itu Om”,
Salsa memandang Arif kagum.
“Iya, Nak. Negeri yang sangat jauh. Tapi kayu jati
Belanda bukan berasal dari Belanda. Kayu ini bekas peti-peti pengemas barang
import dari Eropa. Kayu ini berasal dari pohon sejenis pinus yang hidup di
Eropa”, Arif mencubit gemas pipi Salsa dan Salsa manggut-manggut tanda
mengerti.
“Pokoknya buat yang terbaik dan nanti kalau sudah
jadi bisa langsung telepon saya”. Ibu Salsa menjawab dengan berbinar. Mereka
pun kembali terlibat perbincangan hangat, sesekali tangan mungil Salsa memetik
gitar yang berada tepat di sampingnya.
Matahari mulai berada di atas kepala saat Salsa dan
keluarganya pamit pulang. Sepanjang perjalanan pulang, Salsa terus saja
berbicara tentang buku Komponis Kecil yang
telah selesai dibacanya. Tentang Henki tokoh dalam buku itu yang dengan giatnya
berlatih biola, biola pemberian seorang meneer Belanda bernama Meneer Kleber.
***
Gerimis
masih membasahi bumi Bangilan saat Salsa berlatih biola di rumah Mbah Slamet, seorang seniman yang
rumahnya terletak di desa Talok Bangilan. Umur yang sudah senja tidak
menyurutkan semangat beliau dalam berkesesinan. Di ruang tamu yang berukuran
sekitar 5 x 6 meter itu berjajar seperangkat gamelan, di tiang kayu yang mulai
melapuk tergantung sebuah biola dan di sisi kanan sebuah Organ berdiri kokoh.
Terlihat Salsa memainkan biola dengan arahan dari sang guru. Sesekali mbah Slamet membetulkan letak jari Salsa
di dawai biola. Semangat yang tinggi membuat Salsa enggan untuk sejenak
beristirahat. Hingga senja semakin mengatupkan sayapnya dan Salsa juga ibunya
bergegas pulang. Dinaikinya sepeda matic merah dengan pelan, melewati jalanan
yang masih licin oleh gerimis.
***
Enam
bulan sudah Salsa berlatih biola, tangannya mulai lincah memainkan tiap lagu
yang diajarkan mbah Slamet. Ayah dan
ibu Salsa yang menungguinya berlatih tersenyum bangga dengan kemajuan yang
terjadi. Dua lagu selesai dimainkan, Salsa tersenyum lebar dan mendekati ibu
dan ayahnya.
“Ibu, ayah satu minggu lagi Salsa terima raport dan
ada pentas seni, bolehkah Salsa tampil di atas panggung bu?”
“Tentu saja boleh Nak, minta restu Mbah Slamet sana”, ayah Salsa menggandeng tangan Salsa dan
menghampiri Mbah Slamet yang melap
biolanya.
“Mbah, boleh
Salsa tampil besok saat pentas seni?”, Mbah
Slamet meraih kedua tangan Salsa dan mendudukkan di pangkuannya.
“Boleh Nak, semangat ya. Ingat pesan mbah, besok ketika kamu sudah besar dan
menjadi pemain handal yang sukses, jangan lupakan tiga hal,Tuhanmu, orang tuamu,
dan gurumu. Tuhanmu, karena Dia yang memberimu nikmat, orang tua dan gurumu,
karena merekalah yang mencerdaskan dan membuatmu menjadi anak yang hebat”.
“Iya Mbah, Salsa
akan ingat itu”.
***
Hari
yang ditunggu tiba juga, ayah dan ibu Salsa terlihat di kursi paling depan.
Raport Salsa telah diterima dan angka 9 menghiasai setiap mata pelajaran. Peringkat satu, gumam ibu dan ayah
Salsa. Satu hal lagi yang membuat bangga ayah dan ibu Salsa. Semangat dalam
bemain biola tidak menghentikan semangat Salsa dalam belajar. Panggung terlihat
semarak, satu per satu persembahan telah disuguhkan oleh anak-anak SDN
Banjarworo II, dan kini tiba giliran Salsa untuk tampil. Terdengar tepuk tangan
riuh menyambut kehadirannya di atas panggung. Sebelum mulai memainkan biola,
terdengar suara lembut Salsa lewat mikrofon.
“Lagu ini saya persembahkan khusus untuk ayah, ibu
juga guru yang selama ini telah membimbing dan mendidikku. Terima kasih dan
banyak cinta untuk kalian”, selesai berucap Salsa mulai memainkan sebuah lagu
berjudul Bunda, alunan musik dari biola itu membuat semua yang hadir menitikkan
air mata. Tampak sekali Salsa begitu menghayati tiap nada yang mengalun. Di
depan, terlihat Ibu Salsa mengusap air mata yang mulai mengalir. Kini, kau pun mulai bermusik, Nak. Yang
dengan bermusik, ibu harap mampu meyeimbangkan kehidupanmu. Bahwa hidup tidak
hanya berfikir dan berlogika, juga butuh untuk bermusik. Karena dengan
bermusik, kau mampu menajamkan pendengaranmu terhadap sumbangnya nada kehidupan,
lewat bermusik kau mampu menajamkan matamu terhadap ricuhnya nada kehidupan,
dan lewat bermusik pula ibu harap mampu mendekatkanmu dengan sang Pencipta nada
kehidupan. Tumbuhlah Nak, dan bermanfaatlah untuk sesamamu, karena itulah
alasan ibu menamakanmu Salsabila, harap ibu Salsa dalam diamnya.
***
Penulis adalah anggota Komunitas Kali Kening.
Bangilan, 6 Pebruari 2017
K3 joss
BalasHapus