Alia Ingin Pergi Ke Angkasa
Oleh
: Linda Tria Sumarno
“Aku ingin
menjadi angkasawan,” sebuah celotehan khas anak-anak keluar dari mulut mungil
gadis berumur tujuh tahun sambil bergelayut manja di pundakku. Alia nama gadis
itu. Gadis yang selalu saja menarik perhatianku dan juga murid paling cerdas di
kelas. Ya, aku seorang guru di sebuah SD yang berada di daerah pegunungan dan
jauh dari peradaban kota. Kulayangkan pandanganku pada gadis kecil di
sampingku. Rasa kaget tergambar jelas dengan bertautnya kedua alis tebalku.
“Jadi angkasawan,
Nak....?” tanyaku sambil membetulkan letak kacamata.
“Iya bu guru,
angkasawan.“
“Cita-cita yang
hebat. Kenapa Alia ingin menjadi angkasawan?” Ku ambil tubuh mungilnya dan ku
dudukkan di pangkuanku.
“Alia ingin pergi
ke angkasa bu, melihat semua planet dengan naik roket, Alia ingin melihat ayah
dan emak dari angkasa, Alia juga
ingin memasak di sana bu, di angkasa,” hampir saja bolpoin yang ku pegang jatuh
mendengar suara riangnya tentang impian-impiannya. Seketika senyumku melebar. Suatu
hal yang mewah ketika di daerah terpencil yang berada di tengah hutan dan
begitu miskin jaringan internetnya, seorang anak kelas 1 SD bercita-cita
menjadi angkasawan, naik roket dan melihat planet. Berbeda sekali dengan teman
sebayanya atau bahkan kakak kelasnya yang lebih memilih cita-cita menjadi
petani, tentara atau guru sepertiku. Mungkin
ia banyak membaca buku di perpustakaan, batinku.
“Alia, mau jadi
apapun itu, Alia harus rajin belajar juga berdoa,” ucapku sambil menatap lekat
matanya yang berbinar.
“Iya bu, guru
ngaji Alia juga menyuruh Alia untuk selalu berdoa, mendoakan bapak, emak, juga bu guru,” ucapnya sambil
memandangku manja dan ku cubit pipinya dengan gemas.
Bel masuk
berbunyi, anak-anak lari berebutan masuk kelas dengan riuh, Alia meloncat dari
pangkuanku dan segera duduk di kursinya.
***
Hari ketujuh
setelah percakapanku dengan Alia, tak ku lihat lagi bocah perempuan itu tertawa
riang. Entah apa yang terjadi setelahnya. Wajahnya begitu muram, serupa malam
yang dimusuhi rembulan. Kucoba bertanya pada Alia perihal perubahan sikapnya,
namun ia hanya membisu dan menggeleng, pun dengan teman-temannya. Hanya
pandangannya yang kosong dan menggigil ketika aku mencoba bertanya perihal
keadaannya. Dan hari ini, hanya sepatah kata yang terucap dari mulut mungilnya.
Alia capek bu. Tatapan matanya yang
sayu mengendurkan niatku untuk bertanya lebih lanjut. Ku belai rambutnya yang
berwarna kecoklatan dan tidak tersisir dengan rapi.
“Iya nak,
setelah ini kita pulang. Sepuluh menit lagi ya,” aku berkata sambil menunjuk
jam yang tergantung di dinding kelas.
Dan hujan datang
seiring denting jarum jam yang menunjuk angka sebelas. Ya, angka dimana gadis
kecil itu mulai gelisah. Sepertinya ia gelisah bukan karena hujan yang
tiba-tiba turun dengan derasnya, namun seperti ada sesuatu yang mengusik
hatinya. Entah apa yang ada di
pikirannya
saat ini. Ketika selesai merapal do’a, ia bergegas menjabat tanganku, mengucap
salam, membelah kerumunan anak-anak yang sibuk memasang jas hujan dan berlari
dengan kaki kecilnya yang terihat sangat kurus menerobos hujan yang belum reda.
Pandanganku seolah tak mau beralih hingga tubuh kecilnya lenyap di pertigaan
jalan samping sekolah. Segera kutepis resah yang membuatku berlama-lama
mematung di depan pintu kelas. Gelegar halilintar membuatku tersadar dari
lamunan, segera kuberesi buku ajar yang berserakan di meja. Menatanya di sudut
agar rintik air hujan yang menembus atap kelas tidak membuatnya basah. Segera
aku berkemas, kuambil tas dan segera beranjak menuju kantor.
***
Hari masih sangat pagi saat aku
memasuki hutan yang tiap hari kulalui untuk bisa sampai ke tempatku mengajar.
Kabut masih sangat tebal menyelimuti hutan dengan pohon-pohon sepelukan tangan lima
orang dewasa. Sesekali suara burung terdengar mencicit. Juga sekawanan kerbau
yang berjalan lambat dipinggir-pinggir jurang yang menganga. Jurang yang
terlihat lebat oleh semak-semak liar yang semakin menghijau di musim penghujan
ini. Jaket yang kukenakan juga tidak dapat menghalau udara dingin yang menusuk hingga
ke tulangku yang tipis. Bibirku terasa bergetar, bahkan mungkin juga membiru. Pelan
kunaiki motorku menerobos kabut hingga sampailah di tempatku mengajar, hanya
terlihat sepeda motor penjaga sekolah di tempat parkir.
“Ahhh, masih
setengah tujuh,” batinku sambil melangkah menuju kantor.
Namun langkahku
terhenti saat kulihat seorang gadis mungil meringkuk dan menangis di bangku
taman sekolah yang terletak di sebelah ruang UKS. Kulihat bahunya berguncang.
Ia tutupkan kedua tangan mungilnya di wajahnya.
“Alia...,”
ucapku lirih, menghampirinya dan jongkok menghadapnya.
“Ada apa, Nak.
Kenapa sepagi ini kamu menangis?” aku berkata sambil mengangkat wajahnya.
Kulepaskan kedua tangannya dari wajahnya yang terlihat kuyu. Ku lihat Alia
kaget dan gugup melihatku, segera diusap air matanya yang beranak pinak.
Kepalanya menggeleng lemah. Ia rapikan rambutnya yang berantakan.
“Bilang sama bu
guru. Alia sakit?”
Sekali lagi
kepalanya menggeleng lemah.
“Bertengkar sama
teman?” ucapku sambil duduk di sebelahnya.
“Tidak bu.”
“Lalu kenapa,
cerita sama bu guru. Tidak usah takut. Sini duduk dekat ibu, Nak,” kuraih tubuh
mungilnya dan kupegang tangannya yang dingin. Diedarkan pandangannya pada
teman-temannya yang sibuk berlarian di halaman sekolah, juga kakak-kakak kelasnya
yang bermain gobak sodor di depan tempat parkir.
“Alia takut,
bu.” Tangisnya kembali pecah.
“Takut sama
siapa?” Lama Alia tidak menjawab, ia menatapku ragu. Kuanggukkan kepala untuk
meyakinkannya. Dan kulihat bibir mungilnya mulai bergerak.
“Harno, bu. Alia
takut sama Harno.” Ku lihat wajahnya berkerut-kerut. Tangannya menutup mulutnya
yang bergetar.
“Harno?” kedua
alisku bertaut, teringat dengan sosok muridku yang anak kepala desa dan baru
lulus bulan Juli lalu. Bocah laki-laki dengan kulit gelap dan bekas jahitan di
bibir atasnya. Alia mengangguk.
“Setiap pulang
sekolah, Harno selalu menunggu Alia di pertigaan, bu.”
“Di pertigaan ?”
rasa cemas mulai menjangkitiku dan Alia mengangguk pelan.
“Alia diganggu?”
“Iya bu, Harno selalu
mengajak Alia ke kandang kerbau Mbah Darno.”
Alia kembali terisak.
“Untuk apa, Alia?”
“Harno memaksa Alia,
bu. Melihat film jorok di hp dan memaksa Alia menirunya.” Ucapnya sambil
menggigit kuku-kuku tangannya.
“Allah
Karim....,” gumamku pelan.
Serasa petir
menyambar tubuhku, kuraih tubuh mungilnya dan kupeluk erat. Tangisku turut
pecah ketika ia memelukku dan menangis di dadaku.
“Sejak kapan,
Nak.” Kulepaskan pelukanku dan kutatap matanya dengan iba.
“Alia lupa, bu. Sering
sekali. Dan kemarin siang, sepulang Alia dari rumah Ani, Alia juga dicegat
Harno dan dipaksa ke rumah Harno. Terus Harno..........,” belum selesai Alia
berkata gadis kecil itu tergugu. Kupejamkan mataku. Kurasai tubuhku menggigil
dan dadaku terasa sesak. Terbayang wajah polos Harno. Apa yang membuat Harno menjadi demikian gila. Gumamku. Aku beranjak
dari dudukku dan jongkok di hadapan Alia. Kuhapus airmatanya.
“Orang tua Harno
tahu kemarin siang Alia di sana?”
“Tidak, bu.
Bapak dan ibu Harno ke sawah.”
“Kenapa Alia tidak
bilang sama bapak dan emak Alia?”
“Alia takut, bu.
Harno akan membuang Alia ke sungai kalau Alia cerita ke bapak.”
“Alia tenang ya,
ibu akan jaga Alia. Nanti Alia pulang diantar bu guru,” ucapku lirih.
Kulirik jam di
tanganku. Hampir pukul tujuh, batinku.
Terlihat teman-teman guru mulai berdatangan. Ku bantu Alia bangun dan
menuntunnya menuju ruang kelas.
***
Malam terus
merangkak, jarum jam di dinding ruang tamu berdentang satu kali. Dan mata yang
mulai mengantuk ini belum pun bisa terpejam. Terbayang wajah sendu Alia, juga
Harno. Entah dari mana harus kumulai untuk memecahkan sengkarut permasalahan
ini. Sebuah kekhawatiran muncul ketika hal yang pagi tadi kuketahui tidak
mendapat tanggapan dari atasanku. Hanya lenguhan panjang dan bertautnya kedua
alis yang kudapati. Masalah sensitif dan
berbahaya. Bisa pulang tanpa nyawa kalau kita buka masalah ini. Hanya
kalimat itu yang kudengar, selebihnya hanya hembusan nafas yang terbang di antara semilir angin siang
tadi. Karena memang begitu susahnya
membuka pikiran orang-orang dengan watak keras dan tempramen seperti mereka,
lenguhku.
***
Mendung bergelayut di langit
pegunungan tempatku mengajar, langit yang tadi begitu cerah, seketika kelam
tanpa sedikitpun sinar mentari. Hawa dingin mulai menyergap seiring hembusan
angin yang sesekali menerbangkan apa saja yang dilewatinya. Juga atap kantin
sekolah yang terbuat dari seng, turut pula terhempas dan membuat debu
berterbangan. Dan gelisah mulai mendera saat ku dapati Alia tidak masuk hari
ini. Teringat kemarin saat ku antar gadis kecil itu pulang dan memberitahu
keadaan Alia, bapaknya yang blandong itu
menatapku tajam. Kulihat matanya menyala, entah marah denganku yang terlalu
mencampuri urusannya atau marah dengan keadaan anaknya.
“Biar saya saja
sebagai bapaknya yang menyelesaikan. Bu guru tidak perlu turut campur.” Ucapnya
sambil menyuruhku pergi. Ku layangkan pandanganku pada langit yang mulai
terlihat rintik hujan dari jendela kelas. Rasa cemas menyergapku saat Siti yang
rumahnya dekat dengan Alia mengatakan kalau Alia kemarin dipukuli bapaknya dan
emaknya hanya bisa meraung tak berdaya. Aku menghela nafas panjang. Kurasai
hangat air mataku mengalir. Dan belum sempat aku beranjak dari samping jendela,
kulihat seorang perempuan dengan berlari tergesa menghampiriku di kelas. Dengan
cepat ia tubrukkan tubuhnya padaku. Ibu Alia,
gumamku pelan.
“Bu guru, tolong
Alia bu guru. Alia dibawa bapak Harno,” suara gugup itu terdengar begitu panik.
“Dibawa kemana,
bu?
“Sendang Arum,
bu. Alia direndam disana dari tadi, bu.”
“Kenapa
direndam?” Aku mulai panik.
“Masalah Harno, bu.
Tadi pagi bapak Alia ke rumah Harno. Bilang semuanya pada bapak Harno. Tapi
Harno bilang ke bapaknya kalau Harno tidak melakukan apa-apa sama Alia. Makanya
bapak Harno marah sama Alia, Alia dituduh berbohong. Dan sekarang direndam di
Sendang supaya Alia mengakui kalau Alia berbohong, tolong Alia, bu guru.”
Dengan nafas tersengal-sengal, ibu Alia berkata sambil memegang erat tanganku. Segera
aku pamit pada kepala sekolah, kukendarai motorku dengan gugup menuju Sendang
Arum, berharap tidak terjadi sesuatu pada Alia.
Kulihat
kerumunan orang di Sendang yang terletak diujung desa. Terdengar suara tangis
merintih dari balik kerumunan itu. Suara yang begitu akrab ditelingaku. Ya, itu
suara Alia. Ku taruh sepeda di seberang jalan, kuangkat rok ku dan berlari
menuju arah suara. Kuterobos kerumunan orang-orang yang mulai membabi buta. Tak
kuhiraukan teriakan orang yang kakinya terinjak oleh hak sepatuku yang 3 cm
itu. Dan betapa sesak dadaku saat kulihat tubuh telanjang Alia yang terendam di
dingin air sendang dengan tubuh menggigil dan bibir yang membiru. Tangan
mungilnya bergetar hebat, matanya terkatup.
“Alia.....,”
suara ku membuatnya membuka mata pelan.
“Bu guru, tolong
Alia,” sayup ku dengar Alia merintih. Setengah berlari kudekati dan coba meraih
Alia. Namun tangan kokoh bapak Harno dan para warga mencengkram tanganku.
“Biar saja bu
guru, siapapun di desa ini harus dihukum jika mulai berkata bohong dan membuat
fitnah. Juga anak kecil itu,” dengan suara yang begitu sakit di telingaku,
bapak Harno menunjuk gadis kecil yang menggigil, ku tatap sendu wajah yang
semakin pucat itu. Alia, rintihku.
Terlihat matanya menatapku penuh harap. Seketika airmataku mengalir.
“Iya benar,
hukum adat harus ditegakkan. Biar direndam sampai sore, biar leluhur tidak
murka.” Terdengar suara lelaki tua yang berdiri di belakangku.
“Masih kecil
sudah menyebar fitnah.”
“Biar kapok.”
“Bikin malu bapak
Harno, masak Harno dituduh yang tidak-tidak.”
Silih berganti
suara-suara itu menggema memenuhi udara. Terlihat beberapa ibu-ibu yang
menggendong anaknya menyeka air matanya. Segera kudekati bapak Alia yang
mematung di bawah pohon randu.
“Pak, apa yang
bapak lakukan. Tolong Alia. Keluarkan Alia dari sendang.” Dengan tajam
kupandang mata bapak Alia. Bapak Alia tetap membisu sedang, emak Alia meraung dengan kaki dan tangan
dipegang oleh beberapa warga.
“Pak, tubuh
kecil Alia tidak akan kuat menahan dingin. Lihat pak, tubuhnya begitu menggigil
dan mulutnya membiru.”
“Jangan ikut
campur bu guru, hukum adat tetap harus dilakukan. Meski Alia masih anak-anak.
Bikin malu keluarga, menyebar fitnah.” Bapak Alia berkata datar. Sedang Harno
menundukkan wajahnya yang mengkilap tertempa sinar matahari.
“Tapi Alia
berkata jujur. Sedikitpun tidak berbohong. Lihat Alia, pak. Alia bisa mati
kedinginan,” ucapku dengan nada tinggi.
“Sendang Arum
tidak akan memakan anak cucunya sendiri,” suara parau bapak Alia.
“Harno, bilang
sama bapakmu dan semua orang kalau Alia tidak berbohong, dan kamu memang
melakukan semua itu,” kuhampiri Harno dan kuangkat dagunya. Matanya nanar,
segumpal cairan terlihat di sudut matanya. Namun, tak sepatahpun kata keluar dari
mulutnya.
“Dengar
semuanya...,” keras suaraku membuat setiap kepala menoleh padaku.
“Kita bawa Alia
ke bidan sekarang juga, kita pastikan apakah Alia berbohong atau Harno yang
berbohong, itu lebih baik daripada menghukum anak tanpa dosa begini.” ku
pandang Harno dengan tajam, terlihat keringat menetes memenuhi dahinya yang
ciut. Dan segera pandanganku beralih pada bapak Harno.
“Jangan buat
leluhur marah karena menghukum anak yang tidak bersalah, dan jangan salahkan
saya kalau melapor pada polisi,” kataku meradang.
Semua terdiam,
nampak para warga mulai takut. Terlihat para pemuka desa berbisik dan
mendekatiku.
“Ya, kita bawa Alia
ke bidan. Tapi kalau Alia memang bersalah, biarkan kami menghukumnya dengan
cara kami,” lelaki berjenggot itu berkata dengan lantang.
Tanpa berpikir
panjang, aku langsung berlari menghampiri Alia. Kuangkat tubuh mungilnya dari
dalam sendang. Kurasai tubuhnya yang sangat dingin. Kulihat matanya terkatup
dan tubuhnya diam. Kepalanya lunglai dalam pelukanku. Kaku tubuhnya membuatku
panik. Ku tidurkan tubuhnya di tanah dan kugoncang bahunya. Alia tetap diam.
Kupakaikan jaketku pada tubuh Alia dan dengan segera kuseret emak Alia untuk menggendongnya dan ikut
ke rumah bidan yang terletak 4 km dari Sendang Arum. Kuterobos kerumunan warga
dan segera ku raih motorku. Ku kendarai motorku dengan kencang. Di belakangku, kudengar ibu Alia menangis
meraung memanggil-manggil nama Alia yang entah masih bisa bernafas hingga
sampai di rumah bidan yang kami tuju.
***
Bangilan, 15 Maret 2017
Penulis adalah anggota Komunitas Kali Kening
Tidak ada komentar