PAY
Oleh : Ayra Izzana R
“Kau sudah mencintaiku?” terdiam, sunyi.
“Kau sudah merindukanku?” masih terdiam. Aku mendesah panjang.
Pertanyaan yang berulangkali aku tanyakan dan berulangkali pula tak ada
jawaban. Aku pergi meninggalkan dia sendirian di ruang tamu. Membiarkan dia
termangu dan menyusuri seluruh lorong hatinya. Dan dua pertanyaan itu yang
selalu mengakhiri pertengkaran kami dengan khidmat. Karena aku tahu ia akan tertekan,
dan aku juga tahu tak ada cinta di antara kami dan aku masih saja bertanya
tentangnya. Pernikahan kami yang tak sempurna tanpa hasrat dan cinta. Sudah dua
tahun lamanya. Dan cinta belum juga mengaliri jiwa di antara kami baik aku
maupun dia. Sepi, sunyi, dan hambar. Aku menelan ludah pahit. Biar dia saja
yang merasakannya dan akupun membiarkannya saja.
Dan malam ini aku pulang terlambat. Reuni dengan teman teman SMA
membuatku lupa akan ada dia yang menungguku di rumah. Dia selalu menungguku
sampai kapanpun aku pulang. Dan selalu sama yang ia tanyakan.
“ Kau tak ingat kalau kau punya suami?”
“Ingat.... Tapi apa pedulimu kau ingatkan aku terus soal itu” aku
geram.
“Setidaknya berpura puralah Risa..”
“Aku tak bisa mas...”
“Sampai kapan kita seperti ini...?” aku menyeringai
“Kau sudah mencintaiku?”
Ku telisik seluruh pandangan matanya kearahku dan ia dengan segera
memalingkan mukanya.
“Rupanya kau sudah mulai merindukan aku” Lalu aku pergi meninggalkannya.
Dan di kamar aku menangis. Penyatuan dua insan dalam ikatan
pernikahan seperti apa ini. Bukan pasangan yang saling cinta tapi mampu
bertahan sampai dua tahun lamanya bahkan aku tak ingin meninggalkannya. Aku
juga tidak tahu apa yang sedang Mas Hamdan rasakan. Apa sama sepertiku? tapi
sejauh ini tak ku temukan setitik cinta untukku. Bahkan satu titik kecilpun. Atau
mungkin sudah ada tapi aku tak peka dan belum menyadarinya. Tapi Mas Hamdan
juga tak pernah menyakitiku, hanya permintaannya yang ingin agar aku selalu
mengingatnya agar tak pulang terlalu malam. Dan aku akan murka dengan alasan
tak jelas.
“Belum tidur?” sebuah
pesan yang membuatku lupa semua tentang Mas Hamdan.
“Hampir
terlelap. Kau masih saja menggangguku”
“tapi
aku senang mengganggumu”
“Kau
selalu merepotkanku”
“Tapi
aku senang buat kau repot”
“Selalu
begitu”
Senyap sebentar tak ada sahutan. Aku hampir terpejam dan ponselku
bergetar lagi
“Jangan
tidur sebelum kau memikirkan suamimu”
“Aku
tak bisa untuk tidak memikirkan dia. Dan aku selalu memikirkannya”
“Bagaimana
dengan aku. Kau tak pernah berpikir tentangku?”
“Hahaha...
Buat apa aku memikirkan kamu. Kau hanya sebatas teman yang tak biasa”
“Aku
senang kau tertawa walau hanya sebatas huruf yang kau tulis”
“Kau
berlebihan...”
“Sungguh
aku suka itu”
Aku berhenti membalasnya dan melemparkan ponsel di samping bantal.
Dia, orang dalam ponsel itu kadang memberi sedikit kebahagiaan di sudut hatiku
tapi masih jauh terlalu dalam. Aku tak pernah sekalipun memikirkan untuk menemuinya
dan dia, Pay begitu aku menulis namanya dalam kontakku itu juga tak pernah membahas
tentang pertemuan kami. Kami sangat akrab 6 bulan terakhir ini. Dari pesan
pesan singkatnya yang lama lama mengisi sisi kosong hatiku. Canda canda
renyahnya yang tak sengaja membahagiakanku. Semula tak sengaja aku membuka
sebuah pesan yang tak ku kenal dan ternyata salah sambung. Entah sengaja atau
tidak tp aku tak memperdulikannya waktu itu. Lama kelamaan ia seakan akan
membuntutiku. Pay selalu tahu apa yang kulakukan dan ku rasakan. Tak seperti
sms sms salah sambung lainnya, Pay tak menuntut pertemuan di antara kami. Itu
yang membuatku tenang.
Aku keluar dari kamar dan mendapatkan Mas Hamdan sedang terlelap di
sofa depan televisi. Ku lihat dari kejauhan wajah lelahnya itu. Matanya
tertutup rapat tertahan. Aku kembali menyesalkan pertengkaran kami yang berulang kali. Air mukanya terlihat
begitu menyejukkan.hempasan nafasnya satu persatu seperti mengeluarkan segala
rasa sesaknya. Tiba tiba ada sebuah rasa kasihan yang timbul tenggelam. Mas
Hamdan memang benar, sampai kapan aku seperti ini. Aku kembali masuk kamar dan
meraih ponselku.
“Pay....kau
sudah tidur? Aku tak bisa tidur memikirkannya pay”
Aku terisak memeluk bantal. Lama tak ada jawaban.
****
“Tak bisakah berpura pura
Risa?”
“Kau juga bisa berpura pura?”
“Aku akan mencoba”
“Terserah”
Aku membanting tubuhku di sofa. Mas Hamdan mendekatiku.
“Kalau aku dan kamu tidak bisa mungkin perpisahan lebih
baik...sudah cukup untuk selama ini.
Aku dan kamu sudah cukup tersakiti. Aku sudah berusaha. Kau selalu
mengacuhkanku” aku terpana. Mas Hamdan mengucapkan perpisahan di sana. Mataku
nanar memandang televisi. Tak ada jawaban apapun dari mulutku. Mas Hamdan
mendesah kecewa dan meninggalkanku. Aku meremas remas kerudung ku dan memukul
mukul dadaku
“hanya berpura pura saja Risa. Kenapa kau tak bisa?” jeritku
tertahan.
“Pay... Kau tahu rasanya
perpisahan” aku gelisah, belum ada balasan. Tangannku dingin.
“Trrrtt....”
“Aku belum pernah berpisah
dengan siapapun”
“Setidaknya
kau tahu pay..”
“Ada
apa? Ada yang ingin berpisah denganmu? Suamimu?”
Aku terhenyak
“Kau
tahu pay?”
“Hahaha...
Bukan tahu Risa tapi sok tahu”
Pay mulai....
“Aku serius pay”
“Jangan
terlalu serius. Cobalah kau tulis tawamu”
Dengan terpaksa ku ketik
“Hahaha..”
“Sungguh
menyenangkan”
“Kau
menyebalkan”
“Tapi
aku suka”
Berakhir... Aku tak mungkin menceritakan semuanya pada Pay. Mungkin
Pay tak kan mengerti toh dia cuma ada di dalam ponsel. Aku kembali meletakkan ponselku
di samping bantal.
“Coba berpura puralah Risa” kata kata Mas Hamdan terngiang ngiang
di telingaku. Ku hempaskan tubuhku dan memandang seluruh isi kamar. Perang
batin mulai terjadi. Kalau memang tak cinta kenapa harus pura pura mencintai.
Bukankah perpisahan lebih baik. Tapi tiba tiba aku tak menginginkan perpisahan
itu. Aku bangkit dan secepatnya aku keluar menemui Mas Hamdan yang tengah duduk
di meja kerjanya. Ia terkejut dengan kedatanganku dan Sekilas ku lihat ia buru2 memasukkan sesuatu
di laci mejanya.
“Kau benar benar menginginkan kebaikan dari hubungan ini mas” tiba
tiba kata kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Ku liat ada pias berbeda
dari wajahnya.
“Aku sudah memikirkan sejak lama Risa..”
“Kau tak pernah menyesalkan pernikahan kita mas”
“Awalnya begitu Risa... Pernikahan yang sama sekali tak kita
inginkan”
“Dan aku menyesalinya”
“Kita harus mencoba Risa... Berpura puralah kalau kau sangat
mencintaiku”
Aku menggeleng
“Kau egois”
“Apa maksudmu?”
“Kau hanya memintaku saja untuk berpura pura mencintaimu. Lalu
kau...”
“Aku akan berpura pura mencintaimu” Mas Hamdan mendekatkan wajahnya
ke wajahku. Aku pias dan mundur.
“Tapi jangan salahkan aku jika aku gagal”
“Setidaknya kau sudah berusaha” aku mundur teratur dan meninggalkan
Mas Hamdan kembali dalam kesunyian.
****
“Aku berpura pura mencintainya pay”
“Dari
dulu kau tak pernah mencintainya” aku
kaget, Pay tahu lagi.
“Bantulah
aku pay”
“Kau
butuh teman tak biasa sepertiku Ris”
“Aku
sudah punya kau pay..”
“Kau
percaya padaku?”
“Siapa
lagi yang bisa ku percaya pay?”
“Kau
bisa pura pura mencintaiku”
Aku kaget
“Kau gila...????”
“Cinta
memang butuh kegilaan. Kau tak percaya?”
Aku urung membalas pesan terakhir. Ah pay ada ada saja. Mana
mungkin aku bisa berpura pura mencintai dua orang sekaligus.
“Cobalah Ris... Kau akan tahu
mana yang akan kau cintai sesungguhnya Ris. Aku atau suamimu”
Aku terbelalak membaca pesan Pay. Menurutku Pay tidak sopan malam
ini. Aku mendengus. Tapi bisakah ku coba saran Pay. Lalu siapakah Pay itu??? Tiba
tiba..
“Lalu
bagaimana kalau aku benar benar mencintaimu daripada suamiku?”
“Aku
akan bersamamu”
Aku membanting ponselku. Pay sudah gila. Dan mungkin Pay benar.
Cinta butuh kegilaan.
*****
Di drink corner ia mengaduk aduk saja isi gelasnya. Malam sudah
larut. Tapi ia belum juga beranjak dari tempat duduknya. Jus wortel yang ia pesan
utuh. Beberapa kali ia menengok jam di pergelangan tangannya.
“Dia pasti belum pulang” gumamnya. Ia mengambil ponsel dan tak lama
ia sudah asyik berkutat dengan ponsel itu. Sesekali ia tersenyum, tegang dan
mnghela nafas. kemudian ia buru buru berkemas dan berlalu dari tempat itu
setelah membayar ke kasir. Wajahnya kelihatan cerah ada semburat bahagia. Ia
buru buru memakai helm dan mengambil motornya.
“Kau buru buru sangat Ham... Dan tak biasanya pula kau pulang
selarut ini” tiba tiba teman kerjanya yang tak sengaja berpapasan di depan
Drink Corner menegurnya.
“Istriku sudah menunggu”
Seorang teman itu bergumam
“Aneh” tanpa memperdulikannya Hamdan segera berlalu.
Di perjalanan pulang Hamdan sedikit mengebut tetap dengan hati
hati. Ingin cepat sampai di rumah. Ingin segera menjumpai istrinya. Seperti apa
raut mukanya saat istrinya itu menunggunya di rumah. Kesepakatan telah di
mulai. Sayang ia telah menipu Risa,istrinya. Perjodohan 2 tahun yang lalu
sungguh tidak di terima Risa. Rasa gengsi dan menjaga harga dirinya ia pun
merelakan hatinya yang sungguh mencintai Risa. Risa tak peduli dengannya bahkan
sampai dua tahun lamanya. Dan hari ini, malam ini kesepakatan di mulai. Risa
akan berpura pura mencintainya. Sepanjang perjalanan ia tak berhenti menyebut
nama Tuhan. Berharap Risa mampu melakukannya. Jika tidak ia akan kalah.
Memendam cinta yang sama sekali tidak dapat ia ungkapkan.
“Pay...
Hari ini aku mencoba memasak makanan kesukaannya. Aku sedang menunggunya dengan
hati cemas.. Aku mulai berpura pura mencintainya”
Hamdan tersenyum
“Aku telah menipumu Risa... Maafkan aku”
*****
Ku hempaskan tubuhku di kasur dan segera ku raih ponselku.
“Aku
tak yakin dia menyukainya Pay... Ia diam saat ku tanya. Berpura pura
mencintainya membuat ku berdebar. Aku menipu hatiku Pay”
“sekarang
kau coba berpura pura mencintaiku Ris... Cobalah”
“Kau
aneh”
“Bukankah
kemarin kita sudah sepakat. Mana yang membuat hatimu bergetar. Aku atau dia
suamimu”
Mataku terpejam dan tak menemukan apapun.
“Kamu
seperti apa Pay”
“Bayangkan
aku adalah artis idolamu”
Aku tertawa
“Tentu
aku menyukai idolaku itu bukan hanya berpura pura Pay”
“Anggap
saja aku idolamu... Jangan menyerah. Aku akan berkata bahwa aku mencintaimu”
Aku terbelalak dan tertekan
“Kau
gilaaaaaa Pay”
“Sudah
berulang kali aku katakan... Cinta butuh kegilaan”
Dan Pay memang benar benar gila
“Jangan
pernah kau berpikir kalau aku sudah gila Ris...”
Sial. Ku banting ponselku. Aku memandang seisi kamar. Pay seakan
akan ada di kamarku. Setidaknya Pay bisa membuatku tenang. Ia tahu yang ku
pikirkan. Lalu siapakah kau Pay????
Teringat Hamdan yang menikmati makan malam buatannya. Terlihat
nikmat tanpa suara.
“Kau menyukainya Mas?” ku pasang senyum semanis mungkin yang sudah
sejak sore aku siapkan. Dan sudah ku lihat berkali kali di cermin. Hamdan
terhenti, tangannya mengusap pipiku. Aku terkejut dan agak risih tapi ku
biarkan.
“ belum pernah aku merasakan masakan selezat ini sayang..” aku
terdiam. Nyaris sempurna. Hamdan melukis senyum mesra penuh cinta untukku. Aku
hanya memandangnya bingung. Senyum manisku pudar. Sikap Hamdan tak seperti pura
pura. Aku???? Belum menyadarinya. Kembali ku raih ponselku. Entah kenapa aku
bahagia menceritakan semua pada Pay.
“kau
tahu Pay... Ia seperti benar benar mencintaiku”
Lama tak ada balasan. Hampir tertidur aku menunggunya. Ku dekap
erat ponselku dan akhirnya...
“Mungkin
ia benar benar mencintaimu... Kau teruslah berpura pura”
Ahh Pay...
*****
Hari hari berlalu, aku mengikuti semua permainan. Hamdan
memperlakukanku dengan sandiwaranya dengan sempurna. Ia menggandengku, mencium
keningku, bahkan memelukku. Aku membiarkannya toh aku istrinya. Hanya saja aku masih
belum mau seranjang dengannya. Hari demi hari ku mulai berusaha memupuk rasaku.
Berharap lorong lorong hatiku yang kosong segera terisi cintanya dan menerima
semua kelembutannya. Setiap hari aku bercerita dengan Pay. Kadang dengan rasa
bahagia yang menggebu gebu. Kadang juga masih dengan hati yang belum mengakui.
“Kau
seperti mulai mencintainya” Pesan
Pay pada suatu malam setelah Hamdan mengajaknya makan romantis di suatu tempat.
Dan Pay seakan akan membuntutiku.
“Aku
akan membiarkannya terjadi Pay. Dan aku mulai takut dengan perpisahan itu”
“Saat
kau benar benar mencintainya aku akan meninggalkanmu” aku terhenyak. Ada perasaan tak rela di sana. Aku juga tidak ingin
kehilangan Pay.
“Kenapa
mesti begitu Pay?”
“Lama lama kau akan jatuh
cinta padaku setelah kau benar benar mencintainya”
“Tak
mungkin”
“Tapi
aku yakin. Dan aku juga akan benar benar mencintaimu”
“Aku
tau.. Kau sedang berpura pura saat ini”
“Setelah
kau akhirnya bisa mencintainya?”
“Dan
kau juga menyudahi dramamu”
“Kalau
tidak?”
“Brati
kau sudah gila”
“Ah...
Kau lupa Risa”
“tidak...
Aku ingat. Cinta butuh kegilaan”
“Hahahaha...”
“Kenapa
tertawa? Kau mengejekku”
“Tidak”
“Lantas
kenapa?”
“Aku
mulai mencintaimu”
Aku terpaku dan berhenti mengetik balasan untuknya. Pay seperti
sosok fatamorgana. Sosok imajinasi dan aku menganggap dia bahkan tak ada. Tetapi
sosoknya seperti mewakili perasaan Hamdan yang tak pernah mengatakan cinta untukku.
Seandainya.... Aku kembali teringat Pay.
“Pay....
Seandainya ia mengungkapkan rasa cintanya untukku. Seperti yang telah kau
katakan padaku” aku menatap
langit langit kamarku. Runyam dengan lampu yang temaram. Hamdan memenuhi sesak
kamar dan fikiranku juga sedikit hatiku. Ada... dan aku belum juga mengakuinya.
Aku masih menunggu jawaban Pay.
“Jangan
menyembunyikan rasamu Ris. Aku yakin kau mencintainya. Jangan kau tunggu dia
untuk mengatakannya. Aku sudah siap meninggalkanmu”
Aku kembali termangu. Aku harus mengakhiri drama ini. Pura pura dalam
seminggu ini sungguh menyiksaku. Aku terlalu memungkiri rasa cinta yang mulai
ada. Lalu apa Hamdan juga tersiksa sepertiku.
“Katakanlah
Ris... Mungkin dia merasakan apa yang kau rasakan”
Pay, sebenarnya siapa kau. Aku keluar kamar dan celingukan. Jangan
jangan dia ada di sini. Seluruh ruangan kosong. Aku kembali masuk kamar.
Berbaring dan terpejam menunggu pagi yang tiba tiba menjadi begitu lama.
*****
Tiba tiba Hamdan menelponku. Dari suaranya ia begitu bahagia. Suara
deru motor yang di setirnya membuat suaranya timbul tenggelam.
“Tunggu aku di rumah Ris. Aku ingin mengatakan sesuatu”
Dadaku bergetar hebat
“Berhentilah dulu mas... Aku tak mendengar suaramu”
“Tunggulah aku di pintu sayang....”
Dan
“Bruaaaaakggggh”
Aku terkejut, suara hantaman itu. Sejenak aku terpaku lalu akhirnya
aku histeris.
“Massssss.....”
Aku kalang kabut, berlarian mencari sesuatu. Kunci motor tak ku
temukan. Aku panik dan terduduk. Air mataku berlelehan. Ku panggil Hamdan
berkali kali. Otakku mulai berpikir tak sempurna. Tiba tiba hanya Pay yang ku
ingat. Tanpa pikir panjang aku menekan nomor dan menelponnya. Tak ingat sama
sekali kalau Pay ku anggap sosok fatamorgana yang tak pernah ada. Aku kembali
tak percaya. Suara dering ponsel yang ku telpon berdering di rumah ini. Aku celingukan.
Dengan air mata yang mengalir aku mengikuti di mana arah ponsel itu berdering. Aku
tertegun. Aku menemukan ponsel itu dengan anggunnya terbaring di meja kerja
milik Hamdan. Ponselku terjatuh dari genggaman dan ku raih ponsel itu. Ku tekan
kembali nomorku dan ponselku muncul sebuah nama “PAY”...
Aku semakin histeris
“Kurang ajar kau Hamdan... Kau berhasil menipuku” Aku menangis sejadi jadinya. Aku terduduk
lunglai di samping meja itu. Pesan pesan dari Pay berterbangan dan menari nari
di seluruh isi kamar Hamdan. Aku terhenyak dan berlari keluar. Hamdan
membutuhkanku. Dan apa yang akan dia katakan padaku.
*****
Di puskesmas aku memandangi wajah Hamdan yang penuh luka. Matanya
terpejam belum juga siuman. Tiba tiba aku imenggenggam tangannya, memeluknya
lalu menciumnya. Tak lama Hamdan membuka matanya. Aku tersenyum dan mengatakan
sesuatu.
“Pay... Apa yang ingin katakan?” ku belai wajahnya yang penuh luka.
Dan Hamdan tertawa di sela sela tangisnya.
“Aku mencintaimu Ris “
“Kau gila Pay”
“Kau tidak ingat kalau....”
“Cinta butuh kegilaan. Dan kau telah menipuku”
Kami tertawa bersama sama dan juga menangis dalam pelukan.
Pay...
Tidak ada komentar