Header Ads

Header ADS

Zul, Ramadhan Pertama tanpa Emak



 Oleh: Ayra Izzana Riyanti

Pagi menjelang Ramadhan tiba, langit terlihat cerah dan bersih meluas dengan awan-awan putih yang berarak teratur. Angin semilir membawa alunan sejuk yang menentramkan jiwa. Matahari masih bersinar dengan nakalnya, membuat  Zul berkali-kali memandang langit sambil mengelap keringat dan memasukkan tumpukan rumput dalam karungnya. Panas yang sangat menyengat menyambut kamarau di Ramadhan ini.
Di bawah pohon mangga yang tumbuh di pojok sawah tempat ia mengambil rumput, Zul memandang jauh hamparan sawah yang membentang tanpa tumbuhan apapun selain runput yang mengular di atas tanah yang retak dan menganga. Membiarkan angin menghempas sebagian rambutnya yang melekat di dahinya karena keringat. Zul belum mau beranjak dan masih lama membiarkan sekarung rumputnya mematung di sampingnya. Ia memeluk kedua lututnya. Nanti malam sudah tarawih dan besok ia berpuasa. Suatu keanehan menjalar diseluruh tubuhnya.
Aku rindu Emak. Ramadhan kali ini tanpa Emak.
Zul merindukan hujan yang selalu menghadirkan suara Emak. Hujan pertama dimusim penghujan yang ia takutkan. Ia menenggelamkan wajahnya diatas tangan yang memeluk kedua lututnya. Mengharap hujan dimusim kemarau sangat mustahil. Matanya berkaca-kaca memandang langit.
****
            Malam merangkak dengan gerah. Setelah shalat tarawih Zul tak berhenti berkipas-kipas dengan sesobek kardus minuman. Ia melepas kaosnya dan terbaring disamping bapaknya seperti biasanya.
“Sepertinya akan hujan Zul.” Ujar bapaknya.
Zul beranjak bangun dan berlari keluar halaman. Benar saja. langit malam begitu pekat tanpa bintang. Kilat bersahut-sahutan tanpa petir. Zul berjongkok di atas titian bambu yang menghubungkan halaman dengan teras rumahnya. Ia terus memandang langit. Menunggu hujan. Mengenang suara Emak yang memekik memanggilnya saat hujan. Zul mulai merinding ketakutan. Karena yang ia dengar adalah suara Emak menjelang kematiannya. Ia kembali kedalam dan berbaring memeluk bapaknya.
“Hujan akan turun ya, Pak..?? Gusti Allah Maha Kuasa. Menurunkan hujan saat kemarau melanda. Harapan yang aku anggap mustahil terjadi.”
“Apa yang kamu minta pada Gusti Allah, Zul?”
“Ramadhanku kali ini tanpa Emak, Pak... dengan hujan aku bisa merasakan  kehadiran Emak.”
Hujan mulai turun membawa bau tanah yang segar. Zul menatap langit-langit rumah dan genting yang basah merembes karena air hujan. Ingatannya tentang Emak bermunculan. Emak yang selalu menyediakan menu buka keinginannya agar ia yang masih kecil bisa berpuasa dengan semangat dan sempurna. Es setrup berbau prambhos yang khas dengan lauk sambal teri kesukaannya. Begitu juga saat sahur. Emak juga menyediakan teh hangat yang tak begitu manis dan lauk kesukaannya, masih sambal teri. Sebelumnya Emak akan membangunkannya dan ia akan membantunya menyiapkan.
Kenangan itu begitu kuasa memeluknya malam ini. Zul merapatkan sarungnya dan memeluk erat bapaknya yang lebih dahulu terlelap. Membenamkan wajahnya untuk menghilangkan ingatan terakhir itu. Hujan semakin deras dan malam begitu dingin mencekam. Suara Emak mendengung-dengung. Suara terakhir Emak.
“Zuuung...Zuung”
Pasti itu yang selalu terdengar.
***
“Sahur Cung...”
Suara itu lembut terdengar bersamaan sentuhan dingin yang merambat di keningnya. Zul merasakan sentuhan Emaknya. Sentuhan tangan Emak yang dingin setiap membangunkannya untuk makan sahur. Bisikan Emaknya yang selalu membuatnya ia bangun sempurna. Tapi kali ini ia akan membiarkan tangan itu terus mengelus keningnya. Merasakan hempasan nafas Emak yang juga dingin menghirup udara dini hari. Zul semakin merapatkan tangan dan kakinya dibawah naungan sarungnya. Zul semakin menikmati hingga tanpa sadar ia menarik ujung-ujung bibirnya. Belaian itu semakin melenakannya dan Zul terus saja terpejam tanpa mengindahkannya.
“Sahur cah Bagus..”
Suara lembut itu masih saja terdengar, mengalir di sekujur tubuhnya bersama darah. Menghangatkan telinganya lalu menyentak saraf-sarafnya. Ia tergagap dan terbangun. Dikedip-kedikan matanya yang masih terasa sepet. Dengan pandangan masih remang-remang ia melihat sosok bapaknya.
“Bapak..” lirihnya masih parau.
Sayup-sayup suara koprek dari kejauhan membangunkan orang sekampung untuk sahur masih terdengar olehnya. Ia melihat arah jam dinding bundar yang berwarna suram di dinding kayu dekat dipannya.
Masih jam 02.00
Zul masih celingukan.
“Kenapa Zul?”
Jadi suara dan tangan lembut itu cuma mimpi.
Zul menggelengkan kepalanya.
“Zul masih ingat cara Emak membuat sambal teri?”
Pertanyaan Bapak membuat kerinduannya makin menyeruak tanpa permisi. Dan ternyata Bapak mencoba menghadirkan kembali sosok Emak pada sambal teri kesukaannya. Menghadirkan kembali suasana Ramadhan tahun lalu yang masih bersama Emak. Wajar saja Bapak bertanya seperti itu karena dulu Emak sering mengajaknya bersama-sama membuat sambal teri menjelang sahur.
“Besok kalau kamu merantau dan kangen Emak, kamu bisa membuat sambal seperti ini Zul.” Kata Emak waktu itu.
“Iya Mak,..”
****

Pagi, 06:37
Bangilan, 29 mei 2017


 kredit gambar: http://www.pixoto.com/cc-line

1 komentar:

  1. Merasuk dalam jiwa sekali kakak cerpenya, serasa masuk dalam cerita itu

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.