Header Ads

Header ADS

Batu di Kepala Emak



Oleh : Ayra Izzana Riyanti*


Kamu kapan nikah, Mar?
Selalu itu pertanyaan yang dilontarkan Emak kepada Marini. Pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang telah diulang-ulang lebih dari ratusan kali. Pertanyaan yang membikin kuping Marini panas dan membuatnya tidak betah tinggal di rumah.
Sebenarnya sudah berkali-kali pula Marini mengabaikan pertanyaan itu, tapi sepertinya Emak begitu gigih, keras kepala dan seolah tak ingin berhenti.
“Mar, Emakmu ini sudah ingin nimang cucu.”
Marini yang baru selesai menggoreng telur di dapur segera mematikan kompor dan lekas-lekas manuju kamarnya. Sebenarnya tadi ia lapar, tapi setelah mendengar pertanyaan Emak, tiba-tiba saja nafsu makannya hilang. Kemudian terdengar suara pintu ditutup keras-keras. Marini kesal.
Di luar kamar, Emaknya masih saja mengoceh soal keinginannya agar Marini, anak semata wayangnya itu, lekas menikah.
Perempuan yang baik itu yang jodohnya cepat, Mar! Ndak baik kalau kamu menunda-nunda nikah.”
Usia Marini 20 tahun. Itu usia yang masih sangat muda dan Marini belum ingin menikah. Tapi itu bukan alasan yang bisa diterima oleh Emak.
“Dulu Emakmu ini umur lima belas tahun sudah menikah!”
Marini masih bisu. Ia tahu sebenarnya yang membuat Emak akhir-akhir ini ngotot memaksanya segera menikah bukanlah karena faktor usia semata. Melainkan Emak sudah punya calon untuknya. Karem, anak Haji Arif. Tetangga sendiri, rumahnya hanya berjarak selemparan batu.
“Mar, Karem itu kurang apa, sih?”
Marini tidak suka Kareem. Titik. Tidak perlu dicari-cari lagi kekurangannya apa.
Karem itu calon suami idaman, Mar. Pekerjaannya mapan, rajin ke masjid, dari keluarga baik-baik. Anak satu-satunya lagi. Kamu kan juga anak satu-satunya Emak. Cocok dan ideal.”
Emak tak henti-hentinya memuji Karem, ia tak tahu bahwa di dalam kamar, Marini sedang menutup telinganya dengan bantal dan berusaha berkali-kali memejamkan mata.
***
Marini memejamkan mata. Dalam ingatannya muncul kembali sosok dirinya yang saat itu baru kelas satu SD menangis sesenggukan dan Karem yang tertawa kegirangan sambil mengolok-olok dirinya.
Wadah tempat ia meletakkan mainan sengaja diinjak oleh Karem. Melihat Marini menangis, Karem sama sekali tidak merasa bersalah, ia malah mengundang teman-temannya untuk menyoraki Marini.
“Marini cengeng! Marini cengeng”
Marini semakin meraung-raung. Tak lama kemudian Emak datang, ia berharap Emak akan menegur Karem. Tapi anehnya Emak malah membela Karem. Nggak usah nangis, to Mar. Nanti emak belikan lagi, begitu ucap Emak. Marini kecewa.
Pernah juga, di lain waktu, Marini diikat Karem di bawah pohon mangga dengan selendang yang biasa ia gunakan untuk menggendong boneka mainannya. Ia meronta-ronta sampai putus asa. Marini menangis histeris, tapi Karem hanya tertawa melihatnya menderita. Semakin keras tangis Marini, semakin keras pula tawa Karem.
Dan lagi-lagi Emaknya cuma berkata, ”Karem hanya bercanda, Mar.
Sejak saat itu Mariani kecil sangat membenci Karem, dan ia mogok makan selama berhari-hari gara-gara Emak selalu membela Karem. Marini trauma dan harus opname di rumah sakit.
***
Suatu sore, sepulang dari kursus menjahit, Marini kaget. Di rumahnya ada seorang tamu. Lelaki berjubah putih dan berpeci sewarna. Tamu itu tak lain adalah Haji Arif, bapaknya Karem. Ada apa gerangan. Marini sekilas memandang wajah Emak yang begitu sumringah mendampingi Abah, lalu ia bergegas masuk kamarnya.
Tak seperti biasanya Bapaknya Karem begitu resmi bertamu, batin Marini. Biasanya hanya bertandang biasa seperti tetangga pada umumnya. Berpakaian selayaknya dan membicarakan hal-hal ringan seputar sawah, padi, jagung, tembakau dan lain sebagainya.
Di dalam kamar Marini merinding mengingat wajah Emak yang berbinar seperti bertabur bintang. Sayup-sayup ia mendengar percakapan Abah dan Haji Arif.
Ya terserah Marini saja, Kang. Kalau Marini mau dan setuju ya, kami dengan senang hati akan menerima dan merestui.
Loh loh ada apa ini! Marini tiba-tiba saja merasa seluruh tubuhnya lemas lunglai.
“Pasti Marini setuju, Bah.” Terdengar suara Emak begitu bersemangat. “Serahkan ke Emak. Nanti Emak yang atur.
Dada Marini mulai sesak dan sulit bernafas. Emak tidak pernah tahu betapa dirinya membenci Karem.
***
Hari-hari setelah kedatangan bapaknya Karem adalah hari-hari diam bagi Marini. Jika saat kecil dulu ia memprotes sikap semena-mena Emak dengan mogok makan dan akhirnya sakit, sekarang ia memilih mogok bicara. Marini mengunci diri di dalam kamar, dan hanya keluar untuk makan, mandi atau membuang hajat.
Emak kalang-kabut dan Abah mulai menyalahkan Emak.
“Kalau Marini ndak mau, ya sudah. Jangan dipaksa!” ucap Abah dengan nada tegas dan penuh wibawa.
Tapi sepertinya Emak tak mengindahkannya. Ia tetap ngotot dengan keputusannya.
Lha wong diarahkan yang baik kok nggak mau. Ini kan demi masa depan Marini.
Yang tahu arah masa depan itu cuma Tuhan,”  sahut Abah. “Biarkan Marini memilih calon suaminya sediri, yang menjalani nanti kan Marini.
Sesaat kemudian, terlihat Marini keluar kamar dan bergegas menuju kamar mandi. Emak langsung memburu Marini.
Sebenarnya maumu apa, Mar?”
Wajah Marini merah  memandang Emak.
“Kamu nggak suka Karem?”
Apa kamu sudah punya pacar?”
Marini tetap bungkam seperti patung, bahkan mengangguk atau meggelengkan kepala pun tidak. Ia langsung masuk kamar mandi. Dari jauh Abah hanya menarik nafas panjang melihat Emak yang ngebet sekali bermantukan Karem.
Emak masih saja menunggu, keluar dari kamar mandi Marini terperangah dan  sebal.
“Jawab, Mar. Apa kamu sudah punya pacar?” cerca Emak.
Marini tidak punya pacar. Marini hanya tidak suka Karem. Marini tidak suka sikap Karem yang suka semena-mena. Tapi Emak tak pernah tahu, dan tak pernah mau tahu.
“Emak dapat apa kalau aku nikah sama Karem?”
Tiba-tiba pertanyaan pedas melontar begitu saja dari mulut Marini.
“Loh... bukan Emak. Tapi kamu yang dapat apa saja, Mar. Kamu yang akan dapat semuanya.
Marini sudah tahu maksud Emak. Sudah umum di desanya seorang yang kaya akan besanan dengan tetangga yang kaya juga, dengan maksud harta mereka tak jatuh ke tangan orang jauh, dan para orangtua bisa leluasa mengawasi bagaimana anak-anak mereka mengolah harta tersebut. Marini jadi teringat pada teman dekatnya, Riyani.
Mereka baru lulus SMP, waktu Riyani menangis bercerita ke Marini soal perjodohannya dengan Sidar, anak seorang mantan kamituwo. Marini tak mampu memberi bantuan apapun. Ia hanya bisa memeluk Riyani erat-erat.
Riyani sebenarnya gadis yang cerdas dan pintar. Sedari Sekolah Dasar, Riyani lah sang juara kelas. Riyani pernah berkata padanya ingin menjadi seorang bidan. Sebenarnya kedua orangtuanya mampu untuk mewujudkan cita-cita itu. Tapi sayang kedua orang tua Riyani lebih memilih anaknya menjadi menantu orang kaya dari pada menjadi seorang bidan.
“Apa Emak mau Marini bernasib sama seperti Riyani?” tanya Marini.
Emak yang mendengar pertanyaan Marini tiba-tiba matanya melotot.
“Hush! Kamu ini ngomong apa?!” Dari nada suaranya jelas sekali Emak tidak suka dengan pertanyaan Marini.
Emak tahu persis kisah Riyani dan Sidar. Pernikahan mereka awalnya nampak baik-baik saja. Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa Sidar adalah seorang lelaki yang senang berlaku kasar dan semena-mena kepada istrinya. Di samping itu, Riyani pandai sekali menyimpan penderitaannya. Hingga pada suatu pagi seluruh penduduk desa gempar melihat mayat Riyani di samping sumur dekat rumahnya. Riyani yang saat itu sedang hamil tua bersimbah darah dengan sebuah pisau dapur menancap di dadanya.
Riyani mati dibunuh suaminya. Menghilangnya Sidar dan sebuah buku catatan harian milik Riyani menjadi bukti. Setahu Marini, Riyani memang gemar menulis buku harian sejak kecil. Di buku itu Riyani bercerita panjang lebar bagaimana penderitaan dirinya bersuamikan Sidar yang tak berperi kemanusiaan.
Mengingat itu Marini miris. Ia tidak ingin bernasib sama dengan sahabatnya. Tapi Emak sepertinya tak ambil pusing dengan kejadian tersebut.
 “Kamu jangan berlebihan, Mar. Karem jelas berbeda dengan Sidar. Karem tahu agama. Dari keluarga baik-baik pula!”
   Ya Allah, Mak. Marini hampir putus asa. Emak sudah buta, di matanya yang nampak dari Karem hanyalah kebaikan saja. Padahal dulu Emak tahu sendiri kejadian ia diikat Karem di pohon mangga.
Batu di kepala Emak sudah begitu keras. Berbagai alasan dari Marini dan larangan Abah sama sekali tak diindahkannya. Saat ini, Marini hanya bisa pasrah dan berdoa semoga Tuhan membuka mata Emak dan mencairkan batu yang telah sedemikian mengeras di kepalanya.
***
Esoknya, pagi-pagi sekali, Marini mendengar ada keributan luar biasa di luar rumah. Awalnya Marini tidak tertarik untuk melihat keributan itu. Tapi keributan itu semakin menjadi-jadi. Ia pun keluar dan kebingungan mendapati Emak menangis tersedu-sedu di depan pintu rumahnya.
Keributan itu berasal dari rumah Karem. Di sana, dengan wajah serupa tukang jagal, seorang paruh baya sedang berteriak-teriak sambil mengacungkan-acungkan golok di tangannya. Napasnya memburu dan keringatnya bercucuran. Ia tak henti-henti menghujat Karem dan keluarganya.
Marini semakin kebingungan dan memeluk Emak. Abah ada di antara lelaki paruh baya dan Haji Arief. Ia berusaha mendinginkan lelaki yang nyaris kehilangan akal tersebut. Sedangkan Karem terlihat mengintip ketakutan dari balik pintu, wajahnya pucat seperti mayat. Marini masih bertanya-tanya, ada apa ini? Apa yang diinginkan lelaki itu? Mengapa Karem begitu ketakutan dan apa yang ditangisi oleh Emak?
Sepersekian detik kemudian, seperti kabut yang perlahan memudar oleh sinar matahari, jawaban atas pertanyaan Marini pun mulai nampak benderang.
“Kalau anakmu Karem tidak mau tanggung jawab atas kehamilan anakku, biar dia mati dikawini golokku ini.”
“Tenang, Pak! Saya mohon tenang! Masalah ini bisa dibicarakan dengan baik-baik dan secara kekeluargaan,” suara Abah terdengar begitu putus asa.
Marini mulai mengerti apa yang sedang terjadi, meski sebenarnya ia masih bertanya-tanya mengapa Emak menangis begitu histeris. Apakah Emak sedang kecewa pada  perbuatan Karem, atau ia kecewa karena akan batal mendapatkan mantu idamannya. Atau, ini sebenarnya yang diinginkan Marini, Emak menangis karena merasa bersalah kepada Marini.
Marini masih menebak-menebak hal tersebut, sampai dirasanya pelukan Emak semakin erat. Meski terbata-bata, ia mendengar Emak mengucapkan sesuatu:
“Ma-af-kan Emak, Mar! Ma-af-kan, Emak.”
Tuhan Maha Baik. Mungkin inilah cara Dia mencairkan batu di Kepala Emak.
Marini masih saja diam di pelukan Emak. Tapi, entah sadar atau tidak, ada air mata yang mulai mengalir di pipinya.
Bangilan, 18 November 2016


*Ayra Izzana Riyanti lahir di Tuban. Ibu dua orang anak ini senang membaca dan menulis. Ia alumni Pondok Pesantren As-Salam dan aktif bergiat di Komunitas Kali Kening Tuban.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.