Header Ads

Header ADS

REIN



Oleh: Farikha Auliya

Cinta, terkadang sederhana …
Menatapnya dibalik jendela kelas sudah membuatku bahagia
Cinta begitu sederhanya
Memandangnya menundukkan mata membuat rasaku kekal padanya
Cinta, begitu lugu dan bijaksana ….
Melepasnya karena tak ingin membencinya,
Membuatku mengabaikan rasa tuk milikinya …
Ah ….
Sebenarnya aku tak pernah ingin menceritakan kisahku ini padamu. Kisah yang kualami saat kumasih tak bisa merapikan kerudungku dengan baik, hingga beberapa teman-teman sekelas yang lebih dewasa dariku, selalu gemas untuk membenarkannya. Aku juga lupa bagaimana awal kubertemu dengan sosok yang selalu kukagumi itu. Mungkin aku bertemu dengannya saat mengunjungi Sajidah, adik perempuannya yang satu kelas denganku. Mungkin juga aku mengenalnya dari Ummah ketika kami tak sengaja bersepeda di belakangnya sepulang sekolah. Tapi, meski kulupa bagaimana aku dapat bertemu dengannya, aku selalu ingat bahwa aku selalu mengaguminya.
Sebelum aku mengenalkannya padamu, aku ingin mengenalkan diriku sendiri, boleh? Namaku Zaimma, Zaim panggilan akrabku. Berat badanku saat itu 40 kilo, dan tinggi badanku 145 sentimeter. Aku memiliki sepeda biru yang selalu kurawat dengan baik, aku selalu mencucinya dengan sabun khusus motor milik kakakku. Kadang, aku juga memakaikan spray pengkilat motor miliknya. Sayang, saat aku menulis kisahku ini, sepedaku sudah usang dan sudah tak kupakai lagi.
Aku memiliki dua teman baik di madrasah diniyyah-sekolah agama yang berada dalam naungan pesantren-. Namanya Ummah dan Sajidah, Ummah dua tahun lebih tua dariku sedangkan Sajidah satu tahun lebih tua dariku. Kau mungkin bertanya-tanya kenapa aku bisa sekelas dengan anak-anak yang lebih tua dariku. Itu karena sekolahku memang sekolah agama yang tak membatasi usia siswanya. Kebetulan, aku memang siswa termuda di kelasku. Banyak siswi yang malah jauh lebih tua empat atau lima tahun dariku.
Aku, Ummah, dan Sajidah selalu menghabiskan waktu istirahat bersama. Hingga dulu kami membuat geng bernama 3G (Three Girls). He he. Sebenarnya aku geli ketika mengingatnya. Saat itu kami memasuki usia remaja, kembang perawan, begitu kata Gita Gutawa dalam salah satu judul lagunya.
Oh ya, Sajidah adalah gadis yang paling cantik diantara kami. Wajahnya ke arab-araban, kulitya putih bersih, hidungnya mancung sekali. Berbeda dengan aku dan Ummah yang memiliki hidung khas orang jawa. He he. Karena dia yang tercantik maka dia yang pertama kali dekat dengan anak laki-laki. Dia pun mungkin sudah mahir mendevinisikan rasa yang aneh yang tengah kami rasakan di usia labil ini. Sedangkan Ummah, dia sosok yang pendiam, aku lupa apakah dia pernah bercerita tentang rasa sukanya terhadap seseorang atau tidak. Sebenarnya geng kami memang tak pernah membahas masalah cinta, geng kami hanya membahas gurihnya tempe Lek Sun, segarnya es Bu Ijah, atau sesekali kami membahas tentang segarnya sungai kali kening.
Karena pertemanan kami sangat dekat, kami senang bertemu di luar jam sekolah. Kami  selalu mengunjungi satu rumah, rumah Sajidah, itu karena Abahnya yang seorang Kiyai di desa kami tak pernah mengizinkannya keluar rumah, dan mungkin itu yang membuat kulitnya putih bersih berbanding terbalik dengan kulitku dan Ummah. He he. Nah itulah awal kekagumanku mulai tumbuh dan bersemi padanya.
Namanya Rein, Bahrein. Dia selisih tiga tahun dariku. Ciri-cirinya hampir sama dengan Sajida; wajah keraban-araban, hidung mancung, dan berkulit putih bersih. Hanya saja dia memiliki rambut ikal yang lebat, sedangkan Sajida memiliki rambut gelombang. Dia sosok yang unik, di saat remaja seusia kami mulai merasakan perasaan yang lain, dia memilih mengabaikan perasaannya dan menjauh dari anak-anak perempuan yang mengaguminya secara diam-diam maupun terang-terangan. Ketika kami berkunjung, dia yang sedang asyik membaca buku akan langsung masuk ke dalam kamar. Kata Sajidah, kakaknya memang begitu, selalu sembunyi jika teman-teman perempuan adiknya berkunjung.
Itulah yang membuat tunas-tunas kagumku tumbuh subur. Betapa tidak, Rein yang memiliki fisik sempurna itu malah tak pernah menjalin kedekatan dengan wanita. Kata Sajidah, waktu kakaknya hanya digunakan untuk belajar, dan belajar. Disaat remaja-remaja di desa kami sibuk mencari kenalan dengan mengacak nomor hp, dia malah sering mematikan hp nya karena terganggu dengan sms-sms anak-anak perempuan yang menyukainya. Hal itu kuketahui ketika aku menginterogasi Sajidah secara halus. Aku tak ingin dia tahu aku menyukai kakaknya.
Karena aku tak mungkin mengunjungi rumah Sajidah setiap hari, maka aku sering menunggunya berangkat sekolah. Kebetulan dia selalu melewati sekolahku. Ia selalu berpakaian rapi dan selalu mengayuh sepeda dengan cepat. Dan satu kelebihan lain yang dimilikinya adalah matanya yang selalu fokus kedepan ketika bersepeda. Tak pernah ia menengok ke kanan maupun ke kiri. Tatapannya selalu lurus. Hal yang belum pernah aku temukan selama ini.
Tak jarang aku memperkirakan waktu agar bisa berpapasan dengannya. Namun selalu saja ia tak pernah menatapku. Bahkan ia menundukkan pandangannya. Meski aku tak pernah tahu apa itu karena tak suka melihat wajahku  atau apa. Tapi aku selalu menyukainya. Menyukai mata yang tak pernah menatapku itu.
Tahun pun beganti. Meski rasa sukaku tak pernah berganti. Aku ingat saat itu, ketika bapak yang tengah merantau memberiku hadiah sebuah hp yang sangat aku impikan. Diam-diam, dengan meminjam hp Sajida akupun mendapatkan nomornya. Ah! Senang sekali rasanya. Duh. Biarkan aku menulis surat untuknya di kertas ini. Izinkan ya? Karena aku yakin kau tak akan mengkhianatiku dengan meng-forward pesan ini kepadanya:
Waktu itu, Rein. Dengan jantung yang berdebar ku miss call nomormu beberapa kali di malam hari, malam dimana kau terjaga setelah berlatih pencak silat. Tepat lima kali aku me-miss call mu, Rein. Dan begitu terkejutnya aku di pagi hari. Ada pemberitahuan panggilan darimu sebanyak lima kali. Duh … Rein … ketika menulis ini, jantungku berdebar kencang sekencang debaran jantungku dulu. Aku ingat, aku meloncat-loncat bahagia, Rein.
Akhirnya kita pun berteman. Menanyakan kabar, makan siang dengan lauk apa, sedang membaca kitab apa, abah di mana, apa yang kau suka merupakan pertanyaan yang sengaja kubuat-buat hanya demi terus melihat layar hapeku memunculkan balasan-balasanmu. Hubungan kita pun semakin dekat, ya, Rein … Sedekat anak-anak desa kita dengan jernihnya sungai Kali Kening yang melintas di belakang rumahmu. Aku mengagumimu Rein, dengan mengagumimu perlahan kurubah kebiasaanku. Kini wajahku berpoles bedak Rein, aku pun berlama-lama memilih minyak wangi eskulin gell, tak lupa selalu ku setrika bajuku, dan yang paling penting, aku selalu mandi pagi Rein-hal yang sangat sulit kulakukan itu-
Kedekatan kita mulai tak terbendung, dan itu membuatku gelisah Rein. Kulihat teman-teman yang saling dekat lalu kemudian putus tanpa alasan yang jelas. Kata pacaran memang sudah tak asing dalam kamus ku semenjak aku duduk di bangku dasar. Tapi untuk mengamalkannya, sungguh aku tak mampu dan tak siap Rein. Aku selalu takut berpisah denganmu, dan membencimu. Bagaimana mungkin orang yang kukagumi suatu saat bakal kubenci. Begitulah pikiranku saat itu Rein. Pikiran yang mungkin tak pernah kau pikirkan itu membuatku mengenalkanmu dengan temanku. Teman yang menjadi idola anak laki-laki sesekolahanku itu akhirnya menjalin kedekatan denganmu. Dan aku sebagai perantara antara kamu dengannya Rein. Aku tak pernah merasa cemburu atau sakit hati Rein. Karena aku tenang akan batasan yang telah kubuat. Karena aku tenang kau masih menjadi yang kukagumi dan tak mungkin kubenci. Begitulah pikiran kanak-kanakku dulu, Rein.
Namun hubungan yang sebenarnya tak kau senangi pun akhirnya kau akhiri. Aku kelimpangan, Rein. Dia dan kau adalah orang terdekatku. Berkali-kali aku mencoba menyelamatkan hubunganmu. Dan temanku itu pun membencimu Rein. Kebencian yang membuatmu menulis surat panjang memintanya agar tak jua membenciku. Rein. Sungguh, aku tak tahu bila suratmu itu adalah surat cintamu untukku Rein. Ah! Aku memang naif karena baru menyadarinya saat ini.
Rein, setelah bertahun tahun berpisah denganmu. Kini aku sadar, bahwa kau adalah satu dari beberapa gelombang yang Tuhan ciptakan. Gelombang yang tersambung dengan gelombangku. Gelombang yang membuat kita selalu mencari kabar tanpa perlu bertegur secara langsung. Rein, kau telah menikah, kau pun kini tengah memiliki pangeran kecil bernama Alby. Sedangkan aku, kini memutuskan untuk sendiri Rein. Single, begitu istilahnya. Itu karena aku ingin kembali mengamalkan apa yang aku amalkan dulu. Prinsip yang kupegang sedari kecil. Sedari aku belum bisa berkerudung rapi. Sedari aku mengagumi rambut ikal dan tatapan lurus kharismatikmu itu. Prinsip untuk mengagumi tanpa memiliki Rein. Aku terlalu takut kehilangan orang-orang yang kukagumi dan kusayangi. Begitulah Rein. Begitulah caraku memilikimu dengan hati yang damai.

Aku selalu berpikir kenapa aku tak dapat menjalin kedekatan yang lebih dengannya. Toh, ia juga merasakan hal yang sama denganku. Tapi aku tak tahu mengapa aku tak bisa. Meski teman-teman remajaku bisa melakukannya dengan santai-santai saja. Walau akhirnya ketika mereka putus. Mereka akan saling membenci satu sama lain, dan menyukai orang lain lagi. Tapi memang begitulah. Kadang memiliki jarak denga orang-orang yang kita sayangi jauh lebih baik disbanding mendekatkan jarak lalu kemudian berpisah dengan amarah tak bertepi. 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.