Zul dan Kemarau Basah
Oleh: Ayra Izzana Riyanti
Semilir angin sore yang sepoi membuatnya
membentangkan tangan lebar-lebar. Matanya terpejam menikmati angin sore yang
menyibak-nyibakkan
rambutnya. Poninya bermain-main pada dahinya yang berkeringat. Zul
menyeka poninya berkali kali dan sesekali ia tertawa sendirian karena kegelian.
Angin sore yang nakal, begitu katanya.
Zul bangkit dan berlarian di pematang sawah mengejar kemana arah angin bertiup. Ia
berteriak dengan sekencang-kencangnya. Memanggil angin agar
selalu membelainya. Tubuhnya terjungkal dan ia bangkit lagi, tertawa berguling-guling
seakan-akan
angin sore itu senang mengajaknya bermain. Zul tak peduli dengan tatapan mata
tua milik bapaknya yang bersandar pada gubuk ilalang. Zul sedang berbahagia,
begitu mata itu berbicara.
Rumput-rumput yang mengular dengan warna
hijaunya yang segar dan daunnya yang kecil-kecil seakan akan bersorak sorai.
Kemarau tahun ini membuat rumput rumput itu masih bisa beranak pinak. Zul
kegirangan, di kemarau yang basah ini tak membuat dia kesulitan untuk mencari
rumput rumput untuk pakan ternaknya. Dengan langkah kaki telanjangnya, dengan
lincah Zul mengumpulkan rumput-rumput itu. Di temani sabit kecilnya
yang menebas rerumputan itu dengan lembutnya.
Sore makin menggelayut. Semburat merah
membakar ufuk barat. Langit putih bersih membuat Zul berbinar-binar
menatapnya. Alam sore yang membuat Zul tak ingin pulang. Alam sore yang membuat
Zul melupakan kejadian sore itu. Alam sore pada kemarau basah. Kemarau dengan
hujan sejuk sepanjang hari. Zul jatuh cinta dengan kemarau basah kali ini.
Dari kejauhan bapaknya melambaikan
tangannya. Dan Zul dengan serta merta mengangkat karung yang penuh dengan
rumput hijaunya. Seperti hari-hari sebelumnya, seekor kambing miliknya
akan kekenyangan dan tak akan mengganggu tidurnya. Zul menapaki pematang yang sempit
untuk menghampiri bapaknya. Sore itu mereka pulang dengan meninggalkan jejak
pada rumput rumput yang masih mengakar. Zul bersiul-siul
meninggalkan nyanyian rindu pada seseorang yang sudah tak bisa ia sentuh pada
alam sore itu.
****
Kemarau hampir berakhir. Zul masih harap-harap
cemas. Hujan akan turun sepanjang hari dan sepanjang itulah ia akan mendengar
suara ibunya. Kata-kata bapaknya setiapa malam tentang hujan
dan ibunya tak kunjung menentramkan hatinya untuk memulai menyambut hujan pertama di
musim penghujan. Di ujung sungai Zul menanti serbuk-serbuk
itu menggunung. Ia tak ingin hujan pertama turun pada siang itu. Dengan mengais-ngais
tanah di bawah rumpunan bambu angin mulai bertiup dingin. Zul bergidik. Ia
mulai menutup telinganya rapat-rapat dan melepaskannya kembali. Ah...
angin ini masih di kemarau basah. Ternyata masih nakal, batinnya. Ia
menarik poninya ke belakang dan berdiri menghampiri Anung sang penggergaji yang
melambaikan tangan ke arahnya.
Seratus hari setelah ibunya dimakamkan sebenarnya Bapaknya melarangnya untuk mengais
serbuk-serbuk
gergaji itu.
“Kita membutuhkan ini, Pak.
Ini satu satunya agar aku bisa mengerti bahwa mengais kebaikan layaknya mengais
serbuk-serbuk
itu hingga menjadi manfaat untuk orang lain. Dari sini aku belajar hidup, Pak,”
begitu kata Zul. Sebenarnya itu kata-kata yang
terlalu filososif untuk diucapkan oleh anak yang masih berumur sepuluh tahun. Entah bermakna atau tidak. Ia tak
benar-benar tahu. Yang ia tahu telapak tangannya sudah kapalan dan kuku-kukunya tak lagi bisa tumbuh sempurna
akibat terkikis tanah saat ia mengais serbuk-serbuk itu.
Masih di kemarau basah jika sore hari
Zul masih saja bermain-main dengan angin. Tak jarang ia
menerbangkan layang-layang buatannya sendiri. Dari kejauhan
bapaknya memandangi dengan perasaan tak menentu. Anak sekecil itu makin
memerangi hidupnya sendiri tanpa seorang ibu, mungkin begitu yang
ada di tempurung otaknya. Dan Zul masih belum rela bila kemarau basah itu
meninggalkannya. Hingga ia tak akan beranjak pulang sebelum matahari tenggelam
atau sore ditutup dengan gerimis.
****
“Kemarau hampir berakhir ya, Pak?”
tanya Zul saat malam tiba sebelum memejamkan mata. Ia meringkuk meringkas tubuh
yang hanya separuh ia tutupi selimut. Kemarau basah yang dingin. Sementara
Bapaknya hanya termangu memandangi laba laba yang berpesta pora menghiasi
langit langit rumah. Kepulan asap rokok yang ia hisap membumbung tinggi,
membuat para nyamuk tak berani mendekat.
“Aku takut bila musim itu tiba, Pak,” lanjutnya
dengan mulut bergetar.
“Tak akan ada-apa
apa, Cung. Tidak akan ada
apa-apa.”
Zul resah. Bapaknya tak mengerti trauma
yang ia rasakan. Pergantian musim akan tiba. Setelah kemarau usai, akan datang hujan berhari hari. Pada kemarau basah seperti ini pun, ia selalu gelisah bila hujan turun. Ia selalu mendengar suara ibunya yang tak henti memanggil-manggilnya di setiap tetes air hujan.
“ Zuung... Zuuung….”
Belum
lagi jika
kilat dan petir yang berlomba-lomba menguasai langit. Kedua telinganya
akan berdentum-dentum keras meski ia telah menutupnya rapat-rapat.
“ Di musim penghujan ibu selalu memanggilku, Pak... Entah kenapa? Aku selalu merindukan Ibu.
Tapi aku takut bila musim itu tiba,” mulut Zul berucap dengan sedikit
menggigil. Ia menarik selimutnya ke atas menutupi seluruh tubuhnya kecuali
wajahnya. Bapaknya membuang puntung rokok lalu memiringkan tubuhnya menghadap
Zul dan membelai rambutnya,
“Cung... manusia itu asalnya tidak ada dan
akan kembali menjadi tidak ada,” nafasnya menderu. “Ibumu
orang baik... nyatanya dia selalu memanggilmu di setiap
rintik hujan. Itu tandanya ibumu bahagia. Lalu kembali membagi kebahagiaannya
melewati hujan. Apa yang kamu takutkan, Cung? Ibumu bukan hantu,”
lanjutnya
“Nyatanya hujan tidak hanya datang pada musim penghujan, Zul!” Kali ini Bapak menyebut namanya. “Di
kemarau kali ini juga ada hujan. Bukankah seharusnya kau senang ibumu selalu
menemanimu.”
“Suara itu membuatku takut, Pak.”
Tiba-tiba sang Bapak tersenyum kecil.
“Ibumu bukan hantu…,
kalaupun ia menjadi hantu ia tak akan menakuti kamu:
anaknya sendiri.”
Zul berkedip-kedip
memandang lekat wajah tua bapaknya. Belum setua umurnya yang sebenarnya.
Lelaki itu dituakan oleh masa. Masa sulit mengarungi hidup saat Ibu Zul masih ada.
Saat kehilangan ibunya pun keadaan makin bertambah sulit. Di samping mengambil serbuk gergaji dan
menjualnya Zul juga menghibur dirinya dengan seekor kambing yang dibelikan
bapaknya dari hasil panen. Ia tak ingin tua sebelum masanya seperti bapaknya.
Kesulitan hidup yang ia alami akan ia jalani segembira ia bermain dan
berbincang dengan angin di kemarau basah.
“Zul sayang Ibu, Pak.”
Tiba-tiba Zul terisak. Perlahan
ia
beringsut memeluk tubuh bapaknya. Malam semakin larut dan semakin dingin.
Dengan lembut Bapak
mengusap-usap
dahi Zul yang
hitam mengkilap karena ciuman matahari sepanjang hari hingga matanya terkatup.
Dengkuran halus mulai terdengar. Mata tua itu tiba-tiba
berkaca kaca. Tubuh kurus Zul meringkuk di pelukannya.
****
Bangilan, 14 Maret 2017
*Penulis adalah anggota Komunitas Kali Kening
Kredit gambar: http://cowshell.com
Baca juga kisah sebelumnya: http://www.kalikening.com/2017/01/zul.html
Tidak ada komentar