Refleksi Hari Buku “Kutu Buku” VS “Jomblo”
Oleh. Rohmat sholihin*
Orang Indonesia masih malas jika diajak ngobrol tentang
buku. Karena daya baca masyarakat kita masih tergolong rendah. Anak sekolah
saja yang seharusnya berkutat dengan buku sebanyak-banyaknya terasa asing
dengan buku. Buku masih menjadi barang langka dan apa kegunaannya? Masih banyak
yang belum bisa memanfaatkannya, termasuk aku sendiri. Buku hanya sebuah
tulisan bertumpuk-tumpuk, berjubel-jubel dan sangat membosankan. Membawa saja ogah, apalagi sampai membuka dengan
pelan-pelan, selembar demi selembar lalu membacanya dengan sabar. Sedangkan sebutan
orang yang suka membaca buku saja dibilang kutu buku. Kutu itu seperti hewan
kecil yang tak tampak namun sangat mengganggu. Apabila ada orang yang disebut
kutu buku, ia pengganggu seperti kutu. Siapa yang buat istilah “kutu buku”
itu?, aku sendiri saja kurang tahu, sebutan itu sudah ada jauh hari sebelum aku
lahir sebagai anak manusia yang menempati dunia alam semesta ini. Buku seperti
kutu, huruf-hurufnya yang renik berjejer-jejer membentuk kalimat dalam paragraf
seperti peta harta karun yang harus dipecahkan dengan akal, susah dan ribet.
Berapa jumlah orang didunia ini yang mencintai buku?.
Bisa dihitung. Mungkin lebih sedikit jumlahnya. Dan berapa orang yang suka
mengoleksi buku?, juga sedikit, dan berapa orang yang suka menulis buku? Ini
yang lebih sedikit. Alasannya cukup kuat, membaca saja malas apalagi menulis
buku. Di negeriku tercinta ini, menulis buku terbilang susah, hanya dihargai 10
persen dari penjualan oleh penerbit mayor. Itupun seleksinya cukup sulit, tidak
semua naskah buku bisa diterbitkan. Setidaknya penerbit melihat kebutuhan
pasar. Laris atau tidak. Dan keuntungan selalu menduduki prioritas pertama
dalam beroperasi. Benar-benar susah. Menerbitkan buku dan modal pendapatan
harus lebih besar modal pendapatan. Hukum ekonomi yang selalu mencari
keuntungan sebesar-besarnya, sangat sulit jika dihubungkan dengan buku. Buku
tidak menjadikan orang kaya hanya sarana untuk menjembatani dan berproses
menjadi kaya, dengan membuka cakrawala berfikir ke arah kemajuan, berfikir
lebih cerdas karena banyak pengetahuan yang tersimpan dalam otaknya karena
telah banyak membaca, membuka dan ber-traveling ke tempat-tempat yang jauh dan bahkan
belum pernah kita melihatnya, tepatnya membuka jendela dunia melalui
pengetahuan. Pengetahuan dan buku adalah sehati. Perannya juga sama, merubah
peradaban manusia. Dari yang gelap menjadi terang laksana gemintang, dari yang
bodoh menjadi jenius, dari yang tak tahu menjadi tahu, dari yang miskin menjadi
kaya, atau sebaliknya dari yang kaya menjadi miskin (ini tentu saja viral, coba bantu temukan masalahnya, jika sudah ketemu
tolong kabari aku), dari yang sakit hati atau stres menjadi tertawa bahagia
lagi, dari yang jomblo menjadi lebih jomblo lagi, eh bisa juga jomblo menjadi
primadona karena menjadi manusia kutu buku dan tentu saja banyak pengetahuannya
bagi orang yang beranggapan bahwa orang seksi itu terdapat pada pengetahuannya
yang berlebih, itu hanya sekian contoh yang tentu saja banyak lagi
contoh-contohnya sesuai jumlah ilmu pengetahuan yang terdapat pada buku,
melimpah ruah laksana air hujan yang tiada hentinya turun dari langit. Kemudian
mampu menumbuhkan banyak hal kehidupan di bumi.
Alangkah dahsyatnya kehebatan buku. Seperti hujan yang
menabur bulir-bulir air dan benih-benih serta menumbuhkan banyak
kekayaan-kekayaan sebagai sumber kehidupan, menabur benih-benih ilmu yang mampu
merealisasikan teori-teori menjadi tatanan praktek yang sangat berguna bagi
perkembangan kebudayaan manusia sebagai kholifah dimuka bumi ini. Dengan buku
lahirlah banyak pemikiran-pemikiran manusia yang terus berkembang tiada henti. Memadati
seluruh permukaan bumi dan alam semesta ini, bahwa buku adalah piranti
pengetahuan yang belum bisa tergantikan dengan hal apapun. Buku itu ibarat
anatomi alam semesta jika ingin mengetahui isi dan maknanya harus diurai dengan
seksama hingga dapat menjelaskan secara tuntas. Meski buku dimanapun tempatnya
belum bisa membahas secara tuntas kecuali kitab suci Al-Qur’an yang telah
dibukukan semenjak Kholifah Abu Bakar hingga masa sempurna pada Kholifah Utsman
bin Affan yang terkenal dengan sebutan Mushaf Utsmani. Betapa kerasnya tanggung
jawab para sahabat-sahabat Nabi yang telah mengupayakan untuk pengumpulan
ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dipimpin oleh sahabat Zaid bin Tsabit, menuliskan
ayat-ayat itu pada tulang belulang, sebongkah batu, kulit binatang, pelepah
kurma, karena kertas belum diketemukan. Usaha-usaha pengumpulan Al-Qur’an
dilakukan dengan dalih bahwa para sahabat-sahabat yang telah hafal Al-Qur’an
banyak yang mengalami gugur di medan perang sehingga dikhawatirkan Al-Qur’an
sebagai pusat pengetahuan, kebudayaan dan pegangan hidup umat manusia menjadi
sirna dan punah.
Jika buku sebagai gudangnya ilmu dan pengetahuan
mengalami kepunahan, kita akan mengalami degradasi kehidupan dan kembali
menjadi manusia terbelakang. Manusia yang maju tak kan pernah lepas dengan
buku, orang-orang hebat di dunia ini yang mempunyai pemikiran-pemikiran maju
dan brilian tak kan lepas dari yang namanya buku. Lihatlah tokoh Ir. Soekarno,
Drs Moh. Hatta, Tan Malaka, dan tokoh-tokoh lainnya yang pernah terlahir
didunia ini selalu berjibaku dengan buku meski harus mendekam dalam penjara
sekalipun. Buku menjadi teman yang selalu memberikan pengertian meski kita
berada dalam kesunyian. Seorang filosof Islam terkemuka Ibnu Kholdun ketika
dipenjara oleh penguasa tak henti-hentinya menghabiskan waktunya untuk berkawan
dengan buku dan lahirlah beberapa tulisan-tulisan yang luar biasa, seperti Muqoddimah (Pendahuluan) yang merupakan
buku terpenting tentang ilmu sosial dan masih terus dikaji hingga saat ini oleh
para ilmuwan barat. Bahkan buku ini telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa.
Di sini Ibnu Kholdun menganalisis apa yang disebut dengan “gejala-gejala
sosial” dengan metode-metodenya yang masuk akal yang dapat kita lihat bahwa ia
menguasai dan memahami gejala-gejala sosial tersebut. Pada bab ke-dua dan ke-tiga,
ia berbicara tentang gejala-gejala yang membedakan antara masyarakat primitif
dengan masyarakat modern dan bagaimana sistem pemerintahan dan urusan politik
di masyarakat. Bab ke-dua dan ke-empat berbicara tentang gejala-gejala yang
berkaitan dengan cara berkumpulnya manusia serta menerangkan pengaruh
faktor-faktor dan lingkungan geografis terhadap gejala-gejala ini. Bab ke-empat
dan ke-lima, menerangkan tentang ekonomi dalam individu, bermasyarakat maupun
negara. Sedangkan bab ke-enam berbicara tentang paedagogik, ilmu dan
pengetahuan serta alat-alatnya. Sungguh mengagumkan sekali sebuah karya di abad
ke-14 dengan lengkap hal ihwal sosiologi, sejarah, ekonomi, ilmu dan
pengetahuan. Ia telah menjelaskan terbentuk dan lenyapnya negara-negara dengan
teori sejarah. Dalam kesimpulan buku itu, ia meyakini pada dasarnya negara-negara
berdiri bergantung pada generasi pertama (pendiri negara) yang memiliki tekad
dan kekuatan untuk mendirikan negara. Lalu, disusul oleh generasi ke-dua yang
menikmati kestabilan dan kemakmuran yang ditinggalkan generasi pertama.
Kemudian akan datang generasi ke-tiga yang tumbuh menuju ketenangan,
kesenangan, dan terbujuk oleh materi sehingga sedikit demi sedikit
bangunan-bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur, baik akibat
kelemahan internal maupun karena serangan musuh-musuh yang kuat dari luar yang
selalu mengawasi kelemahannya. Hingga pemikiran-pemikiran Ibnu Kholdun terus
berlanjut pada abad ke-18 yang telah dikembangkan oleh pemikir-pemikir barat
seperti Hegel, Karl Marx, Emile Durkheim, Nietczhe, dan tokoh-tokoh pemikir
barat lainnya.
Buku memang selalu saja diam, tak kan bergeming jika
tidak dibuka dan dibaca, ia tetap selalu menjadi sunyi dan sepi tanpa
suara-suara kemerdekaan meski ia telah merubah tatanan dunia menjadi
hingar-bingar. Namun buku itu tetap berwibawa meski tak pernah ia
berteriak-teriak lantang dan sok pintar. Buku tetap asyik menjadi teman dalam
kesunyian, terutama untuk kalangan jomblo-jomblo yang meradang. Tetaplah terus
membaca dan menulis untuk menjadi teman setia buku yang abadi. Tak usah takut
dengan sebutan “kutu buku” karena masih kalah pedih dengan sebutan “jomblo.” Dan
ada nilai plusnya jika para “jomblo” menjadi “kutu buku” meski sama-sama
melawan sepi. Dan lebih enak lagi “kutu buku” tapi tidak “jomblo.”
Bangilan, 17 Mei 2017.
*Penulis anggota Komunitas
Kali Kening Bangilan.
Tidak ada komentar