PENJAJAH NEGERI IKAN
Oleh :
Adib Riyanto
Sungai
itu mendadak berbau anyir, terkadang warnanya berubah merah seperti darah.
Orang-orang dusun yang tadinya menggantungkan hidup pada sungai itu, kini
perlahan meninggalkannya secara teratur. Para ibu tak lagi mencuci pakaian
suami dan anak-anak mereka di sana. Begitupun anak-anak kecil, tak ada satu pun
dari mereka yang bermain di bantaran sungai dengan derai tawa. Sungai itu
benar-benar sepi sekarang. Orang-orang pergi meninggalkannya. Bahkan penduduk
dusun tak ada yang sudi walau sekedar membuang hajatnya di sungai itu.
* * *
"Ini
rejeki yang tak disangka-sangka Rom," Ujar Rasijan setengah berbisik pada
adiknya. Romli. Bagaimana tidak, saat mereka nyuloh ikan di sungai malam itu,
sepulang mengaji di musholla Al-Mubarok yang berada tak jauh dari sungai,
ditemani rembulan yang berada dalam bentuk sempurnanya, yang bulat seperti
biskuit bayi, dan lampu senter yang dipasang sedemikian rupa di kepala, mereka
melihat banyak ikan yang menepi. Ikan-ikan wader berputar-putar layaknya sedang
kesurupan, atau mungkin sedang mabuk selepas berpesta di bawah naungan cahaya
purnama, begitupun dengan ikan-ikan lele, gabus, serta udang-udang kecil.
Ikan-ikan itu bergelepakan. Bahkan sebagian ada yang melompat-lompat dan
tergeletak di daratan. Mulut ikan-ikan itu komat-kamit seperti merapalkan mantera,
atau mungkin sedang berdoa agar selamat dari tangkapan Romli dan Rasijan.
Entahlah hanya mereka, Tuhan, serta teman-teman sesama ikan yang tahu-itupun
jika ikan-ikan yang lain masih peduli dengan keadaan teman sesama ikan karena
mereka tengah sibuk dengan diri mereka masing-masing.
Suasana
sungai yang biasanya gelap, sunyi, damai dengan gemericik air, juga nyanyian
merdu katak-katak yang tengah asyik memadu cinta dengan kekasihnya, menjadi
begitu riuh malam itu. Satwa-satwa malam bersenandung sendu, menyanyikan
lagu-lagu perpisahan pada ikan-ikan yang menunggu takdir mereka yang mungkin
akan berakhir di penggorengan. Juga gesekan-gesekan daun-daun bambu yang tak
henti-hentinya memainkan perannya sebagai komponis-yang memainkan lagu-lagu
melankonis, membuat suasana menjadi mencekam bagi bangsa ikan karena melihat
malaikat maut tengah menari-nari di cakrawala. Malam itu seolah menjadi bencana
bagi bangsa ikan yang tidak pernah di alami oleh nenek moyang mereka tapi
merupakan sebuah anugerah bagi Romli dan Rasijan.
"Iya
kang, ini memang rejeki yang tak disangka-sangka, aku belum pernah melihat ikan
sebanyak ini." Jawab Romli sumringah sembari menangkapi ikan dengan
sesernya. "Biar nanti emak yang akan memasaknya, nanti aku akan meminta
emak membuatkan peyek udang kang, pasti enak." Lanjutnya bersemangat.
"Kalau
aku mau dibuatkan oseng-oseng wader Rom." Rasijan berujar.
"Wah,
itu pasti enak kang. Apalagi kalau pake nasi jagung ditemani sambel terasi,
hmm... pasti sangat lezat." Romli menimpali. Lalu kedua kakak beradik itu
hanyut dalam perasaan bahagia sembari menangkapi ikan-ikan yang tengah pusing
itu.
Bukan
tanpa alasan mereka teramat bahagia melihat begitu banyak ikan yang berhamburan
seperti itu, baru setengah jam saja berkutat pada seser di tangan kanan mereka,
seember besar yang mereka bawa dari rumah sudah berjejalan dengan ikan yang
menunggu untuk dicincang. Itu pemandangan yang teramat langka, karena terakhir
kali mereka melihat ikan semelimpah itu, sudah sekitar lima belas tahun yang
lalu saat budak-budak rantau sedang senang-senangnya merenggut hak-hak hidup
para ikan dengan potas saat pulang ke kampung halaman. Memang tidak semuanya,
tapi sebagian besar memang seperti itu. Biasanya saat buih-buih kemarau di
hembuskan oleh angin kering bulan oktober dan menetap sejenak di kampung
halaman mereka, karena saat itu aliran sungai akan sedikit mengering dan
memudahkan para penduduk dusun untuk menangkap bangsa ikan.
Sejak
saat itu tak ada lagi satupun ikan yang muncul ke permukaan. Mereka seolah musnah,
hilang ditelan bumi. Burung-burung Tengkek urang, tengkek buto, sri mbombok
serta burung-burung lain-yang sudah lama menghuni bantaran sungai itu melakukan
migrasi besar-besaran karena kehilangan makanan favoritnya, bangsa ikan.
Tak
ayal, pagi yang biasanya riuh oleh senandung burung-burung, kini menjelma sepi.
* * *
Keesokan
harinya, kabar itu telah menyebar ke seluruh pelosok dusun. Para penduduk
berduyun-duyun pergi ke sungai untuk menangkap ikan-ikan yang berhamburan atau
- katanya tengah mabuk selepas berpesta. Tapi bukankah hal itu sudah tak
penting lagi bagi penduduk dusun? Yang mereka tahu semesta sedang bermurah hati
pada mereka.
Para
petani meninggalkan sawah-sawahnya,
begitupun dengan para pedagang, Pegawai Negeri Sipil, serta berbagai
profesi yang digeluti para penduduk dusun. Pasar tanpa transaksi jual beli,
kantor-kantor pemerintahan dibiarkan melompong, sekolah-sekolah, juga tempat
ibadah menjelma tempat tak berpenghuni. Mereka meninggalkan pekerjaan serta
kewajibannya masing-masing dan lebih memilih mencari ikan yang melimpah di
sungai yang mengular membelah dusun. Bahkan ada yang membuat tenda-tenda di
sepanjang bantaran sungai. Sungai itu menjelma pasar yang selalu ramai. Sangat
riuh oleh tawa bahagia para penduduk dusun.
Sementara
itu di negeri ikan, sang penguasa sungai-yang tak lain adalah seekor ikan lele
raksasa mulai cemas dengan keadaan rakyatnya. Desas-desus yang menyebar di
negeri itu, musibah yang menyebabkan kematian massal di negeri itu di sebabkan
oleh cairan berminyak yang menutupi permukaan air. Warnanya terang seperti
pelangi saat sinar hangat sang baskara menyentuh lembut permukaannya, lalu
warna itu akan menari-nari di atas permukaan air, mengikuti harmoni yang
dimainkan semesta; suara gemericik air, riak-riak kecil, gesekan merdu rimbunan
bambu, serta nyanyian riang burung-burung yang menghuni bantaran
sungai-nyatanya mampu membius rakyat ikan untuk mengikuti warna itu, warna yang
lebih mirip dengan selendang bidadari.
Warna-warna
indah itu kemudian menjadi petaka bagi rakyat ikan. Saat mereka mulai terlena
dengan warna-warna yang menari-nari di permukaan air para ikan tak mampu lagi
menahan diri untuk tak mendekatinya. Mereka berenang perlahan mendekati warna
indah itu untuk merengkuhnya dan saat itulah selendang bidadari itu menjadi
warna coklat yang teramat pekat, membuat mata para ikan yang mendekatinya
menjadi gelap, mual, dan insang mereka menjadi pengap lalu satu persatu dari
mereka tumbang.
"Benarkah
seperti itu paman patih?" Tanya penguasa sungai pada sang patih yang merupakan ikan gabus.
"Ampun
Tuanku, memang benar demikian bahkan efek yang ditimbulkan lebih berbahaya dari
potas yang ditebar penduduk dusun beberapa tahun silam tuan."
Sang
raja ikan bangkit dari singgasananya, matanya mendongak ke atas, pada permukaan
air yang memang terlihat indah jika dilihat dari bawah.
"Cari
tahu apa yang terjadi di hulu sungai paman, kalau perlu bertanyalah pada
kerajaan di hulu sungai ini."
"Sendiko
dawuh tuanku." Sang patih berlalu pergi untuk melaksanakan tugas yang
diberikan raja kepadanya.
Hari
telah berganti, minggu berlalu, dan bulan-bulan telah ditanggalkan. Raja mulai
cemas karena tak terdengar satupun kabar dari sang patih, sementara itu warna
pelangi yang mengalir di permukaan sungai menjadi coklat dan semakin tebal dan
kental. Sangat kental. Bahkan cahaya mentari tak mampu lagi menembusnya, negeri
ikan diliputi kegelapan dan rakyat ikan semakin banyak yang berguguran. Senja
yang indah menjadi hal yang paling dirindukan oleh raja ikan. Senja jingga yang
menawarkan keteduhan itu kini telah sirna.
Semakin
hari rakyat ikan semakin berkurang, hanya tersisa beberapa puluh ekor ikan
wader serta belasan ikan gabus dan lele yang bersembunyi di lubang-lubang batu
di dasar sungai. Mereka tak punya pilihan selain bersembunyi jika tak ingin
sekarat seperti kawan-kawan mereka yang lain dan kemudian ditangkap oleh
penduduk dusun. Ikan-ikan itu benar-benar tak berani untuk keluar dan berenang
ke permukaan. Mereka diliputi ketakutan yang teramat sangat.
Tapi
seperti apapun ikan-ikan itu bersembunyi, tak lantas membuat cairan di
permukaan sungai melepaskan mereka. Entah bagaimana caranya cairan yang tadinya
lebih mirip pelangi yang teramat indah itu bisa menjangkau lubang-lubang batu
di dasar sungai dan membuat ikan-ikan itu terkulai lemas lalu sekarat menemui
ajal mereka.
Raja
ikan mulai frustasi karena hanya dia yang tersisa. Kemudian ia memutuskan
berenang ke hulu sungai untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ia
menyusuri sungai yang tak lagi jernih, sedangkan cairan berminyak itu bertambah
pekat. Ia tak bisa melihat apapun yang ada di hadapannya, tak jarang kepalanya
terantuk batu. Sang raja ikan benar-benar sudah terlalu payah untuk melanjutkan
perjalanannya, matanya berkunang-kunang dan siripnya sudah teramat lelah. Ia
mendongak keatas, dan tak ada apapun yang bisa dilihat. Hanya pekat yang
teramat sangat.
Sementara
itu di sepanjang bantaran sungai, satu per satu penduduk mulai meninggalkan sungai
karena tak ada lagi ikan-ikan yang muncul, air sungai yang digunakan untuk
mandi dan mencuci serta aktifitas lainnya juga menjadi gatal dan berubah merah
seperti darah, kadangpula berbau anyir. Banyak penduduk dusun yang menderita
penyakit gatal-gatal. Lalu satu persatu dari mereka membongkar tenda-tenda yang
mereka dirikan sejak beberapa bulan lalu. Para petani kembali menggarap
sawahnya, pedagang kembali berjualan di pasar, begitu pula para Pegawai Negeri
serta penduduk yang lain, mereka kembali beraktifitas seperti tidak pernah
terjadi apapun di dusun itu.
Penulis
adalah anggota Komunitas Kali Kening Bangilan, Februari 2017
Tidak ada komentar