Header Ads

Header ADS

Ayra dan Puisi


Oleh Ayra Izzana Riyanti

"Mulai senin depan, Adek lomba di sekolah lho ya," ucapku pelan kepada gadis kecilku yang tampak manyun. Aku tersenyum mendekatinya.
"Gak perlu jadi juara, yang penting Adek berani."
Pelan-pelan senyum itu terukir. Aku membelai rambutnya. Awal semester dua ini Ayra genap berumur enam tahun. Masih duduk di TK B Muslimat NU 04 Bangilan yang terletak persis di belakang masjid besar Alfalah. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, enam bulan setelah tahun ajaran baru Tk favorit itu akan mengadakan bermacam-macam lomba seperti hafalan surat surat pendek, latihan sholat, wudhu, melukis, dan  ketangkasan.
"Aku berani bund... Tapi pasti tidak akan dapat piala," katanya memelas. Ku letakkan kepala Ayra di pangkuanku. Kusisir rambut ikal gelombangnya dengan jemariku.
"Sayang... Tidak apa-apa. Yang penting Adek sudah berusaha. Piala bukan simbol bahwa orang itu pintar."
"Jadi tanpa punya piala Adek juga pintar, ya bunda.."
"Iya Sayang..." kucubit lembut pipinya yang empuk dan merona merah itu. Ayra tersenyum senang dan memelukku dengan erat.
Waktu perlombaan semakin dekat. Ayra hanya menghafalkan doa-doa sekadarnya. Aku menyimak hafalannya yang terbata-bata dengan sabar. Sesekali ia tertawa saat mengucapkan dengan salah. Aku membenarkan dengan hati-hati dan memintanya  mengulanginya tanpa menekankan bahwa ia harus benar-benar hafal. Ia berkali-kali tertawa cekikikan. Ah... Ayra mengurai kesalahan tanpa beban yang berarti. Kupandangi mulutnya yang komat-kamit, berhenti beberapa saat, lalu komat kamit lagi. Beberapa kali ia menghela nafas dan...
"Aku lelah, bund...," kedua matanya memelas. Aku membantu merapikan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas.
Ayra segera beranjak ke kamarnya dan merebahkan diri. Dalam kantuknya yang kian redup aku masih bisa mendengarnya melantunkan puisi dengan lirih. Puisi milik salah seorang teman di komunitas kali kening.

Kali Kening Pada Senja Biru

di remang senja
di bentang cakrawala
langit barat tersenyum
di antara kabut kabut tipis
merona menyihir rumput
dan ilalang di kaki bukit.........

Dengkuran halus terdengar, nafasnya mengalun sempurna. Ayra mengantar tidur siangnya dengan beberapa bait puisi milik penulis cantik nan enerjik. Pengajar dan juga pegiat Komunitas Kali Kening: Bunda Linda Tria Sumarno. Entah sejak kapan Ayra menyukai puisi itu dan tiba-tiba telah hafal setiap baitnya.
****
"Bundaa...," teriak kecil Ayra berlari-lari menyongsong kehadiranku siang itu saat menjemputnya.
"Gimana, Sayang...?"
Ayra mengacungkan jempol.
"Pintar anak Bunda!"
"Cuma hafal tujuh ayat, Bund...."
Aku tertawa. Kupencet hidungnya dan menggandeng tangannya. Tak apalah, Nak. Hafal tujuh ayat dari surat Al-alaq sudah luar biasa, batinku.
" Tak dapat piala pun, tak apa ya bund..."
"Heehee... Iya sayang."
"Nanti saat pembagian hadiah, adek mau baca puisi boleh Bun?"
Langkahku terhenti. Jidatku berkerut.
"Boleh.... Adek berani?"
Ayra kembali mengacungkan jempol.
Sejak saat itu, hari-hari Ayra di sela menghafalkan doa-doa dan lainnya, ia lebih asyik mendengarkan puisi yang dibaca Bu Linda, Pak Rohmat Sholihin, pak Juwoto dan juga Pak Ikal Hidayat di stasiun Radio pada waktu itu. Hanya empat puisi itulah yang menjadi penghuni manis di ponsel milikku yang selalu berada di pelukan Ayra menjelang tidur siang mau pun tidur malamnya.
Ku biarkan Ayra menekuri dunia barunya. Aku bahagia dia mulai mencintai puisi. Membiarkan dia menghempaskan tubuh lelahnya dengan memeluk ke empat puisi itu. Kadang-kadang aku memergoki dia berdiri tegak di atas kursi, seolah-olah ia berdiri di atas panggung sambil melantunkan puisi-puisi itu. Tapi setelah tahu aku melihatnya ia akan berhenti dan tersenyum malu.
"Kok berhenti, Dek?"
Ia turun memelukku
"Masak baca puisi di depan Bunda saja malu, katanya mau baca puisi di depan teman-teman."
Kepalanya menengadah ke arahku dengan lengan yang masih melingkar di pinggangku dan bibir mungil yang mengukir senyum.
"Bunda bisa baca puisi?"
Dengan malu aku menggeleng.
"Bunda senang puisi tapi belum pernah membaca puisi. Melihat Adek sudah bisa baca puisi Bunda sudah senang."
"Suatu saat Adek pengen baca puisi sama Bunda."
Keinginannya menyemburat terang di kedua matanya, bersinar menyimpan hasrat yang membuncah dan meluap tentang puisi. Ah, kau nak membuat tubuh Bunda tiba-tiba bergetar hebat dan tak sanggup menatap pendar-pendar bahagia di matamu.
****
Ku bongkar isi tas Ayra untuk mengambil sisa bekal di sekolahnya tadi. Iseng-iseng kubuka-buka bukunya; ingin tahu perkembangan terakhir Ayra belajar menulis dan membaca. Di buku bacaannya selalu tertera huruf L hari demi hari. Tulisannya pun rapi tidak menerjang garis. Tib-tiba aku menemukan sesuatu di bawah setiap tulisan yang ia dapat dari pelajaran sekolah. Di sana tertera tanggal kemudian nama-nama buah, di bawah nama-nama buah itu terdapat sebuah kalimat:
'Gadis kecil sendirian di rumah'
Hanya itu saja, dan itu membuatku tersentak. Ayra merasa tak punya teman? Ia merasa sendirian? Ia mengungkapkan isi hatinya melalui tulisan sederhana itu. Apakah ia merasa jenuh dan kesepian sehingga sepanjang hari memeluk puisi-puisi itu? Air mataku mengalir. 'Tak cukupkah Bunda menjadi temanmu, Naak?' Kupeluk tubuh lelah Ayra yang terkulai merajut mimpi-mimpinya.
Sejak itu aku mulai rajin membuka buka buku-buku milik Ayra. Beberapa hari tak kutemukan apapun. Hari ini sepulang sekolah, aku tergesa membuka bukunya dan tak ada tulisan apapun. Aku ingin tahu apa yang dirasakan anak gadisku itu melalui tulisan sederhana itu. Hingga akhirnya kutemukan lagi sebaris kalimat:
'Hujan dan pucuk pelangi'
Pucuk pelangi? Apa itu pucuk pelangi? Aku tersenyum membacanya. Ayra ada-ada saja. Mungkin ia sedang berbahagia hari ini. Bukankah pelangi adalah kebahagiaan, menandakan sesuatu berwarna-warni pada hati. Kupandangi tubuh yang meringkuk itu. Ayra terpejam sempurna seperti menikmati sisa kebahagiaan yang ia dapat hari ini. Hari pembagian hadiah di sekolahnya tinggal dua hari lagi.
****
Suasana di sekolah riuh sekali. Penerimaan hadiah sudah dimulai. Dari kejauhan kupandang Ayra yang duduk pas di bawah Centra Alam: sebuah kelas dengan ruang terbuka yang sekaligus digunakan sebagai panggung untuk penerimaan hadiah, Ayra seperti menatap bahwa itu panggung pertama impiannya untuk membaca puisi. Sebelumnya aku telah menyampaikan keinginan Ayra ke salah satu ibu gurunya, dan ternyata mendapat respon yang baik.
Penerimaan hadiah telah usai dan Ayra tersenyum kecil meski tak mendapatkan satu piala pun. Ia tersenyum karena mimpinya akan terwujud. Ia tersenyum ingin mempersembahkan sesuatu yang terbaik untuk aku: Bundanya. Sesuatu yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya. Ayra membaca puisi.
"Adek nanti mau baca puisi yang mana?" tanyaku sebelum berang ke sekolah
"Kali kening pada senja biru, Bund," jawabnya penuh semangat dan mata berbinar. Puisi milik Bu Linda yang ternyata dipilih Ayra. Sebenarnya tak ada hubungannya puisi itu sama tema kegembiraan anak-anak saat menerima piala dan hadiah lainnya. Aku tersenyum kecil dan mengacungkan dua jempol ke arahnya.
Ayra melangkah tegap menaiki panggung kelas itu. Suasana masih riuh rendah, tapi aku mencoba fokus memandang Ayra. Ingin mendengarkan dengan baik puisi yang akan dilantunkannya. Ingin menjadi penonton pertama yang mengagumi penampilannya sekaligus satu-satunya fans fanatiknya.
Masih terdengar keriuhan saat Ayra mulai membaca judul puisi itu. Ayra tidak membaca puisi itu, lebih tepatnya ia menghafal. Sebait dua bait kemudian suasana mendadak hening. Ayra dengan suara lembut dan lantang menyampaikan bait demi bait puisi itu tanpa salah sedikit pun, intonasinya hampir mirip dengan Bu Linda saat membaca puisi itu. Aku seperti tersihir, terpaku dan terlena. Ayra, gadis kecilku itu bak bidadari yang turun memberi keindahan untuk kehidupanku.
Aku mendekati panggung impian Ayra, melihat dan menatap lebih dekat sosoknya. Tepukan dan sorak-sorai menyambut bait terakhir puisi itu. Air mataku mengalir deras. Kurentangkan kedua tanganku untuk menyambut Ayra dan lekas kurengkuh dalam pelukanku. Kuciumi kedua pipinya berkali-kali, Ayra terdiam dan terpana melihatku, melihat air mataku jatuh.
"Air mata bunda adalah hujan yang membasahi bumi untuk pertama kalinya setelah kemarau panjang naak.."
Seperti faham apa yang ku katakan Ayra kembali memelukku dengan lembut.
Naak, akan ku buka duniamu selebar lebarnya untukmu yang mulai dan mencintai puisi. Akan ku pacu semangatmu untuk membaca atau menghafal puisi puisi itu. Akan ku wujudkan mimpi mimpimu hingga suatu kelak kau bisa membaca puisi milikmu sendiri.

Bangilan, Pagi, 04:24  15 Februari 2017


Catatan editor:  Puisi Kali Kening Pada Senja Biru adalah karya Joyojuwoto.  Dibacakan oleh Linda Tria Sumarno di radio Pradya Suara Tuban dalam acara Serat Ratri.


3 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.