Header Ads

Header ADS

AKU BUKAN LESTARI



Oleh: Ayra Izzana R

Ia sebenarnya adalah seorang laki-laki. Bila diperhatikan dengan seksama ia sangatlah tampan. Parasnya menawan karena ia pandai merawat tubuh dan juga wajahnya. Otot tangannya kekar. Bulu-bulu kakinya yang selalu tampak bila ia memakai pakaian itu memperlihatkan bahwa ia laki-laki jantan yang tak punya kelainan. Kumisnya yang tumbuh tipis di bawah hidung dan dagunya akan membuat siapa saja terkesima. Sebenarnya ia memang laki-laki normal dan tak punya kelainan. Tapi....
“Lestariiii......” suara serak dan terdengar tua itu membuat ia secepatnya membuang parang di tangannya dan melesat ke dalam rumah berdinding kayu sederhana itu.
Di sebuah dipan dengan kasur yang berbungkus sprei berwarna ungu tua yang sudah pudar warnanya itu terbaring sosok wanita paruh baya yang air matanya selalu keluar. Wanita itu belum tua benar. Karena rambutnya yang masih seluruhnya menghitam dan hanya ada beberapa helai uban saja yang menyembul di balik dahinya. Kulit wajahnya belum mengeriput tapi lingkaran matanya kehitam-hitaman seperti mata panda akibat kurang tidur. Kelopak matanya pun selalu membengkak karena air mata yang selalu mengalir.
Laki-laki itu mendekat dan cepat-cepat memakai kerudung.
“Ibu perlu apa...?”
Wanita itu memandang dengan mata sayu agak sedikit terbuka. Sudut matanya tergenang air. Laki-laki yang dipanggil “Lestari” itu menyeka dengan hati perih. Setiap hari ia menikmati perih itu. Tak jarang ia menahan air mata yang begitu kuat mendesak melihat sosok ibunya yang terbaring dalam keadaan sakit. Bukan sakit badan. Tapi suatu kehilangan yang mengakibatkan ibunya mengalami sakit jiwa yang begitu mencabik-cabik. Sakit yang mengakibatkan wanita yang juga melahirkannya itu melupakan anak lainnya yaitu dirinya.
“Kamu baik-baik saja kan Nduk...?”
Raut khawatir di wajahnya memudar. Nafasnya terhembus lega. Selalu itu saja yang ditanyakan wanita malang itu.
“Iya... Lestari baik-baik saja, Bu...”
Ia menahan rasa. Menahan rasa pemberontakan. Matanya terpejam rapat agar air mata yang ingin mendesak keluar dengan cepat bersembunyi lagi di balik matanya. Setiap nama Lestari terucap dari mulut ibunya, luka itu kembali bernanah dan berdarah-darah. Tertoreh tajamnya ucapan yang sebenarnya lembut dan penuh kasih sayang. Ya... ibunya selalu memanggilnya “Lestari” dengan penuh kasih sayang. Memanggilnya dengan penuh kehangatan layaknya seorang ibu yang hanya punya satu Lestari.
Ia Lesmana, bukan Lestari. Laki-laki normal. Ia Lesmana, yang ingin selalu menghadirkan sosok Lestari di hadapan ibunya. Ia Lesmana, seorang anak yang sudah dilupakan ibunya karena Lestari. 
Lesmana kembali membuka kerudung dan gamis kesayangan Lestari yang dipakainya. Kemudian menggantinya dengan pakaiannya sendiri. Memakai celana dan kaos garis-garis lalu menutupinya dengan jaket. Sejenak ia bercermin.
Aku masih tampan.
Ia melipat gamis dan kerudung Lestari dengan rapi dan meletakkannya di atas bantal. Ibunya tak akan memanggilnya “Lestari” lagi sampai sore menjelang, setelah memastikan bahwa Lestari baik-baik saja. Dari balik pintu kamarnya ia melihat ibunya sudah tertidur pulas diiringi dengkuran halus. Wajahnya terlihat tenang.
Lesmana berjingkat keluar kamar dan menutup pintu rumah dengan pelan-pelan dari luar. Lama ia tercekat setelah keluar rumah yang berarti ia keluar dari peradaban menjadi seorang perempuan.
****
“Lestari..... Lestari...” suara panggilan itu sudah terdengar parau dan serak.
Dari luar, Lesmana berlari dan membuka pintu rumah secepatnya. Secepat kilat ia mengganti pakaianya dan mendekati ibunya yang dari suaranya sudah lama memanggil.
“Iya, Bu...”
Lesmana mendekat dan ibunya meraba wajahnya.
“Ibu memanggilmu sejak tadi.. jangan ke mana-mana. Ibu takut terjadi sesuatu denganmu, Nduk..
Lesmana menelan air ludah dan terasa pahit.
Duuh Gusti... sampai kapan ibuku bisa menerima kalau Lestari sudah Kau pinta dengan cara yang sudah Kau kehendaki.
Lesmana mengusap-usap rambut ibunya lembut supaya perempuan itu merasa nyaman dan kembali tertidur. Wajah yang tirus dan selalu pucat itu ia pandangnya pekat. Luka itu masih saja tampak. Kehilangan salah satu dari buah hatinya yang tak wajar dan tak pernah bisa ia terima. Kehilangan yang membuat Lesmana tidak bisa menjadi diri sendiri demi Ibunya, agar tak selalu kesetanan dan berteriak-teriak seperti orang gila. Kehilangan yang membuat ia kehilangan jati diri yang sesungguhnya. Teman-teman dan tetangganya sudah tak lagi memanggilnya:
“Lesmana...”
Tapi...
“Lestari...”
Masih jelas di ingatannya enam tahun yang lalu, saat Lestari dengan senyum manis tersungging pamit pada ibunya untuk belajar kelompok di salah satu rumah temannya yang berada di ujung desa. Dia yang biasanya mengantar belahan pinangnya itu sedang tak berada di rumah karena ada latihan bela diri di lapangan. Ibunya sudah mewanti-wanti agar Lestari tak pulang terlalu larut. Tapi Lesmana sudah berjanji bahwa saat jam belajar Lestari selesai ia akan menjemputnya.
Malam itu ibunya menunggu dengan resah karena hampir larut malam Lestari tak kunjung pulang ke rumah. Apalagi saat ia menjemput Lestari salah seorang sahabatnya mengatakan bahwa Lestari sudah pulang terlebih dahulu. Lesmana berlarian dan tak menjumpai Lestari di rumah. Ibunya semakin gelisah dan wanita yang sudah tak bersuami itu menyuruhnya untuk mencari anak perempuan terkasihnya itu ke manapun.
Hingga pagi menjelang, di sebuah bendungan air yang berada tepat di ujung desa tempat Lestari belajar bersama teman-temannya, ditemukan sesosok mayat perempuan yang sudah tak berbusana lagi. Lehernya terjerat tali rafia dan wajahnya rusak parah bekas hantaman benda keras. Seisi desa gempar dan akhirnya ibunya menjerit histeris hingga hilang kesadaran setelah diketahui bahwa mayat itu adalah Lestari yang dibunuh setelah diobrak-abrik kehormatannya. Lesmana tak percaya bahwa hidup adiknya yang masih lima belas tahun berakhir dengan cara yang biadab seperti itu. Ibunya menjadi tak waras dan selalu memukuli serta menyalahkannya setiap hari karena tak menjaga Lestari dengan baik. Nama Lestari yang selalu dilengkingkan. Ibunya hanya bisa terdiam dan tertidur tenang setelah ia memakai pakaian dan kerudung milik Lestari.
Lesmana menghembuskan nafas berat. Lelehan kesedihan meluber di hatinya saat wajah milik ibunya selalu dengan jelas menceritakan peristiwa itu. Ia ingin sekali memberi pengertian pada ibunya bahwa yang ia miliki di dunia ini bukan Lestari saja, melainkan juga dirinya. Tapi kehilangan Lestari serta merta membuat ibunya melupakannya.
“Lestari sampai sekarang akan terus hidup kalau tidak dibunuh...” itu saja yang diteriakan. Iya... Lestari hidup sampai sekarang kalau tidak dibunuh.
“Lestari dimatikan oleh manusia buka dimatikan oleh Tuhan....” begitu recau ibunya.
Lesmana tidak mungkin menjadi Lestari selamanya. Lesmana pernah berpikir, bila takdir berbalik, ia yang dicekik dan mati, apakah ibunya juga akan hilang akal seperti ini? Lalu apakah Lestari juga akan menjadi Lesmana? Tapi setiap kali melihat kesedihan di wajah ibunya, Lesmana tak sampai hati berpikir bahwa perempuan itu hanya menyayangi Lestari saja.
“Lestari…” suara ibunya membuyarkan lamunannya.
Dibelainya rambut perempuan itu. Wajah yang lara dan sepasang mata yang tak henti-henti menyanyikan kesedihan.  
Sungguh, perasaan cinta sekaligus iba kepada ibunya yang membuat Lesmana selama ini tabah mengenakan baju-baju dan kerudung milik Lestari. Meskipun, di dalam hati, ia harus menyimpan air matanya bertahun-tahun.
Biarlah waktu yang membuat Ibu sadar bahwa Lestari sudah bahagia menghadap Tuhan. Biarlah waktu yang memberi tahu ibu, bahwa aku Lesmana bukan Lestari.
“Lestari… Lestari… Kamu di sini saja, bersama Ibu. Kamu jangan ke mana-mana. Ibu takut terjadi sesuatu denganmu, Nduk..
Terdengar olehnya suara parau perempuan itu menyebut Lestari.
“Iya, Bu. Lestari di sini. Di samping Ibu.” Perih. Hatinya tercabik-tercabik mengatakan itu.
Ada air mata yang perlahan mengalir, setelah sekian lama ia tahan, saat mengusap wajah itu. Kedua matanya menutup rapat dan bulu matanya bergetar. Ia tahu ibunya mencoba menenangkan diri dan belum sepenuhnya tidur pulas. Tapi sebenarnya ia ingin sekali berbisik:
“Aku bukan Lestari, Bu. Aku Lesmana.”
Lesmana memeluk tubuh kurus ibunya dengan erat. Sesuatu yang hangat dan basah juga menyentuh pipinya. Air matanya mengalir lagi. Dan pelukannya semakin erat.
****
Seberang kali, 27/07/2017
pukul 07:17 WIB





Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.