Pelukis Senja
Ayra Izzana R
Bayangan
itu selalu ada pada setiap lukisannya. Bayangan perempuan yang memanjang saat
siluet senja. Dengan rambut tergerai tertiup angin dan wajah tertutup tangan.
Ada kalanya bayangan perempuan berdiri tertegun dengan tatapan nanar. Perempuan
yang sama dan rambut yang tergerai sama pula. Entah apa yang dipikirkan pemuda
itu saat mulai menggores kuas pada kanvas dan menimbulkan warna yang mencekam.
Langit senja di antara mendung yang bergulat menyapu semburat merah pada langit
dengan tatapan gundah gulana perempuan itu.
Lukisan
itu belum selesai saat ia mulai merapikan kuas, cat dan kanvasnya. Ia beranjak
dengan tergesa. Meraih jaket lusuhnya dan topi rajut untuk menutupi rambutnya
yang panjang di bawah
telinga. Ia akan terlambat. Seseorang telah menunggunya di perempatan gapura.
Ia meraih sepeda tuanya dan mengayuh agak terburu-buru. Wajah tenang nan sendu
itu membayang. Cemas melanda. Entah apa yang akan dikatakan perempuan itu
nanti. Seperti minggu-minggu lalu yang membuat lukisannya satu-persatu menjadi
warna yang sangat memudar.
“Sebenarnya
pertemuan kita adalah sebuah hubungan yang sia-sia, Mas.” Ia terpekur. Hamparan sawah yang
menghijau berpetak-petak mengosongkan pandangannya. Sore itu adalah milik minggu
yang lalu saat ia melangkah pulang dengan membawa luka, hingga menghadirkan
sebuah lukisan yang suram berlatar belakang senja yang tertutup mendung.
Sore
ini ia memenuhi lagi permintaan perempuan yang bayangannya selalu ia hadirkan
dalam goresan tangannya yang penuh warna yang kian hari kian meredup. Sepi. Tak
hidup. Entah keputusan seperti apa lagi yang akan dikatakan oleh perempuannya
itu nanti. dan lukisan terburuk seperti apa lagi yang akan mewakili
keterpurukannya setelah ini.
Lelaki
itu mulai pelan mengayuh sepedanya. Tepat atau terlambat akan menunai hasil
yang sama. Perempuan itu sama sekali tidak akan memilih untuk membuat hidupnya
lebih berwarna. Seperti warna-warni catnya pada kanvas. Kesenangannya pada
dunia warna itulah yang menjadikan hubungan itu sia-sia. Pandangan pertama,
perempuan pertama dan keputusan pertama.
Ia selalu melihat perempuan itu
melewati perempatan gapura setiap dia menghabiskan waktu sorenya di salah satu pematang dari
hamparan sawah yang menghijau luas. Perempuan dengan rambut tergerai kadang
terikat. Perempuan yang selalu berhenti tepat di belakang ia menikmati suasana.
Kadang tanpa dia sadari kehadirannya, hingga kemudian perempuan itu berlalu.
Kadangkala ia memergoki perempuan itu dengan lamunannya. Tergagap dan memicing
curiga ke arahnya.
“Kau juga senang melihat langit
senja,” katanya waktu itu. Perempuan
itu memandang dengan tatapan terkejut penuh tanda tanya.
“Apa pedulimu?” tanyanya sinis
Dan itu pertama kalinya ia menyapa
serta menyambungkan kata-kata agar lebih dekat dengan sosok yang lebih senang
membiarkan rambutnya terurai. Meski kadang mendapatkan perlakuan yang memalukan
dan tidak ia inginkan.
Hingga pada suatu hari dengan
pemandangan yang sama pada sore hari, setelah hari-hari itu. mereka yang selalu
bercengkerama lama, tak sengaja saling bertatapan, mengisi kekurangan cerita
masing-masing, meluncurlah satu kalimat yang membuat hati mereka saling
terikat. Sebuah kalimat yang membuat lelaki yang belum pernah jatuh cinta itu
seakan mengalihkan dunianya. Hingga membuatnya memiliki satu tema saja pada
semua lukisannya, yaitu perempuan itu.
Kini tinggal beberapa saat lagi,
tinggal satu dua kayuh ia menepati satu janji lagi. Janji terakhir ia merajut
hubungan yang sia-sia. Menunggu keputusan terakhir seperti hakim memutuskan perkara
dengan mengetukkan palunya. Dadanya tiba-tiba sesak. Keputusan yang akan ia
terima tanpa banyak cakap.
****
Sudah
sekitar satu jam ia memandang kanvas putih itu. Lukisan kemarin belum selesai
dengan sempurna, namun ia lebih memilih terpekur di depan hamparan putih tulang
itu. Sesekali ia menghela nafas. Lukisan hari ini tak akan terbentuk lagi. Ia
menunduk dan menekan kepalanya keras-keras. Isak perempuan tadi membuat
dunianya terbalik. Ia linglung.
“Hidup tak butuh kesenangan saja, Mas,” ucap perempuan itu menatap pias
dengan bola mata yang membundar. Ia duduk di pinggiran sawah. Jalan raya sore
itu lengang dengan mendung sedikit tangis.
“Jadi kau membiarkan hubungan kita
selama ini sia-sia saja?” tanyanya sambil berdiri membelakanginya. Perempuan
dengan rambut terurai yang hampir basah itu berdiri menatap lekat ke arahnya.
“Kau pikir?”
“Aku pikir, kau akan melakukan apa
saja.”
“Kita bukan remaja SMA, Mas... yang hanya berpikir
bahwa kita tak bisa hidup satu sama lain.”
Perempuan itu mulai terisak.
“Dan cinta saja itu tak cukup.” Lanjutnya memalingkan
muka dengan buliran air mata tersapu angin dan sedikit gerimis.
Iya.
lelaki itu tahu. Kesenangannya pada dunia warna tak akan menghasilkan hidup
yang lebih layak. Apalagi bila ia berani memaksa perempuan itu untuk menutupi
kekurangan warna hidupnya. Ia terdiam. Kalah mutlak. Dan perempuan itu
menginginkan lebih. Tidak seperti yang ia perkirakan.
“Aku
memilih pilihan ayahku,
Mas...”
Tergugu.
Senja di ufuk barat benar-benar menghilang. Gelap.
Masih
sama dan hampir malam. Ia masih saja terpekur. Dibiarkan saja kanvas yang sudah
ia tautkan pada kayu itu terjengkang merana tanpa memungutnya. Cat-cat air itu
pun bernasib sama. Muncrat menodai lantai rumahnya dan sedikit bajunya. Tak
terbentuk. Tak ada banyak alasan yang bisa ia katakan. Dan keputusan itu cukup
membuatnya mati berdiri.
“Dan
cinta saja itu tak cukup.”
Suara
lembut itu perih, menyakiti telinganya. Ia memegang kepalanya erat dan
berteriak:
“Aaarrrgggkkkkkk”
****
Pagi,
06:02 Bangilan,08 Mei 2017
Ayra Izzana R. anggoto komunitas kali kening.
credit gambar: www.ebay.com
Tidak ada komentar