Header Ads

Header ADS

Anyaman Ketupat untuk Miya


Oleh: Masenja

Riyanto duduk di beranda rumah. Matahari masih terasa terik meski sudah miring ke barat, menciptakan bulir-bulir keringat yang tak henti membanjiri wajahnya. Dengan lincah kedua tangannya yang gelap sibuk menganyam lembar-lembar janur kuning menjadi kulit ketupat.
Sesekali ia menyeka keringat di dahinya.
Seminggu setelah lebaran fitri, orang-orang di kampungnya akan merayakan lebaran ketupat. Untuk menambah pemasukan, Riyanto berjualan janur dan anyaman ketupat.
Riyanto sangat piawai menganyam ketupat, sebuah pekerjaan yang lebih lumrah dilakukan oleh kaum perempuan. Sebenarnya ia bisa melakukan pekerjaan itu bukan tanpa sebab. Riyanto bisa membuat anyaman ketupat karena terpaksa. Lebih tepatnya karena rasa takut.
“Kalau kamu tak bisa membuat ketupat, besok di akhirat, kamu akan dihukum memikul Penis Jelmo!”
Itu yang dikatakan kakeknya dua puluh tahun lalu. Saat itu ia masih bocah ingusan berusia tujuh tahun, dan telah beberapa kali mendengar tentang siksa neraka dari guru ngajinya.
“Penis Jelmo itu besarnya seukuruan batang pohon kelapa,” lanjut kakeknya.
Riyanto kecil bergidik membayangkan dirinya, yang karena tak bisa membuat  ketupat, harus menerima siksa memikul penis sebesar batang pohon kelapa sendirian. Terseok-seok. Terjatuh lalu bangkit. Terjatuh lagi dan terus berusaha bangkit, sedang di belakangnya malaikat neraka tak henti-henti mengayun-ayunkan cambuk apinya.
Setelah giat berlatih, Riyanto kecil pun akhirnya bisa membuat ketupat.
Kini, anak-anak kecil tak ada yang bisa menganyam ketupat. Barangkali tak ada lagi orang tua yang menakut-nakuti mereka dengan ancaman siksaan memikul Penis Jelmo di akhirat. Atau ada, tapi anak kecil sekarang tak lagi takut dengan ancaman semacam itu.
Besok lebaran ketupat. Riyanto mendapat pesanan dua ribu janur dan dua ratus buah anyaman ketupat. Sekarang, orang-orang lebih senang hal-hal yang praktis, bahkan orang kampung sekali pun.
Dulu, ketika pohon kelapa masih banyak dijumpai di samping atau belakang rumah, tak ada yang menjual janur. Orang-orang akan mendapat janur dengan cuma-cuma untuk keperluan membuat ketupat atau hiasan pernikahan. Tapi setelah wabah hama kumbang badak, pada awal tahun 2000, yang menghabiskan hampir seluruh pohon kelapa di kotanya, janur menjadi hal yang langka. Kebun kelapa yang dulu bisa dijumpai di mana-mana, kini hanya tinggal cerita.
Riyanto ingat, ketika menggembala kambing bersama teman-temannya, ia sering kali haus dan menjadikan kelapa muda sebagai sasaran dahaga mereka. Saat musim jagung atau kacang tiba, mereka akan membuat unggun di pinggir sungai dan membakar jagung, kacang atau ketelah. Dan kenikmatan jagung bakar itu tidak lengkap tanpa segarnya air kelapa muda. 
Ada kejadian lucu yang selalu diingat Riyanto saat momen mencuri kelapa muda itu. Ia yang memanjat pohon kelapa hari itu, sedangkan Rohmat, salah satu temannya, menunggu di bawah. Saat Riyanto hampir sampai di pucuk kelapa, tak sengaja kakinya menginjak pelepah kelapa yang sudah kering dan akhirnya pelepah itu rontok. Tanpa sempat memperingatkan, pelepah itu jatuh dan menimpa kepala Rohmat. Temannya itu pun semaput tertimpa pelepah kelapa. Setelah kejadian itu, Rohmat diberi julukan Rohmat Blokang: pelepah kelapa, oleh teman-temannya.
Kini tak ada lagi pohon kelapa di kampungnya. Dan entah mengapa seolah tak ada yang merasa perlu menanam pohon kelapa. Barangkali memang butuh waktu lama untuk menunggu pohon kelapa tumbuh, tapi tidakkah orang-orang di kampungnya punya keinginan mewariskan pohon kelapa kepada anak cucu meraka, sebagaimana yang telah dilakukan oleh nenek moyang. Atau barangkali rasa trauma akan wabah hama kumbang badak, sebagaimana yang dulu pernah terjadi, menjadi mimpi buruk bagi keinginan mereka untuk menanam kembali pohon kelapa.
Untuk mendapatkan Janur, Riyanto harus pergi ke kota sebelah yang jarak tempuhnya memakan waktu dua Jam. Sebenarnya, banyak yang menjual janur di pasar kecamatan. Hanya saja harganya cukup mahal dan tidak cocok jika hendak dijual kembali.
Tangan Riyanto masih cekatan menganyam ketupat ketika seorang perempuan dengan seorang putri kecil yang menangis di gendongannya tiba di beranda.
“Mas, Mas Riyanto masih punya janur?” ucapnya.
Riyanto menoleh sejenak. Hatinya berdebar. Perempuan itu bernama Miya. Perempuan jelita yang dulu pernah begitu berharga di dalam hidupnya.
“Wah. Maaf sekali, Mbak! Itu sudah dipesan semua.”
Kaku Sekali. Ada perasaan tak enak yang mendera dada Riyanto saat mengucapkan kalimat itu. Dulu, ia tak pernah sekalipun berkata tidak untuk perempuan itu. Ia mencintainya sepenuh jiwa raga. Perempuan itu bisa membuatnya mengangkat gunung atau terjun ke dalam lautan api.
“Ya sudah, Mas. Matur suwun!”
Miya tersenyum kecil dan berlalu. Meski tak melihatnya, Riyanto tahu ada raut kekecewaan yang terbit di wajahnya.
Riyanto termenung beberapa saat. Kenangan masa lalu kembali bertumpang tindih di kepalanya. Ia tersadar, dan mencoba membuang jauh-jauh bayangan menyedihkan itu. Ia mulai menganyam ketupat lagi.
Riyanto dan Miya dulunya adalah sepasang kekasih yang serasi. Orang-orang mengakui itu. Tapi untuk bekal ke pelaminan, serasi saja tidak cukup. Hubungan sepasang muda-mudi yang sudah terjalin selama dua tahun itu harus kandas karena orang tua Miya tak setuju anak semata wayangnya menikah dengan pedagang sayur keliling.
Miya dinikahkan dengan anak seorang Polangan dengan keyakinan bahwa hidupnya akan bertabur cahaya kebahagiaan, dan Riyanto pun terpuruk berbulan-bulan.
“Heh! Ngelamun apaan?”
Riyanti, kakak kandung Riyanto mengagetkannya. Riyanto hanya diam dan berusaha melanjutkan kembali anyamannya.
“Aku ambil pesananku. Duapuluh biji, ya,” ucap Riyanti.
Riyanto mengangguk. Riyanti mulai menghitung dan menalikan ujung-ujung ketupat pesanannya.
“Tadi, Miya ke sini.” Riyanto akhirnya bersuara. Lirih sekali.
“Miya lagi. Miya lagi. Mbok ya, yang sudah itu, sudah. Ndak usah diingat-ingat lagi. Miya sudah punya suami, punya anak. Ndak usah dipikirkan. Pikirkan saja masa depanmu sendiri.”
Riyanto menyesal telah membuka omongan tentang Miya dengan kakak perempuannya. Sebenarnya Riyanto tahu betul karakter kakak perempuanya yang terlalu berterus terang, keras kepala dan sering sok tahu. Tapi tadi ia hanya ingin sedikit berbicara soal perasaannya. Dan ternyata Riyanti sama sekali bukan orang yang tepat untuk itu.
Selesai menalikan ujung ketupat menjadi dua ikat dan meninggalkan selembar sepuluh ribu, Riyanti berlalu. Ia sama sekali tak mengacuhkan adiknya yang masih diam, tersesat dalam perasaannya sendiri.
Waktu berjalan lambat. Matahari masih sengat membakar kulit bumi, mata Riyanto nanar memandangi tumpukan janur kuning di depannya. Entah mengapa, tiba-tiba ia jadi teringat sebuah puisi pendek karangan seorang penyair tampan bernama Haikal Nursyam yang berjudul Hari Pernikahan:
Hari Pernikahan
: untuk meylinda
Di hari pernikahanmu
orang-orang bersuka-cita
menghiaskan janur kuning
di halaman rumahmu.
Sementara itu, aku menggigil
menyaksikan kesedihan tak henti-hentinya
mengibarkan bendera kuning
di kelopak mataku.
2015
Semua orang tahu bahwa hidup Miya tak sebahagia yang dicita-citakan oleh kedua orang tuanya. Bapak mertuanya bangkrut dan terserang stroke. Mashari, suami Miya, menghilang karena ikut terlilit hutang. Bahkan, ketika hari lebaran kemarin, Mashari juga tak kelihatan batang hidungnya. Perlahan, gurat kecantikan di wajah pualam perempuan itu pun hilang digerogoti kesedihan. Kini, Miya hanyalah perempuan berwajah tirus yang mulai kelelahan dihajar teruk zaman.
Riyanto mulai membayangkan wajah Miya yang bersedih dan merana karena pulang tanpa ketupat dan putrinya yang terus menanis di gendongannya. Meski kini bukan siapa-siapa lagi baginya, ia tak bisa melihat perempuan yang pernah begitu dipujanya, bahkan mungkin sampai hari ini masih, kecewa.
Beberapa orang datang dan mengambil pesanan janur. Mengulurkan beberapa lembar pecahan sepuluh ribu, lalu pergi.
Matahari mulai redup sinarnya dan Riyanto bergegas menyelesaikan anyaman ketupatnya. Setelah selesai, ia segera memacu motornya ke arah barat. Ke sebuah kebun kelapa, di luar kota, dengan jarak tempuh dua jam. Ia tak keberatan, ia ingin memberikan secercah kebahagiaan untuk Miya, perempuan yang pernah begitu berharga di masa lalunya, meski hanya dengan beberapa buah ketupat yang akan dianyamnya dengan tangannya sendiri.
Sepanjang perjalanan, Riyanto tak berhenti membayangkan bagaimana wajah sumringah Miya ketika menerima anyaman ketupat itu darinya. Riyanto semakin bersemangat memacu motornya. Ia boleh gagal membawa Miya ke pelaminan, tapi ia tak boleh gagal memberikan anyaman ketupat-ketupat itu.
Saat matahari hampir tenggelam, Riyanto sudah akan sampai di kebun kelapa. Tanpa merasa perlu menengok ke kanan dan kiri ia membelokkan motornya. Sial, dari arah berlawanan, sebuah truk dengan sopir yang sedang asyik berjoget mendengarkan lagu dangdut koplo, melaju dengan kecepatan setan. Tanpa sempat menekan pedal rem, truk hitam yang bak belakangnya bertuliskan “Putus Cinta Soal Biasa, Putus Rem Mati Kita” itu menabraknya.
Tubuh Riyanto mencelat dan truk itu pun perlahan namun pasti berhenti. Dari sebuah dvd player rongsok di dashbrod truk, masih terus mengalun suara Ratna Antika menyanyikan lagu Bojo Ketikung:
sak tenane atiku loro
nanging aku mencoba ra popo
sak tenane atiku loro
nanging aku kebacot loro
………………………………..

Asyelole juoosh!

Bangilan, 01 Juli 2017 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.