Selamat Jalan Pendekar NU dari Bangilan
Oleh: Rohmat Sholihin
“Di pondok Modern Gontor saat
itu belum ada ijazah. Setiap anak yang pernah belajar di sana hanya mendapatkan
surat keterangan dari pengasuh ketika sudah keluar. Bunyinya juga
bermacam-macam. Masing-masing anak mendapatkan surat keterangan yang berbeda, sesuai
dengan kemampuan dan masa belajar masing-masing. Ada surat keterangan yang
berbunyi “Anak ini pernah duduk di
kelas empat”, ada yang “pernah duduk di kelas empat dan coba-coba duduk di
kelas lima”, dan lain sebagainya. Dan paling khusus surat keterangan yang telah
di berikan pada Ahmad Hasyim dan ketiga rekannya.
Surat keterangan itu
berbunyi: “Anak ini telah lulus dari Pondok Modern Gontor, dan dipersilahkan
meneruskan kuliah. Sebuah penghargaan yang terasa luar biasa.” Kenangan itulah
yang berkesan pada hati Dr. KH. Ahmad Hasyim muzadi,
Tokoh ketua PBNU asli Bangilan-Tuban dan biasa di panggil dengan sebutan Mbah
Hasyim ini. Itulah masa-masa ketika beliau belajar di Pondok Modern Gontor.
KH Hasyim Muzadi lahir di
Kecamatan Bangilan, Kabupaten Tuban pada tanggal 8 Agustus 1944. Adik kandung
dari KH A. Muchith Muzadi, Mustasyar PBNU. Putra seorang pedagang tembakau yang
sukses yaitu Bapak Muzadi. KH Hasyim Muzadi tumbuh kembang sebagai anak pada
umumnya di lingkungan yang disiplin dan religius, tepatnya di kauman-Bangilan,
bapaknya adalah seorang tokoh pedagang yang ulet dan mempunyai semangat yang
tinggi. Semua putra-putrinya disekolahkan sampai jenjang pendidikan yang tinggi
dan hampir semua putra-putrinya menjadi tokoh masyarakat yang mumpuni pula.
Ibunya yang bernama Ibu
Rumyati adalah sebagai usahawan kue bolu, kue khas kecamatan Bangilan yang
sampai sekarang masih banyak di geluti oleh beberapa pedagang-pedagang di Pasar
Kecamatan Bangilan. Mbah Hasyim termasuk anak yang suka membantu orang tuanya
terutama membantu sang ibunda tercinta dalam proses pembuatan kue bolu yang
akan di jual. Kisah ini diceritakan oleh bapak Suhadi teman bermainnya.
Kisah itu di ceritakan
ketika Mbah Hasyim mencalonkan sebagai Wakil Presiden mendampingi Ibu Megawati
Soekarnoputeri, seketika itu desa Bangilan menjadi populer karena masuk
tayangan berita televisi bahkan di sorot oleh berita-berita luar negeri. Banyak
juga para reporter dan wartawan menunggu Mbah Hasyim yang akan jumpa pers di
rumah aslinya yaitu di kampung Kauman Kecamatan Bangilan.
“Dari kecil Pak Hasyim itu
sudah cerdas dan pinter, bakat ilmu politiknya juga sudah tampak. Cara
bergaulnya juga luas, cara berbicara juga menarik. Ketika ia mengajakku pergi
kemana saja aku pasti manut, tak ada kata “tidak” untuk tidak manut, bicaranya
selalu menggodaku untuk selalu mengikutinya, jika ia disuruh ibunda tercinta
untuk membeli telur sebagai bahan membuat kue bolu ia selalu mengajakku dan
memboncengku dengan sepeda onto-nya, lalu ia duduk di atas sedel sepedanya dan
menyuruhku untuk membelikannya telur dengan imbalan akan dikasih kue bolunya,
mendengar hadiah kue bolu membuatku tergiur setengah mati, langsung saja
berangkat. Tak ada alasan untuk berkata tidak.” Kata pak Suhadi dengan
tersenyum.
Dari kecil Mbah Hasyim juga
sudah sangat getol membaca. Bahkan buku-buku merah atau terkenal sebagai
sebutan buku Komunispun beliau lahap. Ketika temannya tahu itu, jawab beliau
sangat diplomatis. “Jika kita membaca bukunya, kita akan tahu dimana titik
kelemahannya.”
Pendidikan beliau di mulai
dari Madrasah Ibtidaiyah Tuban (1953), melanjutkan di SD (1953), SMPN 1 Tuban
(1955), KMI Gontor, Ponorogo (1956). Kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Malang
(sekarang UIN Malang). Selain itu juga banyak mengikuti pengajian di
pesantren-pesantren salaf, di antaranya Ponpes Senori, Tuban dan Ponpes Lasem,
Rembang, Jawa Tengah (1963).
Beliau mahir berkomunikasi
dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris dan Arab. Menerima gelar Doktor Honoris
Causa dari IAIN Sunan Ampel Surabaya dalam bidang peradaban Islam pada 2
Desember 2006. Sedangkan pengalaman politiknya, diawali dengan Ketua Ranting
PPP Dinoyo, Malang, di saat NU sedang mati-matian memperjuangkan partai itu. Pernah
menjadi anggota DPRD Malang, Ketua DPC PPP Malang (1973), dan juga anggota DPRD
Tingkat Jawa Timur (1986-1987). Pada Pilpres 2004 mencalonkan diri sebagai
Wakil Presiden berdampingan dengan Megawati Soekarnoputeri. Namun tidak
berhasil. Ia kalah dalam babak final (putaran kedua) oleh pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla.
Hanya Mbah Hasyimlah Ketua
Umum PBNU yang benar-benar berangkat dari bawah, dari Pengurus Ranting.
Mula-mula menjadi Ketua Ranting NU Bululawang, lalu Ketua Anak Cabang GP Ansor
Bululawang (1965), Ketua Cabang PMII Malang (1966), Ketua KAMI Malang (1966),
Ketua Cabang GP Ansor Malang (1967), Wakil Ketua PCNU Malang (1971), Ketua PCNU
Malang (1973), Ketua PW GP Ansor Jawa Timur (1983), Ketua PP GP Ansor (1987), Sekretaris
PWNU JawaTimur (1987), Wakil Ketua PWNU Jawa Timur (1988), Ketua PWNU Jawa
Timur (1992), Ketua Umum PBNU (Hasil Muktamar Lirboyo 1999-2004 dan Muktamar
Donohudan, Boyolali 2004-2009), Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Joko
Widodo, masa jabatan 19 Januari 2015-16 Maret 2017.
Semasa ia
menjabat Ketua Umum PBNU, ia membuka jaringan Luar Negeri. Paling banyak
melakukan kunjungan luar negeri. Hampir seluruh negara di dunia telah
disinggahinya. Mulai dari Mesir (1986), Amerika (1998), Thailand (2000), Saudi
Arabia (2000), Iraq (2000), Yaman, Sudan, Singapura, Malaysia, Parlemen Eropa,
Jepang, RRC, India, Australia, Inggris, Pakistan, Yordania, Syiria, Italia,
Iran, dan lain sebagainya. Rangkaian perjalanan itu dimaksudkan untuk
memperkenalkan NU dimata internasional. Bahwa NU adalah organisasi yang
moderat. Dan hasil nyata yang bisa dilihat adalah banyaknya anak-anak muda NU
menerima beasiswa ke luar negeri, membentuk Pengurus Cabang Istimewa NU di
beberapa negara, NU semakin diterima oleh komunitas internasional. NU berhasil
mendunia. Dan puncak dari acara itu adalah diselenggarakannya ICIS
(International Conference of Islamic Schoolar), pertemuan para ulama
internasional berfaham moderat, di Jakarta (2004) dan ICIS II (2005) di tempat
yang sama.
ICIS banyak dinilai sebagai
penjelmaan Komite Hijaz jilid II, atau Komite Hijaz di abad modern. Bedanya,
Komite hijaz I, mengemban misi penyelamatan paham Aswaja dari ancaman paham
Wahabi yang dikembangkan Raja Ibnu Saud, sedangkan Komite Hijaz II mengemban
misi penyelamatan dari serangan ekstrem kanan dan ekstrem kiri yang
dikembangkan oleh negara-negara Barat dan Timur Tengah.[1]
Kiprah dan sosok KH A.
Hasyim Muzadi selama hidup dalam memperjuangkan organisasi NU dan pengabdian di
berbagai kemasyarakatan serta kenegaraan patut menjadi tauladan anak bangsa.
Pendiri Pondok Pesantren Al Hikam Malang-Jawa Timur dan Depok-Jakarta kini
telah berpulang menghadap Allah. Dari manusia yang lahir sederhana tanpa busana
dan telah menjadi manusia yang mulia dan bijaksana dengan segala pengabdian
pada negaranya, dengan keteguhan iman dan kedalaman ilmunya, telah pergi untuk
selama-lamanya menghadap Sang Pencipta dengan sederhana pula, hanya berkain
kafan dan segala amal kebaikan yang telah di tanam selama nafas menghias
paru-parunya. Namun segala jejak dan kisah serta piranti yang telah kau bangun
untuk negeri ini tetap akan menjadi pijakan pada generasi yang akan datang.
Selamat Jalan Mbah Hasyim, selamat jalan guru bangsa. Semoga Khusnul Khotimah.
Aamiin. Al Fatikhah.
Bangilan, 16 Maret 2017.
*Penulis Guru MI Salafiyah Bangilan dan anggota Komunitas
Kali Kening Bangilan-Tuban.
[1] H. Soeleiman Fadeli dan
Mohammad Subhan, S. Sos, Antologi NU Sejarah Istilah Amaliah Uswah (Surabaya: Khalista
2008). Hal. 224-227.
Tidak ada komentar