Header Ads

Header ADS

Lelo Ledung

Oleh : Linda Tria Sumarno


Tak lelo lelo lelo ledung
Cup menenga aja pijer nangis
Anakku sing bagus rupane
Yen nangis ndak ilang baguse
Tak gadang bisa urip mulya
Dadiya priya kang utama
Ngluhurke asmane wong tuwa
Dadiya pendekaring bangsa
Wis cup menenga anakku
Kae mbulane ndadari
Kaya buta nggegilani
Lagi nggoleki cah nangis
Tak lelo lelo lelo ledung
Enggal menenga ya cah bagus
Tak emban slendang batik kawung
Yen nangis mundhak bapak bingung

Suara lelah sang bapak mengalun sumbang menembangkan tembang penenang jiwa, Lelo Ledung diantara deru angin yang ribut malam itu, dielus-elusnya punggung dan kepala sang anak yang seharian lelah menghabiskan hari minggu dengan membantunya mengambil pasir di sungai dan mengangkutnya dengan gerobak sapi. Sedang si ibu sibuk mendekap anak perempuannya berumur tiga tahun yang merengek karena banyaknya nyamuk yang berpesta di tubuhnya yang dibalut dengan kulit yang mengkerut. Ditimangnya sang anak dan didekapnya dalam dadanya yang membungkuk karena beban kayu rencek yang tiap hari dipanggulnya agar asap dapur tetap menghiasi dapurnya yang beralaskan tanah dan berdindingkan bambu. Dirasainya detak jantung sang ibu yang menyatu dengan detak jantungnya. Mengalunkan nada yang melebihi aluanan paling merdu di alam semesta ini. Perlahan suara tangis anak perempuan itupun mereda. Dan suara jangkrik turut memeriahkan malam dengan bulan yang tampak mati di langit yang begitu kelam. Sang bapak mulai mendongeng, dipeluknya anak laki-lakinya dan sesekali ditepuk-tepuknya paha sang anak yang sepertinya tulangnya lebih menonjol daripada daging pembungkusnya.
Le, dahulu hidup seorang laki-laki tua yang bekerja sebagai pemecah batu. Setiap pagi hingga sore duduk di pinggir jalan dan memecah batu-batu besar hingga menjadi krecak. Saat memecah batu, lelaki tua itu melihat seekor kuda yang berlari menarik delman, laki-laki tua itu melamun sambil menggumam alangkah enaknya menjadi kuda, begitu gagahnya dan bisa berlari kemana saja yang ia suka. Dan ajaib le, dengan kehendak Tuhan, laki-laki tua itu berubah menjadi kuda,” suara batuk sang bapak membuatnya berhenti mendongeng.
“Laki-laki itu menjadi kuda, pak ?” sang anak memandang wajah lelah bapaknya.
“Iya, le. Dan kuda itu dipelihara oleh seorang Raja, hampir setiap hari sang Raja mengajak kuda itu mengelilingi wilayah kerajaan. Si kuda sangat lelah dan berpikir betapa tidak enaknya menjadi kuda. Lelah menanggung beban dan berkata enaknya jika aku bisa menjadi Raja, bisa mengendarai kuda, berpakaian mewah, makan enak dan dihormati banyak orang. Keajaiban terjadi lagi, le. Kuda itu tiba-tiba berubah menjadi Raja. Dan sang Raja pun suka sekali berburu, hampir setiap hari selalu masuk hutan dengan berjalan kaki. Namun, Sang Raja mulai kepanasan oleh matahari yang bersinar terik. Dipandanginya matahari yang begitu terang dan menyilaukan matanya. Raja pun berpikir betapa lelahnya menjadi Raja, dan betapa  enaknya menjadi matahari. Bisa menerangi bumi dan dapat menyilaukan mata siapapun yang berani menantangnya. Dan jadilah sang Raja sebagai matahari.” Terlihat sang anak mengerutkan dahinya. Ia memandang heran bapaknya.
“Terus bagaimana, bapak.” Anak laki-laki itu berkata sambil membetulkan letak selimutnya. terdengar si ibu mulai mendengkur di samping bapaknya dengan adik perempuannya yang menyusu susu ibunya yang mulai mengendur. Dan bapaknya pun kembali meneruskan dongengannya.
“Kemudian, matahari itu dengan angkuhnya bersinar di langit. Namun, tiba-tiba mendung datang dan turunlah hujan dengan derasnya, mtahari pun pelan-pelan menyingkir dan bersembunyi di balik awan yang gelap. Diintipnya hujan dari sebalik awan, betapa kagumnya matahari melihat hujan yang mampu menghanyutkan apa saja yang dilaluinya, kecuali batu besar yang ada di bawah pohon beringin. Sang mataharipun bergumam, betapa kokohnya batu itu, hujan deraspun tidak mampu menghanyutkannya. Seandainya aku menjadi batu, pasti tidak akan ada sesuatupun yang mampu mengalahkanku. Pekik sang Matahari”
“Matahari itu jadi batu, pak?” anak laki-laki itu semakin heran dan memiringkan kepalanya memandang atap rumahnya yang kayu penyangga gentengnya mulai melapuk.
“Iya, le. Matahari itu kemudian menjadi batu dan berada di pinggir jalan.”
“Terus, bagaimana nasib batu itu, pak?” anak itu mulai menguap.
“Akhirnya, saat batu itu ada di pinggir jalan dan datanglah seorang laki-laki yang membawa martil dan sak dipunggungnya. Laki-laki itu adalah seorang pemecah batu. Betapa senangnya sang pemecah batu itu menemukan batu yang sangat besar dan tergeletak di pinggir jalan. Laki-laki itupun mulai memecah batu itu menjadi krecak. Sang batu menjadi sedih serta berkata sambil menangis, menjadi batu masih juga tidak enak, dipukul sampai hancur berkeping-keping dan tidak berdaya untuk melawan. Ahhh..., betapa enaknya menjadi pemecah batu. Dia mampu memecah batu sekuat aku hanya dengan martilnya yang gagang pegangannya terlihat begitu tua. Tiba-tiba, berubahlah batu itu menjadi seorang laki-laki pemecah batu, le. Dan laki-laki itupun menghapus air matanya serta kembali menghabiskan hari-harinya mencari batu dan memecahnya serta dijualnya di toko-toko bangunan.” Selesai mendongeng bapak itupun tersenyum memandang anak laki-lakinya.
“Kenapa laki-laki tua itu ingin menjadi kuda, raja, matahari dan batu, pak?” anak laki-laki itu menaruh kedua tangannya di bawah kepala. Pandangannya menatap tajam atap rumahnya yang penuh dengan sarang laba-laba.
“Kelak ketika kau dewasa, kau akan memahaminya, le. Sekarang tidurlah, besok harus bersiap untuk sekolah.” Sang bapak kembali memeluk anaknya dan memejamkan matanya yang lelah oleh beban dan sengkarut permasalahan hidup juga perut keluarganya.
“Iya, pak.”
Anak laki-laki itupun meringkukkan tubuhnya dengan pikiran yang masih diselimuti oleh dongengan bapaknya. Di luar, malam semakin lebar mengepakkan sayapnya, meniti detik demi detik waktu hingga mentari kembali menggantikan perannya.

                                                                      ***

Laki-laki berumur 30 tahun dengan tubuh tinggi dan pipi cekung itu sibuk mengangkut ikan-ikan segar ke dalam truknya. Tangannya yang berbalut daging tipis itu semakin menonjolkan tulang-tulangnya. Bajunya basah oleh keringat bercampur amis bau ikan. Sesekali diusapnya keringat yang mengalir di dahinya yang mengkilap. Berkali-kali ia tarik ke atas celananya yang melorot karena perutnya yang kempis. Selesai mengangkut, laki-laki itupun menyandarkan tubuhnya di belakang kemudi truknya. Matanya terpejam, terlintas tangis anaknya yang pagi tadi merajuk meminta sebuah boneka yang bisa bernyanyi.
“Sabar ya, ndhuk. Bapak kerja dulu cari uang. Nanti kalau dapat uang, pasti bapak belikan.” Bujuknya dengan menimang anak perempuannya yang baru berumur 2,5 tahun itu. Diciuminya pipi anaknya dengan air mata yang menggunung di sudut matanya. Sang anakpun mengangguk dan menyudahi tangisannya.
Lamunan laki-laki itu buyar saat pemilik ikan-ikan segar itu memberinya alamat pabrik yang hendak dituju.
“Ini alamatnya, hati-hati ya Pak.” Pesan pemilik ikan-ikan itu sambil memberikan uang pesangon.
“Iya, pak. Saya istirahat barang sepuluh menit disini. Lelah sekali badan saya”
Pemilik ikan itupun mengangguk, laki-laki itu kembali memejamkan matanya mengusir kantuk, terdengar sayup di telinganya suara sumbang bapaknya menembangkan tembang penenang jiwa, Lelo Ledung. Dirasainya pelukan dan usapan lembut tangan bapaknya di punggung dan kepalanya, persis 20 tahun silam ketika ia masih kanak-kanak. Begitu lekatnya laki-laki itu dengan sosok bapaknya, hingga setiap memejamkan mata, sosok sang bapak yang telah lama meninggal itu selalu menyertainya, menembangkan tembang penenang jiwa dan mendongenginya.
“Hidup ini memang begitu berat, pak. Tapi aku tidak ingin menjadi kuda, raja,matahari ataupun batu.” Ucap laki-laki itu dengan hembusan nafas yang berat. Meski matanya terpejam namun pikirannya mengembara. Teringat rengekan anak perempuannya, teringat listrik yang mulai menjerit kehabisan pulsa, teringat lodong tempat istrinya menyimpan beras yang menyisakan beberapa butir beras saja, teringat hutang-hutangnya, juga teringat truknya yang belum juga lunas di bank swasta.
“Kini, aku mulai mengerti dan memahami arti dongenganmu, pak.”
Laki-laki itupun mengucek kedua matanya dan mulai menghidupkan mesin truk. Diminumnya kopi yang dibawakan istrinya untuk menajamkan penglihatannya yang berat karena kantuk. Pelan ia kendari truknya dengan beban empat ton itu.
Jarum jam di tangannya menunjuk angka tiga pagi saat truk memasuki tol Surabaya. Sesekali ia menguap dan terdengar suara klakson dari truk lain yang menyalipnya dan sesekali ia tembangkan tembang penenang jiwa untuk menghangatkan jiwanya. Terlintas kembali raut wajah bapaknya yang menciut karena sakit yang dideritanya sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Ia hapus air matanya ketika ia ingat masa-masa terakhir bersama bapaknya. Dan kekalutan hatinya seketika hilang saat truk yang ia kendarai melaju cepat tanpa bisa dikendalikannya, terlihat dari spion sebuah bus dengan kecepatan tinggi mendorong truk yang ia kemudikan, truk semakin hilang kendali dan melaju ke bahu kiri jalan. Dan di depannya, dilihatnya sebuah mobil Avansa silver melaju dengan kencang. Segera dibantingnya kemudi kearah kiri dan dentuman keras memenuhi udara. Serpihan kaca berterbangan di udara dan berserakan di jalan. Bus yang mendorongnya menghantam keras mobil Avansa itu hingga badan depan bus dan mobil Avansa tak lagi berbentuk, sedang truk yang dikendarai laki-laki itu menghantam pengaman jalan dan terguling di semak-semak, ikan-ikan segar yang diangkutnya menggelepar di aspal jalan dan semak belukar. Beberapa saat laki-laki itu kehilangan kesadaran hingga suara sirine mobil polisi melolong menyadarkannya, seketika jalanan menjadi macet. Polisi segera mengevakuasi korban kecelakaan. Terlihat lalu lalang penumpang bus dan mobil avansa dibawa ambulan. Dari dalam truk, terlihat laki-laki itu terjepit stir dan mencoba keluar dengan mematahkan stir menggunakan besi pendongkrak ban truknya. Dengan susah payah keluarlah ia dari dalam truk dengan dibantu dua orang polisi. Beruntunglah laki-laki itu, hanya tangannya yang berdarah oleh pecahan kaca dan kakinya yang sedikit pincang oleh jepitan stirnya. Pecahan kaca yang menempel di tangannya segera ia bersihkan. Badannya lemas dan nafasnya semakin tak berirama. Dengan dituntun polisi, laki-laki itu berjalan menjauhi truknya. Sebotol tanggung air mineral pemberian polisi, segera diteguknya untuk menghilangkan kepanikan.
Laki-laki itupun duduk di pinggir jalan di depan truknya yang terguling. Dipandangi truknya yang ringsek dengan sendu. Kau belum pun lunas, sudah hancur sedemikian rupa, gumamnya. Lantas, bagaimana aku harus menyambung hidup keluargaku? Rintihnya sambil merasakan hangat air mata mengalir pelan di pipinya, hatinya pun ikut menangis tatkala teringat anak perempuannya yang kemarin pagi merengek meminta boneka yang dapat bernyanyi.
“Bapak belum bisa memenuhi permintaanmu, ndhuk,” dan saat itulah air matanya semakin deras mengalir memebasahi pipinya yang kembang kempis oleh nafasnya yang sesak.
Matahari mulai merangkak saat laki-laki itu mencoba memejamkan mata menikmati kepiluannya, sayup-sayup didengarnya suara bapaknya menembangkan tembang penenang jiwa dengan mengelus-elus punggung dan kepalanya. Perlahan-lahan jiwanya menghangat meski tangisnya semakin menggugu. Matanya pun semakin terpejam tanpa menghiraukan keributan dan lalu lalang orang di sekitarnya.

                                                                 ***

Penulis adalah anggota Komunitas Kali Kening.


Untuk bapak yang berada di sebalik awan, semoga engkau tenang disisi-Nya. Peluk cium dari anakmu yang selalu merindukan dongenganmu.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.