Header Ads

Header ADS

Zul

Ayra Izzana Riyanti


Sore yang mendung, awan bergulung-gulung menyerbu hamparan langit putih. Sore yang sebenarnya masih cerah itu tiba-tiba gelap. Sebuah langkah kecil dengan beban sekarung serbuk kayu di pundak terlihat terseok-seok. Tangan kecilnya berkeringat memegang ujung karung putih bekas pupuk UREA yang diikat dengan seutas pelepah pisang. Keringatnya mengucur deras membanjiri wajahnya yang pekat.
Petir terdengar menggelegar beberapa kali. Langit mulai menebar benih-benih air yang lembut. Zul, bocah kecil itu semakin mempercepat langkahnya. Sampai di sebuah rumah dengan berjejer-jejer sapi di terasnya, Zul meletakkan beban di pundaknya.
"Bu leek...,” Zul berteriak di antara suara lenguhan sapi-sapi. Seorang wanita separuh baya terlihat keluar, tergesa-gesa.
"Taruh di kandang, Zul. Besok nggak usah diantar dulu, ya. Persediaan masih banyak," ucapnya sambil mengulurkan selembar uang kertas lima ribuan.
Zul menerimanya dengan mata berbinar. Diangkatnya kembali karung itu dan meletakkannya di  kandang. Tak lupa ia juga membantu memasukkan sapi-sapi itu ke dalam kandang. Tangannya begitu lincah melepas dan mengikat kembali. Hujan mulai deras dan bulir-bulir airnya mulai sakit menimpa kepalanya. Ia segera berlari sembari tak henti membayangkan wajah cemas ibunya yang menunggunya di teras rumah.
***
Zul masih teramat kecil untuk memikul beban hidup yang sedemikian berat. Usianya baru sepuluh tahun. Tubuhnya terlihat ringkih dan rapuh. Tulang-tulang rusuknya menonjol seakan ingin keluar dari balik baju tipis yang menutupinya. Tangannya nampak begitu kecil dan mungil jika dibandingkan dengan milik teman-teman sebayanya. Warna kulitnya coklat dan kering, bila sedikit saja ia menggaruk bagian tubuhnya yang gatal, akan muncul garis-garis putih serupa torehan kapur tulis. Telapak tangannya kasar akibat sering mengais serbuk-serbuk gergaji yang berceceran.
Siang hari usai sekolah, Zul akan setia menunggu di pinggiran sungai sebelah barat desa Karanglo, sebuah desa yang terletak di bagian selatan Kecamatan Bangilan. Di sana terdapat tempat menggergaji kayu dengan cara lama.
Di tempat itu, sebuah lubang persegi panjang menganga dengan kedalaman tak kurang dari dua meter. Dua bilah kayu penyangga diletakkan secara horisontal. Lalu posisi kayu yang akan digergaji dibuat vertikal, dilihat sekilas nampak seperti salib. Satu orang akan berada di bawah dan satunya lagi berada di atas; mereka akan saling menarik gergaji sepanjang dua meter itu.
Setelah setengah jam, para penggergaji itu akan beristirahat dan saat itulah Zul turun untuk mengais dan mengumpulkan serbuk-serbuk kayu, memasukkannya ke dalam karung bekas pupuk UREA. Sesekali sisa serbuk gergaji berterbangan dan menimpa rambutnya yang ujungnya berwarna kemerahan.
Di desanya, banyak sekali petani, yang sekaligus memelihara sapi, membutuhkan serbuk kayu itu untuk pediang. Itu adalah semacam api unggun kecil yang di atasnya diletakkan serbuk-serbuk kayu agar asap mengebul lebih tebal. Cara seperti ini menurut mereka adalah cara paling ampuh untuk mengusir nyamuk-nyamuk yang menyerbu kandang dan menghisap ternak. Sebenarnya mereka bisa pergi sendiri dan mengambil serbuk-serbuk itu dengan cuma-cuma, namun sudah dua tahun terakhir ini mereka membiarkan Zul saja yang mengambil serbuk-serbuk itu untuk dijual pada mereka.
Dua tahun setelah ibu Zul terkena stroke, bapaknya yang hanya buruh tani biasa tak mampu lagi meneruskan pengobatan ibunya. Berbagai macam pengobatan sudah di tempuh. Terapi sampai opname berminggu-minggu di sebuah Rumah sakit swasta. Bahkan ada beberapa tetangga yang menyarankan untuk berobat di paranormal. Setahu Zul, bapaknya sudah membawa ibunya berobat ke tempat-tempat yang disarankan oleh tetangga dan kerabat. Kini bapaknya sudah mulai kelelahan, sawah penopang hidup mereka selama ini sudah terjual. Mereka menyerah.
Mungkin benar kata tetangga mereka, penderita stroke tak akan bisa sembuh seperti sedia kala. Karena itulah Zul dan Bapaknya hanya bisa pasrah dan merawat ibunya seadanya di rumah.
Zul yang kehilangan masa kanak-kanannya tak pernah mengeluh. Ia menikmati perannya sebagai seorang anak yang berbakti kepada perempuan yang melahirkannya. Biasanya, pagi hari sebelum berangkat sekolah, Zul akan memandikan ibunya. Ia juga menuhi kebutuhan ibunya selama bapaknya bekerja menggarap sawah milik pamannya. Selepas sekolah, alih-alih bermain dengan teman-temannya, Zul menggunakan waktu istirahatnya untuk mengumpulkan serbuk-serbuk gergaji yang menggunung di seberang sungai.
Awalnya ia mengalami kesulitan menjualnya karena banyak orang yang tak butuh. Tapi setiap musim penghujan datang, banyak orang di desanya yang memiliki sapi membutuhkan serbuk gergaji itu untuk membuat asap tebal pengusir nyamuk. Zul merasa senang mengambil serbuk-serbuk itu dan menerima upah yang cukup untuk uang sakunya sendiri.
****
Di tepi sungai, di bawah serumpun bambu, Zul memandang para penggergaji yang telanjang dada dan sekujur tubuhnya dibasahi oleh keringat. Dibiarkannya serbuk-serbuk kayu itu beterbangan tertiup angin. Langit mulai mendung. Para penggergaji itu kelihatan begitu tergesa-gesa menyelesaikan pekerjaannya.
"Kelihatannya nggak selesai, Nung," seru Darmono dari atas pada Anung yang di bawah.
"Iya. Kita lanjutkan besok saja." Anung melepaskan pegangan gergajinya dan membantu Darmono menurunkan kayu.
Angin mulai menderu-deru, batang-batang bambu di sepanjang sungai meliuk-liuk, ujungnya saling bertabrakan. Di langit, awan hitam bergulung-gulung dan berarak-arak seolah saling mengejar. Zul dengan cepat mengais serbuk-serbuk gergaji dan memasukkannya ke karung. Darmono membantunya dengan tergesa.
"Sudah, sana, cepat pulang!” ucap Darmono sambil membantu Zul mengangkat karung yang hampir penuh.
Langkah Zul langsung melesat jauh ke arah utara. Biasanya ia bisa menyeberangi sungai yang hanya selutut sebagai jalan pintas untuk sampai rumah. Tapi di musim penghujan air sungai akan naik dan ia harus berjalan memutar untuk melewati jembatan. Zul semakin mempercepat langkahnya. Beberapa kali ia terseok karena beban yang ada di pundaknya tak seimbang.
Sesaat setelah menyeberangi jembatan, hujan deras tiba-tiba datang seperti serombongan lebah. Mau tak mau Zul harus mencari tempat berteduh. Ia tak ingin serbuk-serbuk kayu di karungnya basah. Dipercepat langkahnya menuju warung Mie Ayam Mas Wahono yang sore itu belum buka.  Teras yang hanya selebar satu meter itu cukup mampu melindunginya dari serbuan jarum-jarum perak dari langit.
Zul sebenarnya menyenangi hujan. Ia biasa bermain sepak bola bersama teman-temannya di lapangan sekolah dekat rumah saat hujan turun. Tapi itu dulu, sebelum ibunya terserang stroke. Sekarang, setiap  hujan turun ia harus di rumah menemani ibunya. Karena hujan membuat ibunya panik dan khawatir, tak jarang bahkan ibunya akan menangis. Stroke membuat jiwa ibunya tertekan dan sensitif, mudah shock menghadapi sesuatu yang kacau dan buram.
Zul tak bisa berhenti memikirkan ibunya. Tapi hujan sepertinya tak ingin lekas berhenti, tempiasnya membuat rambutnya basah. Ia membayangkan ibunya berteriak-teriak memanggil namanya dengan vokal yang tak jelas.
"Zuunng..... Zuunnng."
Zul mulai menggigil. Entah karena rasa dingin yang ditiupkan oleh hujan atau karena bayangan ibunya, yang ketakutan dan tak berdaya, berkelebat di benaknya.
“Zuungg… Zuuuung.”
Suara itu semakin jelas saja bergema di kepalanya. Suara ibunya yang panik. Zul tak tahu harus bagaimana. Ayahnya saat ini mungkin masih di tengah sawah, berlindung di gubuk, dan baru pulang ketika azan magrib berkumandang. Zul memejamkan matanya, mencoba mengabaikan rasa khawatirnya. Semesta semakin gelap.
Tiba-tiba sebuah kilat menyambar dan suara petir yang begitu keras terdengar. Zul menutup telinga dan menekuk tubuhnya. Matanya mulai basah. Ia tak takut petir ia hanya takut ibunya kenapa-napa.
Dipandanginya sekali lagi sekarung serbuk kayu di sampingnya. Tiba-tiba ia sadar, itu tidaklah berarti dibandingkan ibunya. Zul segera melesat, berlari di bawah deras hujan.  Ia tak kuasa membiarkan ibunya yang mengkhawatirkan dirinya dan sesuatu yang buruk menimpa ibunya karena terlalu panik.
Zul berlari sekuat tenaga. Ia berlari sekencang-kencangnya menembus derasnya hujan yang memukul-mukul wajahnya. Matanya sedikit dirapatkan agar air hujan yang begitu deras tidak menyakiti matanya. Nafasnya terengah-engah. Beberapa kali mulutnya terbuka untuk membantu pernafasan di hidungnya. Rasanya seperti ada yang hampir putus.
“Zuungg… Zuuuung.”
 Suara sengau ibunya bergema di kepalanya sekali lagi, membuat Zul tak peduli dengan tubuh dan jantungnya yang mulai kelelahan memompa darah. Paru-parunya kembang-kempis tak karuan.
Di belokan jalan menuju rumahnya, Zul hampir saja terpeleset oleh jalanan yang licin. Dari kejauhan ia melihat ada keramain di beranda rumahnya. Zul semakin panik. Ia berlari menembus keramaian itu.
 Di sana, di antara keramaian itu, ia melihat ibunya jatuh terlentang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan. Kedua bola mata ibunya basah, tapi pandangannya entah kemana. Nafasnya terbata-bata dan bibirnya tak henti-henti meracau, mendengungkan sebuah nama:
“Zuungg… Zuuuung.”
Zul merangsek, memeluk ibunya erat-erat. Air matanya begitu deras. Sederas hujan sore itu.
Bangilan, 11 Januari 2017


*Ayra Izzana Riyanti lahir di Tuban. Anggota Komunitas Kali Kening dan Alumni KMI ASSALAM.

*Cerpen ini dimuat di Lembar Budaya Radar Bojonegoro, Minggu 29 Januari 2017

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.