IBU, AKU RINDU....
Oleh : Linda Tria Sumarno
Sekar gambuh
ping catur
Kang cinatur
polah kang kelantur
Tanpa tutur
katula-tula katali
Kadaluwarsa katutuh
Kapatuh pan dadi
awon
Suara parau itu terdengar lirih
membelah malam yang sunyi, melagukan sebuah tembang yang selalu ia dendangkan setiap
malam untuk cucu semata wayangnya. Sesekali terdengar suara jangkrik memecah keheningan
mengalunkan melodi sumbang. Di dalam rumah tua yang terletak di daerah berbukit
itu, terlihat wajah si kakek yang berkerut tertimpa sinar lampu minyak yang
sesekali apinya bergoyang tertiup angin. Ia belai lembut kepala cucunya yang
bersisik. Sesekali dikibatkan tangan rapuh si kakek untuk menghalau nyamuk yang
mulai berduyun-duyun datang seumpama rombongan sirkus yang siap untuk beraksi.
Entah karena musim penghujan yang membawa nyamuk-nyamuk itu berkunjung atau karena
rumah berlantai tanah yang minim penerangan yang membuat nyamuk-nyamuk itu
betah berlama-lama. Sedang si nenek duduk di pojok ambin meluruskan kaki tuanya
yang lelah seharian menanam jagung di ladang tuan tanah di dusun itu sambil
melipat baju-baju yang baru kering sore tadi. Terlihat cucu si kakek termenung
menatap genteng rumahnya yang berlubang hingga sinar rembulan menerobos masuk
dan memantulkan sinarnya lewat bola matanya yang berwarna keruh.
“Ngger 1), tahukah kau arti dari tembang yang kakek lagukan ini?” si kakek menatap
lembut wajah bulat cucunya.
“Apa artinya kek ?” Anak lelaki itupun merebahkan
kepalanya di pangkuan sang kakek.
“Dalam hidup ini ngger,
jika tertutup hatimu oleh nasihat, akan salah langkahlah dirimu. Karenanya
selalu berluas hatilah,” sang kakek memegang erat tangan cucunya. Pandangannya
menerawang ke atap rumah, teringat olehnya anak perempuan satu-satunya yang pergi
merantau dua bulan setelah kelahiran anaknya dan tanpa pernah sekalipun pulang.
Juga menantunya yang raib sebulan setelah anak laki-lakinya lahir. Terlihat air
mata menggunung di sudut matanya yang keriput.
“Iya, Kek. Gigih akan selalu ingat pesan kakek.”
“Oya Kek, kapan ayah dan ibu pulang?” anak laki-laki
berumur tujuh tahun itu menatap lembut wajah kakeknya. Terlihat sang kakek melenguh
panjang, tak dihiraukan pertanyaan cucunya yang sudah entah keberapa kalinya
dilontarkan namun selalu juga tak berjawab. Cucunya pun kembali terdiam sambil
mengedip-ngedipkan matanya, seolah ia tahu pedalaman hati si kakek. Kembali
kakek menembangkan tembang macapat Sekar
Gambuh hingga si cucu terlelap dalam kerinduan yang teramat akan sosok ibu
dan ayahnya.
***
Suara beduk subuh baru saja berlalu
saat anak laki-laki itu mengangsu di sumur kembar, sumur satu-satunya yang ada
di dusunnya. Entah apa yang membuat warga menyebutnya sumur kembar, padahal
sumur itu menganga seorang diri. Dan dusun yang terletak sekitar 20 km dari
pusat kecamatan itu memang dusun yang kering. Bahkan menggali sampai kedalaman
20 meterpun setetes air masih enggan untuk keluar. Pelan-pelan Gigih menarik
tali tampar yang terkait dengan timba sumur. Terdengar suara berderit dari
engsel berkarat tempat tampar itu mengaitkan beban.
Dua jun 2) yang ia bawa telah penuh
berisi air. Pelan-pelan ia bawa satu persatu jun itu menuju rumah kakeknya yang terletak sekitar setengah kilometer
dari sumur. Sedang di dapur, sang nenek sibuk meniup kayu rencek 3) yang berjejalan di pawon 4)
dengan api yang sesekali padam oleh angin dan kembali menyala karena tiupan
dari mulut si nenek, asap berebutan keluar dari atap rumah yang hanya setinggi
tiga meter itu, membuat perih tiap mata yang tersaput olehnya.
Dan sang kakek, yang sudah hampir seminggu ini
kakinya basah oleh luka yang tak kunjung kering, hanya tergeletak di ambin
sambil menghisap dalam rokok kreteknya. Matahari mulai terlihat di ufuk timur
saat Gigih meletakkan jun di dekat ambin
kakeknya.
“Tong sudah terisi separuh air kek, Gigih tidak kuat
lagi menimbanya. Biar nanti pulang sekolah Gigih isi lagi,” Gigih berkata
sambil mengelap luka di kaki kakeknya yang terus mengeluarkan darah dan nanah
yang baunya menusuk hidung. Dan tanpa rasa jijik, Gigih terus saja mengelap
luka itu hingga darah yang mengering dan mengalir benar-benar hilang dari kaki
si kakek. Kemudian membebat luka itu dengan sobekain kain yang diperolehnya
dari sarung kakeknya yang mulai mengepir.
“Iya le 5), itu sudah cukup sampai nanti sore. Maafkan kakek tidak bisa
membantumu, sekarang mandilah dan segeralah berangkat sekolah. Jangan lupa
sarapan.”
“Iya, Kek.” Gigihpun segera membersihkan diri dan
menyiapkan perlengkapan sekolahnya. Diambilnya
piring yang terbuat dari seng di rak bambu yang terletak di sudut dapur yang
kaki penyangganya mulai doyong karena dimakan rayap. Dilihatnya nasi sebakul
dan sambal trasi sudah tersedia di meja, tanpa secuil pun lauk tersaji. Dengan
lahap ia makan sambil sesekali melirik neneknya yang sibuk membersihkan dandang
yang warnanya hampir mirip cairan cumi-cumi. Selesai sarapan bergegaslah Gigih
berpamitan dan mengayunkan kaki kecilnya menuju sekolah dengan tas punggung yang
benang-benangnya mulai semburat, menjuntai dan tertiup angin seiring langkah
kaki kurusnya yang semakin meruncing.
***
Matahari
tepat di atas kepala saat sebuah mobil berwarna merah darah itu berhenti di
depan rumah kakek Gigih. Dari dalam mobil, keluar seorang perempuan dengan
rambut terurai yang berwarna kecoklatan saat tertempa sinar matahari, kaca mata
hitam lebar menggantung di hidungnya yang runcing. Bibirnya terlihat penuh oleh
lipstik yang berwarna merah jambu dan kaki rampingnya berkilauan terkena sinar
matahari. Dengan ragu dilangkahkan kedua kakinya menuju rumah dengan dinding
bambu yang mulai melapuk karena gerusan air hujan. Diketuknya daun pintu yang
setengah terbuka. Bau apek langsung tercium oleh hidung runcing perempuan itu
saat ia coba buka daun pintu itu lebih lebar. Diedarkan pandangannya ke
sekeliling ruang tamu yang hanya ada satu kursi panjang kayu mahoni dan meja
plastik yang sudah tidak karuan warnanya. Seketika matanya tertuju pada sebuah
bingkai foto yang terbuat dari kardus bekas yang tertempel di dinding, nafasnya
tertahan dan air matanya mengalir membasahi pipinya yang merona saat dilihatnya
gambar di bingkai foto itu. Belum sempat ia menghapus air matanya, seorang
perempuan renta keluar dari bilik kamar yang hanya bertutupkan tirai kelambu. Segera
perempuan muda itu menyambut dan bersujud memeluk kaki perempuan renta itu.
“Mak.....” Dipeluknya erat kaki tua itu sambil
menumpahkan semua air mata yang disimpannya selama bertahun-tahun. Mata rabun
perempuan tua itu membelalak, memandang perempuan muda dihadapannya yang serasa
tidak asing di matanya. Bau harum yang keluar dari tubuh perempuan muda itu
membuat hidung si nenek bergerak tak karuan.
“ Kamu siapa?” perempuan renta itu mengernyitkan
dahi.
“Ini Lestari, Mak. Lestari. Anak Emak” Perempuan
bernama Lestari itu berdiri.
“Lestari, kau Lestariku yang hilang, benar kau
Lestari. Kau pulang, ndhuk. 6)” Perempuan tua itu memeluk tubuh Lestari erat.
Tumpahlah tangis keduanya. Dituntunnya tubuh anaknya itu dan didudukkannya.
Dipegangnya wajah anaknya yang tujuh tahun ini pergi dan hanya uangnya saja
yang pulang. Mata tuanya memandang tajam wajah dan pakaian anaknya.
“Kau cantik sekali, ndhuk. Kemana saja kau selama ini?”
“Lestari di Jakarta, Mak. Kerja di sana. Cari uang.
Ini Lestari bawa oleh-oleh untuk emak, bapak, juga Gigih.” Lestari mencium tangan
emaknya bertubi-tubi dan diambilnya tas hitam besar yang tergeletak di tanah.
Terlihat tangannya sibuk memilah-milah barang bawaannya.
Mendengar suara gaduh di luar, lelaki tua yang
tergeletak di ambin kamar itupun memaksakan diri keluar. Diseretnya paksa kakinya
yang masih saja terus meneteskan darah dan nanah yang terbalut kain.
“Siapa, Mbok,” lelaki tua itu memandang tamunya
tajam.
“Bapak.....,” setengah berlari Lestari mendapatkan
bapaknya. Ingatan yang masih tajam membuat lelaki tua itu mudah untuk mengenali
perempuan dihadapannya. Namun belum sempat Lestari meraih tangan bapaknya,
lelaki tua itu menghardiknya keras.
“Untuk apa kamu pulang,” suara tua itu bergetar,
matanya menyala menyimpan amarah yang dalam.
“Maafkan Lestari, bapak. Lestari sudah durhaka,”
Lestari menangis bersimpuh di kaki bapaknya, emaknya yang sedari tadi duduk
mencoba membangkitkannya sambil terisak
“Biarkan saja dia, Mbok.” Lelaki tua itu memandang
tajam istrinya.
“Tapi dia anakmu, Kang. Anak kandungmu, sekarang dia
pulang.”
“Anak yang tak tahu malu, tidak pantas dia disebut
sebagai anak, Mbok.”
“Bapak, maafkan Lestari. Selama ini Lestari
menghilang bukan karena melupakan bapak, simbok, juga Gigih. Tapi Lestari
bekerja keras di Jakarta, Pak.”
“Menjadi pelacur. Parmin sudah menceritakan semuanya. Dia melihatmu di
Kalijodo, bahkan juga sempat menidurimu” Lelaki tua itu meludah tepat di
samping Lestari. Terlihat air mata Lestari semakin deras. Memang benar, selama
ini Lestari menjadi wanita penghibur di salah satu wisma di Kalijodo. Dan Parmin,
tetangga dusunnya yang bekerja di Jakarta pernah menjadi pelanggan tetapnya.
“Dan uang yang selalu kamu kirim itu, sudah habis ku
bakar.” Lestari terhenyak mendengar perkataan bapaknya, matanya membelalak.
“Kenapa pak ? Bukankah bapak memerlukan biaya untuk
menghidupi anak Lestari. Kenapa dibakar?”
“Gigih tidak membutuhkan uang hasil melacur. Yang
hanya akan meracuni darah juga dagingnya.” Lelaki tua itu berkata tanpa melihat
sedikitpun kearah Lestari.
“Maafkan Lestari, Pak. Lestari tidak punya pilihan
lain.”
“Apa bapak juga emakmu ini pernah mengajarimu untuk
melacur?”
Lestari semakin terisak, baju putihnya terlihat
basah oleh air mata.
“Lestari tidak punya pilihan lain, Pak. Setelah Kang
Karjo, bapak Gigih minggat dengan wanita lain. Sakit hati Lestari, Pak. Lestari
harus menghidupi Gigih seorang diri.”
“Sudahlah Kang, maafkan Lestari. Bagaimanapun juga
dia anakmu, darah dagingmu sendiri.” Emak Lestari memegang kuat tangan lelaki
tua itu.
“Tidak ada ampun untuk anak seperti dia.” Lelaki tua
itu berkata dengan suara datar.
“Maafkan Lestari, Pak. Dan ijinkan Lestari bertemu
dengan anak Lestari. Lestari sangat merindukannya. Kemana dia, Pak?” Mata
Lestari berputar mencari sosok anaknya.
“Untuk apa kamu mencari anak yang telah kamu telantarkan
dan bahkan belum sempat melihat wajahmu. Ingat kau sama anakmu ?”
“Bukan maksud Lestari menelantarkannya dan bagaimana
bisa Lestari melupakannya, pak. Lestari yang mengandung dan melahirkannya.”
“Seorang ibu, tidak akan pernah tega membiarkan bayinya
menangis mencari susu ibunya. Kecuali ibu itu tidak mempunyai hati. Pergilah
sebelum Gigih melihatmu, aku dan emakmu tidak butuh kedatangan dan kehadiranmu,
begitupun Gigih. Dan berhenti untuk selalu mengirim uang. Kamu pikir tidak
cukup kuat tangan tuaku ini menghidupi anakmu.” Lelaki tua itu semakin meradang,
dikemasinya barang-barang Lestari dan dilemparkannya ke luar. Diseretnya
Lestari yang masih terduduk di lantai tanah rumahnya. Emak Lestari menangis
tersedu memegangi kaki rapuh suaminya. Dan tiba-tiba Gigih muncul di ambang
pintu, tangan kanannya memegang tas sekolahnya yang bergambar Ultramen.
“Ada apa, Kek. Siapa dia?” Gigih mematung di ambang
pintu. Lestari berlari dan memeluk Gigih. Dada Gigih terasa sesak karena
pelukan yang begitu erat. Belum hilang keheranan Gigih, tangan kurus kakeknya
menarik tubuhnya menjauhi Lestari.
“Gigih, ini ibu Nak. Kemari Nak, peluk ibu.” Lestari
terjatuh di tanah. Seketika nafas Gigih terhenti, matanya berkilau memandang perempuan
di hadapannya.
“Ibu, ini ibu Kek.” Gigih menangis memandangi
kakeknya, ia coba berlari mendekati ibunya namun tangan kakeknya mencengkeram
kuat krah bajunya. Kakinya meronta-ronta hingga tanah yang diinjaknya terburai
menyesakkan tenggorokan.
“Kenapa Kek, kenapa Gigih tidak boleh memeluk ibu.
Gigih kangen, Kek. Gigih ingin dipeluk ibu.” Mata sayu Gigih memandang iba
kakeknya. Air matanya membasahi pipinya yang tirus. Neneknya yang sedari tadi
bersimpuh mendekatinya dan memeluknya erat.
“Dia bukan ibumu, Gigih. Kakek dan neneklah orang
tuamu.” Lelaki tua itu berkata dengan tegas.
“Tapi Kek, Gigih ingin ikut ibu. Gigih kangen ibu,
Kek.”
“Diam, Gigih. Jangan melawan Kakek.” Mata lelaki tua
itu memandang tajam Gigih. Seketika tubuh Gigih mengecil. Belum pernah
sekalipun kakeknya semarah itu.
“Gigih, maafkan ibu, Nak.”
“Ibu....” Gigih menangis tersedu.
“Pergi kau, sebelum kakiku ini menendang dan melukai
tubuhmu. Pergi......” lelaki tua itu meradang dan menyeret tubuh Lestari ke
luar rumah. Gigih meronta dari pelukan neneknya dan berlarilah ia memeluk
ibunya. Tangan kurusnya memegang erat leher ibunya. Belum sempat Lestari
membalas pelukannya, lelaki tua itu mengambil Gigih dan menggendongnya. Gigih terus meronta. Namun tenaganya yang
lemah membuatnya terkulai dalam gendongan kakeknya.
“Pergi dan jangan pernah kembali lagi. Pergi.....”
lelaki tua itu terus menyeret Lestari keluar. Lestari terduduk di jalan di
samping mobilnya. Dilihatnya dengan pandangan nanar punggung bapaknya dan tangan
anaknya yang terus melambai dalam gendongan kakeknya. Secepat kilat, lelaki tua
itu mengunci pintu dari dalam. Gigih dan emak Lestari terus meraung. Teriakan
Gigih yang memanggil-manggil Lestari membuat hati Lestari tersayat. Dipandanginya
Gigih dari balik jendela kaca rumahnya. Dengan cepat ia hapus air mata yang
membuat basah pipinya, segera Lestari menaiki mobilnya serta perlahan-lahan
meninggalkan rumah orang tuanya. Sedang Gigih, terus saja meraung dan melihat
mobil ibunya yang terus menjauh dan menjauh hingga hilang dari pandangan
matanya. Dadanya pun terasa sesak oleh tangis yang menghebat higga akhirnya
terkulai lemas di lantai tanah rumah kakeknya.
***
Bangilan, 25
Pebruari 2017
Penulis adalah
anggota Komunitas Kali Kening.
----------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------
Catatan kaki :
1. Ngger :
sebutan untuk anak laki laki yang masih kecil
2. Jun : tempat
untuk mengambil air yg terbuat dr tanah
3. Rencek :
ranting pohon kering untuk memasak
4. Pawon :
tempat memasak yg biasanya dengan dua lubang yg terbuat dr tanah
5. Le :
panggilan untuk anak laki laki
6. Ndhuk :
panggilan untuk anak perempuan
Tidak ada komentar