Header Ads

Header ADS

SEKAR WARDHANI (1)



Oleh : Linda Tria Sumarno

Awan gelap mulai berarak-arakan di langit desa Bangillan seakan hendak memuntahkan jutaan kubik air. Tiap-tiap sudut jalan terlihat sepi. Penduduk berbondong-bondong meringkaskan tubuhnya di dalam rumah atau hanya sekedar meminum segelas teh hangat untuk mengusir rasa dingin. Namun, lain halnya dengan rumah Ki Setra yang sore itu terlihat ramai. Halaman rumahnya dikelilingi tali berbentuk bujur sangkar dengan masing-masing sisi enam meter dengan tinggi 1,5 meter. Masing-masing sisi diberi janur kuning, berjajar apik seumpama barisan penari yang siap untuk melenggang, di tengah-tengah sisi sebelah barat dan timur tertancap gagar mayang setinggi kurang lebih 2 meter dengan dihiasi kertas empat warna; hijau, kuning, merah dan putih, juga lepet dan kupat tergantung yang diyakini mampu menolak balak. Obor berjajar dengan sumbu di atasnya. Sebuah arena pertunjukan Sandur yang disebut dengan Blabar Janur Kuning. Sebuah pertunjukan yang mampu mengusir sejenak gundah para warga karena tarif listrik yang melangit dan panen yang gagal karena banjir menyapu habis padi mereka.
Orang-orang dengan pakaian serba hitam lalu lalang menata kendang, kempul, gong bumbung juga obor. Di dalam rumah, seorang laki-laki paruh baya dengan bentuk wajah tirus dan gurat keras juga kumis lebat di atas bibirnya yang tebal sibuk menyiapkan uba rampe untuk pertunjukan nanti malam, dialah Ki Setra seorang pemimpin sandur yang biasa disebut germo. Sebuah seni budaya warisan leluhur yang turun temurun, dan Ki Setra adalah turunan ke enam yang mendapat tugas untuk menjaga dan melestarikannya.
Terlihat ki Setra menyudahi menata uba rampe dan mendekati perempuan muda yang sibuk merias empat bocah laki-laki yang belum pun baligh.
 “Sekar, malam hampir tiba. Jangan lupa obor juga dupa harus kamu siapkan. Anak-anak rias sebaik mungkin, jangan buat leluhur murka karenanya”.
“Iya Kang. Dupa sudah Sekar siapkan dan Sekar taruh di ambin depan, untuk obor sudah Rukin tancapkan di halaman ”.
Ki Setra tidak menjawab, hanya matanya yang berkedip, kumisnya terlihat berayun oleh hembusan nafas keras yang keluar dari lubang hidungnya yang lebar. Sambil sesekali batuk dan meludahkan liur yang bercampur darah.

                                                                        ***

Malam mulai merangkak, menggagahi pohon, sungai, batu juga tiap-tiap pucuk daun yang membisu. Langit kembali cerah setelah Ki Setra berdiri mematung di bawah pohon waru sambil komat-kamit membaca mantra. Sedang rembulan, dibiarkannya telanjang memantulkan sinarnya pada wajah-wajah kusut warga yang seharian lelah menjadi buruh tani, lelah oleh harga cabe yang kian meroket, pun lelah oleh tikus-tikus berandal pemakan daging manusia. Tak terlewat sinar rembulan dengan bentuknya yang sempurna memayungi rumah Ki Setra yang mulai riuh oleh suara kendang, kempul dan gong bumbung yang memekakkan setiap telinga. Bau dupa menembus tiap hidung hingga mengalirkan aroma mistis di malam purnama itu. Di pojok sebelah timur, terlihat Ki Setra membawa obor dengan mulut komat kamit berdiri mematung, di belakangnya empat bocah dengan jarit di kepalanya turut juga mematung. Nyanyian para panjak membius tiap-tiap kepala hingga tidak ada pandangan lain selain ke arah Ki Setra dan empat bocah di belakangnya; Balong, Tangsil, Pethak dan Cawik. Empat anak laki-laki belum sunat yang memerankan perjalanan hidup rakyat kecil sebagai petani. Suara nyanyian panjak makin terasa syahdu, mengundang segala yang berbau samar.

            Aja haru biru anak Adam gawe dolanan
            Dewa Widodari tumuruna ing Arca pada

Ki Setra melangkah dengan dada terbusung dan obor di tangan kanan, Balong, Tangsil, Pethak dan Cawik mengikuti langkah ki Setra mengitari para panjak yang duduk di tengah tengah arena dengan gagar mayang menaunginya. Ke empat bocah itu melela dengan tangan gemulai mengikuti alunan suara musik tradisional dengan memerankan tokoh masing-masing.
Dan malam semakin larut, hanya menyisakan bau dupa, menyan dan desahan dari tiap warga yang menonton pertunjukan Sandur.
Di ujung barat terlihat seorang pemuda berkulit bersih dengan sorot mata tajam menatap tiap gemulai para pemain juga pada Ki Setra, menelisik tiap-tiap arti yang tersirat dari adegan-adegan yang di luar nalar. Bejo yang berperan sebagai Gendruwo di pertunjukan tersebut melahap habis ayam mentah cemeng yang disediakan, juga mbah Waluyo yang sudah berumur hampir seabad terlihat meronta ronta dan berguling di atas tanah yang telah bercampur baur oleh darah ayam. Suara cekikikan warga membuat mbah Waluyo semakin beringas memakan menyan dan beling yang berada di atas tampah. Adegan mistis itulah yang paling ditunggu-tunggu oleh warga, menyirep dan menarik akal pikir mereka ke hal-hal gaib yang memang masih begitu mengakar kuat, sepertinya jaman modern pun tidak mampu menghilangkan kepercayaan metafisika para warga Bangilan meski pesantren mulai tumbuh menjamur dibeberapa tempat bahkan di pelosok desa sekalipun. Adegan kalongking yang dimainkan Rukin dengan meniti tali yang dipautkan di dua bilah bambu selesai tanpa cela, bahkan nyaris sempurna.
Dan pandangan pemuda yang dikenal dengan nama Teguh, beralih pada sosok perempuan manis dengan aura yang tak kalah mistis, senyumnya merekah tanpa henti, membius setiap mata yang memandang, rambutnya dibiarkan terurai juga bola matanya yang bulat memancarkan semangat yang tidak semua perempuan memilikinya . Dialah Sekar Wardhani, istri Ki Setra. Perempuan yang umurnya terpaut 20 tahun dengan Ki Setra. Istri ke empat setelah tiga istri sebelumnya dicerai karena tidak juga beranak.
“Sekar Wardhani,” gumam pemuda tersebut sambil terus melekatkan pandangannya pada tiap gerak tubuh istri Ki Setra.
“Perempuan semuda itu mau juga pada tua bangka bau tanah,” gumamnya sambil meludah.
 Sedang di pojokan langit, rembulan mulai beringsut. Malam mulai tahu diri untuk segera undur, beduk mulai bersahutan seiring suara seruan adzan subuh. Pertanda pertunjukan harus segera usai.

***

                                                                                                                                     
            Ki Setra menyulut tembakau dan menghisapnya dalam-dalam, pandangannya menerawang atap-atap rumah. Terlihat sawang menggantung di pojokan, juga di atas ambin tempatnya merebahkan tubuh. Diliriknya Sekar yang sedang memilah-milah brambang di atas tampah.
“Tikus memang hewan paling nggragas, melahap semua yang ada di depan matanya, tak terkecuali brambang yang sudah rapat kau simpan,” Ki Setra membuka suara, pandangannya tetap pada atap-atap rumah.
“Juga sawang-sawang ini, belum lama aku bersihkan sudah pula bersarang,” Ki Setra mengibaskan sarungnya untuk menghalau nyamuk yang ingin menghisap darahnya. Sekar hanya sesekali melirik suaminya tanpa berbicara sepatah katapun.
Segera Ki Setra alihkan pandangannya pada sumur tua di samping rumahnya yang di bangun oleh leluhurnya pada tahun 1948. Tepat sehari setelah kelahirannya.  
“Sekar, sumur di samping rumah, biarkan saja warga mengangsunya. Jangan pelit hanya untuk urusan makan, apalagi air. Yang dengannya orang bisa memanjangkan badan,” Ki Setra menarik kakinya yang geringgingan. Dipijatnya ujung jempol kakinya untuk meredakan geringgingannya.
“Iya Kang, jika air saja susah mereka dapatkan. Bagaimana dengan urusan perut mereka nanti,” Sekar berhenti dari keasyikannya, dipandangi suami yang telah menikahinya 3 tahun lalu. Sebuah perkawinan yang tidak diinginkan olehnya, namun ketakutan akan menjadi anak durhaka membuatnya menyerahkan hidupnya dalam sebuah persekutuan yang memenjarakan dirinya selama lamanya dengan laki-laki bau tembakau tersebut. Persekutuan yang dinamakan perkawinan.
“Sekar, aku adalah pewaris tunggal Sandur di dusun Talok ini, setelah sandur-sandur lain di dusun Mundri, Dopyak dan Jlaru telah tumpas oleh zaman. Kalau kau belum juga beranak, siapa yang akan mewarisinya nanti. Sedang orang-orang juga tak ada minat lebih untuk memahaminya  lebih jauh,”  Ki Setra melenguh panjang sebelum meneruskan kegusarannya.
“Sedang aku sudah begini tua, kemarin bapak Agus,  si Cawik itu, setelah pertunjukan sandur usai menemuiku. Dia bilang Agus mau sunat. Celaka buat kita, siapa yang akan menggantikannya nanti. Sedang anak-anak sekarang begitu susahnya untuk diajak bermain Sandur. Ada saja alasannya. Lagi-lagi teknologi telah merenggut masa kanak-kanak mereka,” Ki Setra meludah, ludahnya bau anyir karena bercampur dengan darah segar. Tembakau memang begitu cepat menggerogoti paru-parunya. Penyakit TBC bercokol kuat di tubuhnya. Dan tembakau tak juga lepas dari bibirnya yang tebal.
“Coba kau bicara dengan Kepala Desa kang, minta rapatkan warganya. Biar dibicarakan kelanjutan sandur ini, bagaimanapun Pak Dul Karmin kepala desa kita itu turut juga bertanggungjawab agar Sandur ini tetap berjalan. Bukankah dia juga Paklik mu Kang? Pewaris Sandurmu juga,” Sekar mengambil tempat di tepi ambin. Memijit kaki suaminya yang sudah seminggu ini terserang asam urat.
“Percuma, kau tahu sendiri siapa Pak Lik ku itu. Tukang korupsi, dana dari Pemerintah untuk pengembangan Sandur kita ini habis diembatnya. Dibuat judi dan main perempuan. Dari dulu Pak Lik tidak ada sedikitpun perhatian dengan Sandur, akhir-akhir ini dia sering bertamu ke sini dan menonton pertunjukan Sandur kita, itu tidak lain karena kau. Dia menaruh hati padamu, Sekar. Para sesepuh desa juga mulai memandang sebelah mata Sandur kita. Dibilangnya kita ini orang-orang yang bersekutu dengan setan, jin, iblis, demit. Padahal sejatinya tidak seperti itu. Belum lagi pengajian-pengajian yang mulai menjamur, membuat semakin sinis pandangan orang-orang berkopyah sama kita. Kecuali mereka yang lebih senang menyebut diri sebagai Islam abangan.” Ki Setra memijit dada menahan batuk karena terlalu lama bicara.
“Sekar, umurku sudah separo abad lebih, hampir enam puluh dua tahun. Sepertinya Tuhan tidak berkenan memberiku anak. Jadi, kaulah nantinya yang akan mewarisi dan meneruskan Sandur ini. Aku tidak ingin mendengar penolakanmu, Sekar. Kau boleh tidak mencintaiku, tapi jangan kau benci juga budaya leluhurmu. Itu sama artinya kau tidak mengakui ibu kandungmu sendiri. Sandur sudah menempati separo hatiku, selebihnya kaulah yang menempatinya”. Ki Setra memandang Sekar lekat, menggerayangi isi hati Sekar.
“Tapi kang, bagaimana bisa aku berdiri di tengah-tengah hiruk pikuk para lelaki sedang jalang matanya memandangku. Ditiap aku mendampingimu di pertunjukan Sandur, mereka menggerayangi tiap lekuk tubuhku dengan pandangannya yang liar. Seolah ingin menelan habis tubuhku. Belum lagi harus berhadapan dengan Teguh yang dari dulu menentangmu kang, terus saja berusaha memporak porandakan Sandur ini. Dibilangnya kita ini musyrik,” Sekar menghela nafas panjang. Pikirannya semrawut. Meloncat dari bumbu dapur yang habis diganyang tikus, meloncat ke sandur juga Teguh dan kini beralih pada suaminya.
Selama ini belum juga Sekar mampu mencintai suaminya, meski ia berusaha sekuat hati. Mungkin itu yang membuatnya belum juga beranak, atau Ki Setra yang memang sebenarnya mandul. Entahlah, Sekar tak ambil pusing masalah itu, masalah anak beranak.
“Kau perempuan tangguh Sekar, jangan kau mengutuki dirimu seperti itu. Kau pasti bisa lebih baik merawat Sandur kita. Membuatnya tetap ada. Juga pengetahuanmu itu, bisa kau andalkan untuk melawan mereka yang mencibir kita. Jangan biarkan para muda tidak mengenal budayanya sendiri, kamu rela pikiran mereka mati oleh hape juga oleh Carnopen yang biang keladinya ada di pojokan desa tetangga kita itu. Pengedar amatiran yang profesional. Belum juga polisi menggerebeknya. Apa tidak cukup, Roni bocah SMP bau kencur itu jadi korbannya. Apa menunggu anaknya sendiri yang jadi korban, baru meringkusnya. Apa susahnya merobohkan warung reot itu”. Ki Setra bersungut, tidak seperti biasanya Ki Setra berkata sebaik itu, mungkin inilah puncak dari kegelisahannya. Terlalu lama ia pendam gejolak hatinya terhadap banyak hal yang terjadi di desanya tersebut. Sebuah kemunduran dari jaman yang semakin modern. Modern hanya soal pengetahuan, peralatan dan perilaku tapi tidak dengan pola berpikir. Dan si Tikah tetangganya itu, yang baru pulang dari kerja babu di Jakarta, sudah pun berubah sikap dan cara berpakaiannya. Sudah seperti telanjang. Benar-benar membuat dongkol hati Ki Setra.
“Sudahlah Kang, kendurkan dulu pikiranmu, sudah waktunya minum obat. Jangan buat otakmu sakit dengan memikirkan masalah-masalah itu. Sekar ambilkan dulu obatnya,” Sekar hendak melangkah, namun tangan Ki Setra meraih pinggang rampingnya. Didudukkannya Sekar kembali. Dipandangi Sekar dengan lekat. Rambut yang menjuntai membuat Sekar terlihat lebih muda dari usianya, juga hidung runcingnya yang mengkilat karena keringat membuat wajah Sekar terlihat lebih segar. Perempuan muda itu memang mampu bangkitkan birahi Ki Setra, bahkan dalam keadaan sakit sekalipun. Diciuminya Sekar dengan membabi buta. Sekar gelagapan. Dan Sekar pun lagi-lagi harus pasrah dengan persekutuan itu.

***


            Sekar mondar mandir di dalam rumah, sesekali keluar dan memandang jalanan yang masih sepi. Jam masih pukul 04.30  pagi, namun Ki Setra sudah tidak ada di rumah.
“Tidak biasanya Kang Setra pergi sepagi ini dan tidak pamit pula,” Sekar duduk di ambin depan. Sesekali menyeka keringat dingin yang mengalir dari dahinya. Pikirannya semrawut. Dilihatnya jam dinding yang menggantung.
“Setengah sembilan,” gumam Sekar sambil terus mendesah. Ketiadaan Ki Setra benar-benar membuat Sekar cemas, meski ia tidak mencintainya namun pergi dengan tiba-tiba membuat Sekar panik. Apalagi tubuh suaminya belum membaik dari sakitnya.
Sekar akhirnya keluar rumah dan berjalan menuju warung kopi di pinggir jembatan. Tempat para warga berkumpul menciptakan peradaban dan bercerita lepas menumpahkan segala beban. Bicara tentang si anu yang terlilit hutang oleh renternir asal Batak yang bercokol di desa Bangilan yang bunganya bisa beranak cucu. Bicara tentang anak si fulan yang kerap menangis karena susunya di ganti dengan air tajin. Kadang juga membicarakan perempuan-perempuan simpanan mereka. Langkah Sekar mulai ragu saat dilihatnya gerombolan para lelaki sedang berkerumun menikmati kopi yang mungkin sudah tinggal ampasnya.
“Maaf Kang Tejo, apa Kang Tejo lihat Kang Setra?” Sekar menghampiri Tejo yang duduk dekat pintu warung kopi itu.
“Ki Setra? Maaf neng tidak tahu. Memangnya kemana Ki Setra?” Tejo balik bertanya pada Sekar.
“Tidak tahu kang, sejak subuh pergi belum pula balik”.
Tejo memandang kawan-kawannya bertanya dengan isyarat. Teguh yang berada di antara orang-orang di warung itu berjalan mendekati Sekar.
“Owh, kamu cari suamimu? Subuh tadi ku lihat dia berjalan ke selatan bersama Pak kepala desa”.
Teguh menatap lekat wajah Sekar. Menikmati keayuan wajah yang belum juga kena bedak sedari pagi. Sekar merasa risih dengan tatapan liar itu. Tanpa menjawab segera ia bergegas. Kenapa Pak Lik menjemput Kang Setra sepagi itu, mengapa juga harus pagi betul dan tidak pamit padaku? Batin Sekar sambil terus berjalan pulang mengambil motor dan menuju rumah kepala desa, Dul Karmin, sedang pintu rumah hanya ditutupnya tanpa sempat untuk menguncinya. Sesampainya di rumah Dul Karmin, Sekar tidak mendapatkan apapun kecuali rumah yang tertutup rapat. Diketuknya pintu beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Segera ia bergegas pulang dengan gerak cepat. Tak dihiraukannya sapaan orang-orang yang dilaluinya. Hatinya berdegup kencang seperti kendang yang ditabuh ketika pertunjukan Kalongking mulai, semakin cepat dan rancak saat pemain mulai meniti seutas tali. Dengan perasaan yang bercampur aduk, Sekar menuju rumahnya. Berharap suaminya sudah kembali dan menunggunya dengan cemas.
Ketika sampai di depan rumahnya yang sudah penuh dengan desakan orang, detak jantung Sekar kian tak berirama. Dilihatnya Dul Karmin, Pak Lik Ki Setra, Kepala Desa Talok duduk di ambin depan sambil menghisap rokok dan mengepulkan asapnya ke atas, membuat gulungan asap yang menyerupai gerak badai puting beliung.
“Ada apa ini...?” Sekar menerobos masuk membelah kerumunan orang yang berjejal di depan pintu rumahnya. Tidak dihiraukannya panggilan Dul Karmin, terus saja ia masuk rumah dan detak jantungya serasa berhenti seketika saat melihat suaminya telah terbujur kaku di atas ambin dan berselimut jarik. Dengan berlari Sekar menghampiri suaminya.
“Kenapa Kang, apa yang terjadi?” Sekar terduduk pilu di samping suaminya. Para tetangga yang berada di rumah Sekar sedikitpun tak ada yang bersuara. Sekar mengguncang-guncangkan tubuh suaminya, namun sedikitpun tidak ada reaksi. Rintik air mata mulai setetes demi setetes mengalir di pipi ranumnya. Terlihat Dul Karmin berjalan pelan mendekati Sekar.
Ndhuk, tenanglah, yang sabar. Suamimu meninggal.”
Sekar terperanjat dan dengan nada bergetar, ia berkata pada Dul Karmin.
“Apa yang terjadi Pak Lik? Mengapa tiba-tiba Kang Setra bisa meninggal? Bukankah tadi pagi Pak Lik yang membawa Kang Setra pergi?” Sekar memandang tajam kedua bola mata Dul Karmin. Menelisik pedalaman Dul Karmin.
“Subuh tadi suamimu memang pergi sama Pak Lik, dan tadi muntah darah, limbung di rumah Pak Lik. Ini juga sudah dimandikan. Sudah suci. Jadi jangan pegang mayatnya.”
“Tadi Sekar ke rumah Pak Lik, tidak ada orang di sana. Jadi, sebenarnya kemana Pak Lik bawa Ki Setra pergi,” Sekar memandang tajam mata Dul Karmin.
“Ohh, tadi suamimu dan Pak Lik pergi ke rumah Rukin,” terlihat keringat Dul Karmin membasahi dahinya yang lebar.
“Tidak semudah itu aku bisa percaya, Pak Lik. Dan dimana Pak Lik memandikan dan menyucikan mayat suami Sekar,” Sekar membuka lebar jarik yang menutupi tubuh Ki Setra. Diperhatikan tiap detail tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda kekerasan, batin Sekar. Dul Karmin hanya membisu tak menjawab, mulutnya terkatup dan digaruk rambut putihnya yang tidak gatal. Diliriknya kalender yang tergantung, 26 Juni 2010, batinnya.
“Pak Lik berhutang cerita padaku, jangan harap aku diam saja melihat kematian tiba-tiba Ki Setra,” Sekar beranjak dari duduknya, ditinggalkannya Dul Karmin yang berdiri mematung di sebelah mayat Ki Setra dan terlihat asap rokok yang tak habis-habis dihisap Dul Karmin dari mulutnya yang gemetar.

***

Bersambung....


Penulis adalah anggota Komunitas Kali Kening

Bangilan,  Desember 2016

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.