Header Ads

Header ADS

Sirkus, Cinta Pertama dan Suksesi Kekuasaan


Judul: Sirkus Pohon
Pengarang: Andrea Hiarata
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Edisi: Pertama, Agustus 2017
Hal: xiv + 410 halaman
ISBN: 978-602-409-9

Nama Andrea Hirata melejit setelah tetralogi Laskar Pelangi terbit. Karya-karyanya lebih dulu mendapat predikat mega best seller, dibajak dan menyesaki toko buku jauh sebelum nama Tere Liye dikenal dan dipuja-puja oleh pembaca prosa tanah air. Ia dengan senjata lokalitas Melayu Belitong, menyihir pembaca dengan narasi yang mengharu biru, kisah-kisah konyol dan cinta yang tragis, kearifan lokal hingga kritik sosial. Meski sering kali dilebih-lebihkan dan tidak masuk akal, Andrea Hirata mampu menyelipkan sebuah semangat dan optimisme dalam diri pembaca lewat cerita yang diramunya.
 Sirkus Pohon adalah novel terbaru Andrea Hirata. Novel kesepuluh yang terbit menjelang hari kemerdekaan Indonesia yang ke 72. Di halaman pembuka, lelaki berambut ikal yang pernah mengenyam pendidikan di Sorbonne University, Paris itu tak lupa menorehkan dua kata di sana: Untuk Indonesia. Barangkali itu adalah sebuah isyarat bahwa apa yang ditulisnya tidak lain dan tidak bukan adalah sebuah potret peristiwa yang sedang terjadi di tanah air akhir-akhir ini.

Sirkus dan Jungkir Balik Cinta Pertama

Sebagaimana kisah cinta Ikal dengan Aling di Laskar Pelangi atau Arai dan Zakia Nurmala di Sang Pemimpi, atau yang paling baru, Sabari dan Marlena dalam novel Ayah, di dalam Sirkus Pohon, Andrea Hirata kembali menghadirkan kisah heroik cinta pertama.
Secara garis besar, novel yang berisi 87 fragmen dan terbagi menjadi enam babak ini, berisi dua kisah yang diwedar berselang-seling, yang sebenarnya hanya meliki sedikit saja irisan satu sama lain, yaitu kelompok Sirkus Keliling Balesia .
Kisah pertama adalah Hobri atau biasa dipanggil Hob, yang jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Dinda, seorang penjaga toko kelontong di pasar Belantik, justru saat reputasinya sedang anjlok pasca digelandang Ajun  Inspektur Syaiful Bukhori ke kantor polisi musabab corong Toa. Tak ada yang menyana dewi cinta berpihak padanya. Cinta Hob beroleh sambut dan dia berjanji akan mencari pekerjaan yang layak, membuat sebuah rumah dan menggandeng Dinda ke pelaminan.
Nasib baik kembali berpihak kepada Hob. Bujang lapuk yang sukar mendapat pekerjaan layak karena selalu dihantam oleh sebuah aturan mematikan “SMA atau Sederajad” itu mendapatkan pekerjaan di Sirkus Keliling Blasia sebagai badut sirkus.
Hob tak pernah mengenyam bangku SMA. Ia dikeluarkan dari sekolah saat kelas 2 SMP karena salah bergaul dengan seorang barmocorah kampung bernama Taripol. Mendapatkan pekerjaan sebagai badut sirkus, ia bahagia bukan main. Ia bahkan terkejut menganga-nganga, ternyata sirkus bukan pekerjaan remeh, ada banyak pelajaran berharga yang selama ini luput darinya.
“Terbuka mataku, sirkus begitu asyik disaksikan, gembira ria para penonton, sorak-sorai anak-anak. Namun ternyata di balik itu terdapat cita-cita yang tinggi, mimpi yang agung dan rezim latihan militan yang tak bisa ditawar-tawar.” (Hal.71)
Tak ayal jika Hob kemudian mantap menjadikan sirkus sebagai jalan hidupnya: “Nasib telah melangkahkan kakiku ke sirkus keliling ini dan aku bahagia menerima profesi baruku sebagai badut sirkus…., Di sini aku ingin bekerja keras dan bermimpi besar. Aku tak mau berada di tempat selain di sirkus ini.”  (Hal.87)
Tapi, ketika hari pernikahannya bersama Dinda sudah ditetapkan, justru sebuah musibah datang melibas Hob. Dinda hilang dari rumah dan ditemukan kembali dalam keadaan linglung, bisu dan hilang ingatan. Cinta pertama yang gemilang membuat Hob bertahan. Tak lelah ia menemani Dinda yang tak lagi mengenalinya, menghiburnya dengan menggunakan kostum badut yang dibanggakannya itu. Rasa cinta, komitmen dan kesetiaan yang dimiliki Hob benar-benar menguras air mata.
Di lain cerita, pada sebuah hari Jumat, yang bertepatan dengan sidang perceraian kedua orang tua mereka masing-masing, Tegar dan Tara tak sengaja bertemu di taman bermain Gedung Pangadilan Agama. Tara yang ingin main prosotan tak memiliki kesempatan, karena ada tiga anak laki-laki yang selalu saja mnghalang-halangi dan merebut jatahnya.
Dari jauh, Tegar melihat peristiwa itu dan ia merasa iba. Ia pun memutuskan menjadi pahlawan bagi Tara. Ia membelanya dan Tara terkesan. Di taman bermain Pengadilan Agama, cinta tumbuh di hati sepasang belia itu. Cinta yang terus mereka rawat sampai tahun-tahun berganti. Cinta yang tak pernah bertemu karena satu sama lain tak saling kenal. Tegar hanya bisa menyebut Tara “Layang-layang” sedangkan Tara menyebutnya “Pembela”.
Tegar terus bermimpi bisa bertemu Tara kembali. Selain menjadi tulang punggung keluarga dengan melanjutkan usaha servis sepeda angin tinggalan ayahnya, ia giat berlatih olah raga dan ikut seleksi Paskibra. Semata-mata agar suatu kali Tara melihat dirinya dan mengenalinya. Sedangkan Tara, selain berusaha menghidupkan kembali kelompok sirkus yang dulu dikelola oleh kedua orang tuanya—sebelum mahligai rumah tangga mereka kukut— setiap Jumat sore, ia selalu datang ke taman bermain Pengadilan Agama dan berharap bisa bertemu dengan Tegar di sana.  Ia juga tak henti melukis wajah Tegar dengan imaginasinya sendiri selama bertahun-tahun.
Dalam hal ini, harus diakui bahwa Andrea Hirata, begitu piawai memainkan emosi pembaca. Dengan teknik selang-seling cerita ia meniupkan rasa penasaran sekaligus rasa sebal  karena  menunda-nunda pertemuan antara Tegar dan Tara.

Pohon Delima dan Suksesi Kekuasaan

Sebatang pohon delima tumbuh di halaman rumah Hob, setelah Dinda mendadak edan dan Sirkus Keliling Blasia tutup usia karena hutang yang diwariskan oleh ayahnya Tara. Pohon itu membikin banyak sekali masalah bagi Hob dan ia berkali-kali berusaha menyingkirkannya tapi selalu gagal. Ketika ia nyaris putus asa, tiba-tiba sebuah kabar mengejutkan datang, pohon delima itu adalah pohon keramat. Orang-orang berbondong datang ke sana untuk mengundi nasib dengan cara memeluk pohon tersebut dan menggantungkan foto di sana. Hob jadi disegani dan dihormati karenanya.
Hal itu semakin menjadi-jadi ketika musim pemilihan kepala desa datang. Pohon delima itu jadi rebutah. Tak hanya di desanya saja, pohon itu juga sering disewa oleh calon kepala desa dari desa sebelah karena banyak yang yakin pohon delima tersebut mampu memenangkan siapa saja yang memasang fotonya di sana. Adalah Gastori, seorang juragan dari Belantik, yang ingin jadi kepala desa Ketumbi. Segala cara ia lakukan, mulai dari cara yang normal seperti melakukan pencitraan dan menyewa lembaga survei, dan cara yang tidak normal: pergi ke dukun. Ia berhasrat memiliki pohon delima itu seorang diri. Ia ingin memasangkan fotonya yang mirip David Becham itu di sana. Sendirian dan hanya satu-satunya.
Hingga akhir, Andrea Hirata menuliskan fenomena suksesi kekuasaan dengan alusi pohon delima itu dengan baik dan lancar. Ia menyelipkan humor, mencubit politisi dengan bahasa yang satir dan menguliti tabiat manusia yang haus kekuasaan dengan cara yang paling jenaka. Sebagai contoh, kita bisa lihat apa yang terjadi dalam fragmen “Siapa yang Pegang Mik, Dialah yang Berkuasa”. Ketika diselenggarakan debat calon kepala desa Ketumbi di sebuah radio lokal, tak seorang pun dari lima calon kepala desa mendapatkan mik kecuali Gastori.  Ia memonopoli mik tersebut sepanjang acara. Bahkan ketika ada calon lain yang berpendapat bahwa ajang debat tersebut sebaiknya digunakan sebagai sarana tukar pikiran, Gastori muntab:
“Tidak bisa!” potong Gastori. “Kesempatan ini adalah untuk bertengkar! Bukan untuk tukar pikiran! Kalau kau mau bertukar pikiran, pergi sana ke penasihat perkawinan!” (Hal.218)
Andrea Hirata adalah salah satu novelis terbaik yang dimiliki Indonesia. Karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa. Ia mengenalkan budaya Indonesia yang diwakili oleh masyarakat melayu Belitong ke belahan dunia lain. Meski tak seintens dan seharu biru Laskar Pelangi, Novel Sirkus Pohon ini sangat penting untuk dibaca dan sangat mungkin untuk dinikmati.
Sirkus Pohon menggambarkan manusia dari sudut pandang tiga hal: cinta, cita-cita dan hasrat berkuasa. Kita bisa melihat dengan jelas bagaimana Andrea Hirata meletakkan sekat-sekat pemisah antara tiga hal tersebut: Bagaimana ketulusan dan kegigihan  seorang mempertahankan dan memperjuangkan cinta pertamanya; bagaiman seseorang yang telah menjadikan sirkus sebagai jalan hidup, pekerjaan yang dicintai sekaligus impiannya, tak kenal lelah, potang-panting berusaha mempertahankannya; dan bagaiman seseorang yang memiliki kekayaan, mampu membeli apapun, menghalalkan segala cara demi mendapatkan kekuasaan.

Sirkus Pohon adalah cerminan kita hari ini. Ia adalah apa yang terjadi di negeri kita sekarang. Cinta dan cita-cita luhur yang digilas oleh harsat segelintir orang yang ingin berkuasa. Sebuah keinginan yang hanya melahirkan pecah belah dan permusuhan. Tak salah jika di halaman pertama, Andrea Hirata memberikan persembahan novel ini:  Untuk Indonesia. Lalu jika dalam novel Sirkus Pohon ada akhir bahagia dan yang hak mengalahkan yang batil, apakah dalam halaman sirkus kekuasaan di Indonesia akan terjadi hal yang serupa?

Ikal Hidayat Noor, lahir di Tuban, senang menulis cerpen dan puisi.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.