Header Ads

Header ADS

Gadis Pantai: Marxis dan Pramis

https://www.pinterest.com/pin/296885800408315029/

Oleh : Rohmat S

            Marxisme adalah seperangkat teori, atau sistem pemikiran, yang dikembangkan oleh Karl Marx pada abad ke-19 sebagai reaksi terhadap revolusi industri Barat dan bangkitnya kapitalisme industri sebagai bentuk ekonomi yang dominan. Para analis Marxis biasanya menganalisis relasi sosial agar dapat mengubahnya, mengubah ketidakadilan atau ketidaksetaraan yang ditimbulkan oleh relasi ekonomi yang kapitalistik. Ada pergulatan pemikiran yang berlandaskan logika berfikir, antara teori sosialisme dan teori kapitalisme. Sebagai sebuah teori, Marxisme sangatlah rumit, karena Marxisme adalah tiga macam teori yang lebur menjadi satu: filsafat, sejarah dan ekonomi.[1] Meskipun rumit tapi Marxisme hampir muncul dalam dunia sastra, contohnya dalam hasil karya sastra Pramoedya Ananta Toer. Ada beberapa karyanya telah terkontaminasi oleh virus Marxisme ini. Seperti contoh Novel Gadis Pantai edisi tahun 1987 dan Bumi Manusia edisi tahun 1980.
            Ada situasi pertentangan kelas yang telah ditonjolkan oleh pengarang. Seperti dalam NovelGadis Pantai, ada pemandangan hubungan kelas penguasa yaitu tokoh Bendoro, priyayi haji dengan kelas kaum miskin yaitu Gadis Pantai. Kesan yang sangat kaku karena memang berbeda kelas meski hidup dalam serumah bahkan telah menjadi istrinya lebih tepatnya menjadi selir yang kesekian dengan cara yang tak wajar. Dominasi kekayaan uang akan lebih menonjol untuk memperlakukan orang miskin menjadi seonggok barang yang bisa dipermainkan sesuka hati. Gadis Pantai dan keluarganya adalah keluarga miskin yang tinggal di pinggir pantai dan bercita-cita ingin mengubah hidupnya untuk tidak menjadi miskin. Hingga ayah Gadis Pantai rela menjadikan anaknya untuk menjadi selir tokoh Bendoro demi kemakmuran keluarga. Ah, betapa kemiskinan sungguh keadaan yang sangat berat dalam hidup. Sedangkan Tokoh Bendoro dengan segala kekayaan yang telah ia miliki menjadi lupa bahwa dalam hati dan pikirannya yang telah tertanam ilmu agama Islam menjadi tidak manusiawi hanya karena harta kekayaan lebih dominan. Sebagai pengarang, Pramoedya sah-sah saja membuat tokoh, meski tokoh Bendoro sangat kontoversial karena harus diambil dari seorang tokoh priyayi haji yang telah mengingkari ajaran Islam itu sendiri. Bahwa Islam sangat membenci perbudakan dan kekerasan, karena Islam adalah agama humanis. Ini merupakan kritik Pramoedya terhadap kehidupan agar jangan sampai Islam terjebak ke arah feodalisme.
            Melalui sarana teks yang berupa tokoh dan penokohan, pembaca dapat mengidentifikasi perbedaan kelas sosial dalam novel tersebut dengan memperhatikan percakapan, pikiran dan tindakan-tindakan tokoh. Dalam kombinasi teknik analitik dan dramatik, keluarga Gadis Pantai ditampilkan sebagai manusia yang tidak berdaya untuk menolak keinginan Bendoro yang ingin memperistri Gadis Pantai. Ketidakberdayaan itu bersumber dari keinginan orang tua yang tidak ingin anaknya senantiasa miskin. Dalam pikiran orang tua Gadis Pantai, menjadi istri Bendoro berarti lepas dari kemiskinan.
Maka pada suatu hari perutusan seseorang itu datang ke rumah orang tua gadis. Dan beberapa hari setelah itu sang gadis harus tinggalkan dapurnya, suasana kampungnya, kampungnya sendiri, dengan bau amis abadinya. Ia harus lupakan jala yang setiap pecan diperbaikinya, dan layar tua yang tergantung didapur-juga bau tanah airnya.
Ia dibawa ke kota. Tubuhnya dibalut kain dan kebaya yang tak pernah diimpikannya bakal punya. Selembar kalung emas tipis sekarang menghias lehernya dan berbentuk medalion berbentuk jantung dari emas, membuat kalung itu manis tertarik ke bawah. (Toer, 2000:1-2)
“Ssst, jangan nangis. Jangan nangis. Hari ini kau jadi istri pembesar.”
Ia tak tahu apa yang dihadapinya. Ia hanya tahu: ia kehilangan seluruh dunianya. Kadang dalam ketakukatn ia bertanya: mengapa tak boleh tinggal dimana ia suka, di antara orang-orang tersayang dan tercinta, di bumi dengan pantai dan ombaknya yang amis.
“Sst. Jangan nangis Mulai hari ini kau tinggal di gedung besar, nak. Tidak lagi di gubuk. Kau tak lagi buang air di pantai. Kau tak lagi menjahit layar dan jala, tapi sutra, nak. Sst. Sst. Jangan nangi.”
Empat belas tahun umurnya. Dan tak pernah ia merasa keberatan buang air di pantai (…)
“Ssst. Jangan nangis, nak. Hari ini kau jadi istri orang kaya.”
Ia terisak-isak, tersedan, akhirnya melolong. Ia tak pernah merasa miskin dalam empat belas tahun ini. (Toer, 2000:2)
            Dari paparan penokohan secara analitik dan dramatik ini, perbedaan kelas itu langsung tampak. Atmosfer pengagungan terhadap harta semakin terasa ketika orang tua Gadis Pantai langsung menerima pinangan orang yang telah memberikan kemewahan kepada anaknya. Mereka merelakan anaknya dijadikan istri oleh seseorang yang hanya menghadapi mereka dengan sebilah keris.
Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu: kini ia bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup. (Toer, 2000:2)
Ketidakhadiran Bendoro untuk meminang Gadis Pantai secara langsung menandakan, bahwa antara Bendoro dan Gadis Pantai bukan hanya berbeda secara alamiah, tapi Bendoro sebagai orang kaya perlu membedakan dirinya dengan orang lain yang memiliki aset materi yang kurang.
            Dan kutipan diatas menunjukkan bahwa Bendoro kaya itu menikahi Gadis Pantai tanpa akad nikah. Dalam seluruh rangkaian cerita novel ini tidak terdapat indikasi tekstual yang menunjukkan adanya prosesi pernikahan antara orang dari dua kelas sosial yang berbeda itu, meskipun Bendoro kaya itu adalah seorang haji. Dalam konfigurasi teks ini, maka haji tidak berbanding lurus dengan kebaikan dan kerendahan hati.[2]
            Pramoedya sebenarnya tidak mengkritik Islamnya secara keseluruhan akan tetapi permasalahan-permasalahan kehidupan di sekitarnya yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial di masyarakat kita yang masih kental terhadap gaya feodalisme Jawa termasuk kelas priyayi Islam Jawa. Pertentangan kelas antara kelas berada dan kelas papa, dan ini terjadi di manapun tempatnya bahkan terjadi juga di bagian bumi Eropa. Hubungan kaum buruh dengan pemilik perusahaan atau modal adalah hubungan sebatas hubungan ekonomi. Tak lebih dari itu karena memang ada unsur kesengajaan bahwa bagaimanapun juga kelas pemilik modal adalah kelas paling berada sedangkan kelas buruh tak ubahnya seperti kelas kere. Namun, Marx pernah menyerukan kepada dunia bahwa, bersatulah kaum buruh dunia. Agar kaum buruh mempunyai rentetan mata rantai yang vital bagi perusahaan karena sebuah perusahaan tanpa tenaga kerja atau buruh tak kan bisa berproduksi. Meski selanjutnya peran buruh tergantikan oleh mesin namun hanya bisa mengefesiensi atau menghemat anggaran sedangkan kaum buruh tetaplah berguna dan tak bisa di tinggalkan. Sehingga pertentangan kelas akan selalu ada dan selalu terjadi sampai kapanpun meski Marx sendiri meleburkan teorinya dengan masyarakat tanpa kelas.
            Sebenarnya inti permasalahan dari pertentangan kelas adalah mencari keadilan dan kemerdekaan setiap individu untuk menentukan dan mencapai kesejahteraan hidup tanpa harus ada sekat perbedaan antara si kaya dan si miskin. Padahal kedua kelas ini adalah sepasang status sosial dalam kehidupan yang selalu ada dan sulit terpisahkan. Kedua status sosial ini adalah saling melengkapi di antara kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Dalam suatu negara atau masyarakat tak kan mungkin berada pada tingkat kesamaan yaitu menjadikan kelas kaya semua atau sebaliknya miskin semua. Hanya saja bagaimana setiap individu merasakan kemakmuran bersama. Karena sesuai teori Marx bahwa suatu masyarakat tanpa kelas yang terdiri dari para penghasil yang bebas dan sama kedudukannya. Inilah yang merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh tindakan kaum komunis, yaitu suatu masyarakat komunis.
            Penting di ketahui apakah yang dimaksudkan dengan istilah ‘suatu masyarakat tanpa kelas’. Ini tidak berarti bahwa tidak akan ada perbedaan-perbedaan sama sekali dan, mislanya, setiap orang dapat menjadi seorang insinyur hanya karena berangan-angan begitu. Tetapi perbedaan-perbedaan itu tidak akan didasarkan atas alasan-alasan di bidang ekonomi, yaitu didasarkan atas bagan penghisap dan yang dihisap. Pengertian kelas sebagaimana yang dipakai oleh Engels dan Lenin berhubungan dengan ekonomi.  Di dalam masyarakat tanpa kelas, semua orang akan bekerja dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan mereka dan akan memperoleh hasil sesuai dengan kebutuhan mereka. Apa yang akan diperoleh seseorang tergantung pada kebutuhan-kebutuhannya, dan bukan pada apakah ia memiliki suatu pabrik atau sekedar bekerja di dalamnya.[3]
            Analisis sastra Marxis di atas menunjukkan, bahwa elemen-elemen tekstual novel Gadis Pantai karya Pramoedya sangat inspiratif bagi keinginan untuk memberontak terhadap ketidakadilan sistem ekonomi. Perbedaan kelas sosial di dalamnya tidak ditampilkan sebagai perbedaan sejajar, tetapi membentuk sebuah relasi hierarkis yang memberikan ruang besar bagi kelas sosial yang kaya untuk menguasai kelas sosial yang miskin. Barangkali aspek-aspek itulah yang menjadi pertimbangan Orde Baru melarang novel ini dibaca publik pada 1987, karena dinilai menyebarkan nilai-nilai Marxisme-Leninisme. Simbolisme konflik kelas sosial dalam novel ini bukanlah sesuatu yang sudah benar-benar lampau dan sulit dicari jejak-jejak kontemporernya. Konflik semacam itu akan terus mewarnai dunia dan karya semacam itu dapat mencari acuan aktualnya jika berangkat dari keyakinan Karl Marx, bahwa manusia senantiasa selalu berada dalam pusaran konflik selama relasi sosial selalu dimaknai sebagai relasi ekonomi.[4]
            Meski sebenarnya teori Marxis mendekati kelapukan tapi teori-teori Marx masih efektif sebagai dasar pijakan untuk kaum buruh di seluruh dunia yang hidup dalam ketertindasan dan penghisapan-penghisapan oleh suatu sistem sosial ekonomi yang terus berkembang kian melesat. Ada banyak penghisapan tentunya dalam setiap lorong hidup manusia di manapun berada, cuma kita sadar atau tidak bahkan kita berani atau tidak melawan itu semua. Tentu keberanian bukanlah sesuatu hal yang datang secara tiba-tiba, ia datang tidak seperti hantu Jelangkung, datang tidak di undang pulang juga tidak di antar. Keberanian ada dan datang melalui proses perjuangan panjang dengan segala daya upaya yang berdarah-darah. Dan jika Pramoedya pernah mengatakan bahwa ia bukan Marxis, tentu boleh saja tapi setidaknya apa yang telah ia torehkan karya emasnya dalam dunia sastra tak lepas dari kenyataan situasi dan kondisi masyarakat yang hidup dalam kemiskinan, ketertindasan, bahkan penghisapan. Wallahu a'lam bish-shawabi.

Bangilan, 14 Pebruari 2017.
*Penulis aktif di Komunitas Kali Kening Bangilan






[1] Sainul Hirmawan,Ragam Aplikasi Kritik Cerpen Dan Novel (Banjarmasin: Tahura Media, 2009), hlm. 71.
[2] Sainul Hirmawan,Ragam Aplikasi Kritik Cerpen Dan Novel (Banjarmasin: Tahura Media, 2009), hlm. 73-75.

[3] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana Yogya, 2004). Hlm. 418.
[4] Sainul Hirmawan,Ragam Aplikasi Kritik Cerpen Dan Novel (Banjarmasin: Tahura Media, 2009), hlm. 88.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.