Lelaki yang Selalu Menunggu Hari Minggu
Rohmat Sholihin
Setiap sabtu malam, tak kunjung mata ini terpejam, hatiku
selalu menunggu dalam pekat malam, dengan was-was yang mencekam, dada bergetar
tak sabar menunggu, bahwa esok pagi serasa dunia aku genggam…
Lelaki itu selalu berdandan rapi, menyiapkan diri menyambut hari spesialnya,
hari minggu pagi. Ia duduk diberanda rumahnya dengan ditemani secangkir kopi
lengkap dengan hidangannya, ubi rebus dan pisang goreng. Pikirannya bermain
dengan embun yang masih pagi dan kicau burung prenjak yang menjentik-jentik,
“mudah-mudahan minggu yang cerah ini ia muncul.” Hatinya berharap dan melirik
pada arlojinya, tak sabar ia menunggu waktu. Sejuta harapan terus
mengawang-awang., melukis perempuan impiannya dalam kata-kata sajak dan
beberapa tulisan yang telah dirampungkannya lalu ia kirim pada koran harian
yang memuat rubrik itu setiap hari minggu. Berhari-hari selalu menunggu dan
menunggu ditempat biasa. Diberanda rumahnya.
Arloji ia lihat lagi, hatinya berdetik-detik mengikuti jarum merahnya. Sinar
matahari semakin nakal membakar emosi hatinya.
“Lama belum juga datang kau penjual koran.” Gerutu hatinya.
Ia seruput kopi yang masih mengepul-ngepul asapnya, mencoba menenangkan emosi
hatinya yang meledak-ledak. Kembali lagi melirik arlojinya. Resah, gugup,
penasaran, menjadi teman setia lelaki yang selalu menunggu hari minggu.
Menunggu tulisan yang ia anggap keramat. Tulisan yang mampu memberikan harapan
serta kepercayaan diri bagi penulis. Tulisan bukan sekedar kata-kata tapi isi
jiwa penulis itu ada.
“Koran, koran, koran, koran pak.” Suara anak remaja
berteriak-teriak menjual koran mingguan.
Sontak, tubuhnya langsung bangkit dari kursi kesayangannya.
Tak sabar menghampiri suara penjual koran.
“Koran, mas.”
“Ya.”
Dengan cepat ia langsung menyodorkan uang lima ribuan yang
sudah ia persiapkan. Ia tarik korannya, berlalu dan duduk di kursi kesayangan
dengan tenang. Ia seruput kopi dan mulai membuka halaman demi halaman yang
telah ia cari. Matanya bergerak-gerak lincah sekali, tangannya membuka halaman
demi halaman dengan seksama.
“Ah tak muncul lagi,” teriaknya kecewa. Hatinya mendesir, ia
harus sabar yang kesekian kali untuk menunggu lagi hari minggu berikutnya.
“Sial, menunggu satu minggu lagi.” Batinnya kelu dan dahinya
berkerut.
“Apa lagi yang harus aku tulis? Apa dewan redaksi juga
merasakan apa yang aku rasakan?” tanya hatinya.
Kesal ia lepaskan koran dimeja, baginya tak ada yang menarik.
Ia lepaskan kekesalannya pada pisang goreng didepannya, ia kunyah kuat-kuat dan
ditelan dengan perasaan dongkol.
“Uh…tak apa, aku harus mencari bahan lagi, sampai dewan
redaksi koran itu muak. Aku harus tulis, tulis, dan tulis lagi, bahkan
ditoiletpun akan aku tulis.” Protesnya.
“Maafkan aku, jika minggu ini tulisanku belum juga muncul
sayang, masih ada minggu yang lain dan mudah-mudahan bisa muncul dikoran minggu
depan.” Hibur hatinya dengan mata yang mengawang-awang. Meski putus asa hinggap
dalam hatinya, tapi ia tetap harus berbesar hati bahwa tulisannya masih belum layak
dimuat, mungkin masih kalah bagus dengan penulis yang lain. Hingga mau tak mau
ia harus terus memacu pikirannya dan niatnya serta kesungguhannya dalam membuat
tulisan. Agar tulisannya berbobot dan tidak ragu ketika dibaca oleh kaum
pembaca.
“Baiklah, aku harus ke toko buku mencari sumber inspirasi
melalui buku-buku itu.” Hatinya penasaran. Ia pun bergegas masuk ke dalam
rumahnya, ganti baju dan cabut dengan perlahan.
Sesampai ditoko buku yang paling murah ia sibuk mencari-cari buku yang menarik.
Buku dideretan novel ia lihat, buku dideretan filsafat ia lihat, buku dideretan
sejarah ia lihat bahkan sampai buku-buku dideretan yang paling menjemukan yaitu
perbankan dan akuntansipun ia lihat dengan seksama. Keinginannya sangat kuat
ingin bisa menulis dan bisa dimuat dikoran mingguan. Ia saring-saring informasi
yang ada dalam buku, mereka-reka, menganalisis, menghubungkan baris-baris
kalimat agar terciptalah paragraf yang indah dan memukau. Menulis harus bisa
meyakinkan pembaca, memberikan informasi yang valid untuk pembaca, penulis
menganggap bahwa pembaca adalah raja, bebas mengkritik, menilai tentang sebuah
tulisan, bahkan maaf, menyumpah-nyumpah jika tulisan ini benar-benar jelek atau
murahan dan sebaiknya dibuang ke tong sampah. Pembaca juga kejam, tak ada nilai
sedikitpun untuk menghargai para penulis yang jatuh bangun menuliskan dalam
bentuk buku. Lebih kejam lagi adalah dewan redaksi yang banyak mencampakkan
tulisan-tulisan yang masuk untuk tidak dimuat. Dan lebih gila lagi jika waktu
bimbingan skripsi atau tesis, jika dosen pembimbing tak menyetujuinya, mau tak
mau beberapa lembar halaman harus rela untuk dibuang. Sebagai penulis harus
punya rasa antisipasi yang super agar tidak kalap dikemudian hari tentang
sebuah tulisan yang telah dicampakkan oleh para pembacanya. Dan menjadi penulis
dinegeri kita ini harus benar-benar tabah atas penghargaan terhadap tulisan
kita, jika penerbit membeli karya kita dengan harga yang sangat murah, kecuali
jika kita benar-benar berani menerbitkannya sendiri. Itupun laku dijual apa
tidak, menarik atau tidak. Belum lagi masyarakat kita yang tak punya ambisi
membaca. Penulis dinegeri ini benar-benar tak berpengharapan.
Iapun mulai mendapatkan beberapa buku yang ia pilih, kumpulan
puisi terbaru, Patung di Kepala. Ada buku kumpulan cerita pendek, Stasiun Tua
Dikampungku, Rindu Itu Berganti Hujan, Batu di Kepala Emak, Aku Adalah Senja,
Eutanasia, Hansamu, Serangan Fajar, Pawang Hujan, Rein, Janji Suci Di Lembah
Cinta, dan masih banyak buku-buku yang ia genggam.
“Ah, aku punya ide.” Bisik hatinya. Ia pun segera menyodorkan
beberapa buku yang ia beli dan bergegas pulang.
Berhari-hari ia terus berkutat dengan buku-buku, dan coretan-coretan. Ia
tuliskan beberapa penggalan-penggalan cerita dalam paragrafnya. Dicoret lagi,
buang, tulis lagi, coret lagi, buang, dan seterusnya seperti orang
dikejar-kejar hantu. Begitu susahnya jadi penulis dinegeri yang tak menghargai
tulisan. Orang mau membacanya saja, sudah untung, apalagi mau mendiskusikannya.
Akhirnya ia pun lelah juga, mengambil lagi beberapa kertas yang telah
dicoret-coretnya. Lalu duduk dikursi goyangnya, dengan tenang ia berusaha untuk
meresapi tulisan yang telah ia buat, membacanya dalam hati, dengan tabah
setabah bebatuan di kali.
“Ketemu.” Bicaranya pelan. Terlihat ada guratan puas di
dahinya. Ia pun mengambil lagi berkas-berkas tulisan yang telah ia buang. Ia
kumpulkan dan berusaha ia susun dengan rapi. Jadilah penggalan paragraf itu
berbunyi:
“Setiap bait indah yang telah ditulis manusia, jin, atau
iblis, tak kan pernah mencapai kesempurnaan. Semua tulisan itu bisa
terbantahkan dengan beberapa kelemahan-kelemahan didalamnya.” Tulisanmu suatu
malam di bulan purnama itu.
“Ah kau, setidaknya lebih peka dengan perasaanmu, setiap hari
kau ucapkan kata-kata rindu, dendam ataupun cinta, jika kau hanya memandang
satu sisi saja, percumalah ucapanmu itu.”
Ada lagi,
“Sial, sudah beberapa kali aku tulis, masih saja kau tak juga
membacanya, setiap kali kau kuingatkan, lupa juga akhirnya. Bagaimana kalau
kita jadi hidup bersama?, tak tahu aku, apa jadinya?, lebih baik kita bubar.”
“Apa, bubar?”
“Iya. Bubar saja mulai saat ini dan detik ini pula.”
“Aku capek dengan gaya hidupmu.”
“Bukankah cinta menutupi kelemahan dan kekurangan?”
“Iya, tapi aku lebih muak denganmu. Sedikitpun kau tak pernah
menghargai usaha yang telah aku lakukan selama ini.”
“Tentang apa itu?”
“Kau tak pernah menyukai tulisan tapi kau menyuruhku membuat
tulisan untuk melamarmu.”
Ia duduk diam lagi, menatap malam, bulan masih riang
membiaskan sinarnya, angin masih menghembuskan nafasnya, burung hantu masih
menggeluk-geluk suaranya. Dan kau tertidur juga akhirnya.
Esok paginya.
Lelaki itu selalu berdandan rapi, menyiapkan diri menyambut
hari spesialnya, hari minggu pagi. Ia duduk diberanda rumahnya dengan ditemani
secangkir kopi lengkap dengan hidangannya, ubi rebus dan pisang goreng.
Pikirannya bermain dengan embun yang masih pagi dan kicau burung prenjak yang
menjentik-jentik, “mudah-mudahan minggu yang cerah ini ia muncul.” Hatinya
berharap dan melirik pada arlojinya, tak sabar ia menunggu waktu. Sejuta
harapan terus mengawang-awang., melukis perempuan impiannya dalam kata-kata
sajak dan beberapa tulisan yang telah dirampungkannya lalu ia kirim pada koran
harian yang memuat rubrik itu setiap hari minggu. Berhari-hari selalu menunggu
dan menunggu ditempat biasa. Diberanda rumahnya.
“Akhirnya, tulisan ini muncul juga.” Dengan lega ia menghirup
udara dan senyum menghiasi bibirnya.
Tak berapa lama. Telepon dalam rumah berdering.
“Oh kau. Hallo sayang!, sudah baca koran pagi ini? Ada
tulisanku juga. Sesuai janji kita kau bersedia menjadi pendamping hidupku jika
secarik tulisanku muncul dikoran itu.”
Tak ada balasan dari telepon seberang, hanya desahan nafas
dan suara tangisan dari dalam telepon itu.
“Kau kejam mas, ternyata kau selama ini hanya menginginkanku
dari satu sisi saja, dan kau mengatakan ingin bubar…..”
Teeeet…..
Tak ada suara lagi.
Sepi.
Bangilan, 29 Januari 2017.
*Penulis aktif di Komunitas Kali Kening
Bangilan.
Tidak ada komentar