Header Ads

Header ADS

Kembali ke Kota Kenangan


Oleh. Rohmat Sholihin*

Lima belas tahun berlalu.
            Kereta api senja masih terus melaju. Kini aku akan hadir lagi pada kota tua, kota penuh kenangan. Kota yang mengajari aku tentang makna aksara. Aku akan datang di Villa tua itu lagi atas permintaan kawan-kawan lama diacara Reuni dengan diisi diskusi bedah buku yang telah aku terbitkan, kumpulan cerpen Rindu Itu Berganti Hujan, aku berharap kau ada dan datang diacara reuni dan diskusi bedah buku terbaruku. Tapi, aku tak berharap penuh bisa bertemu denganmu. Disituasi seperti ini semua telah sibuk dengan urusan dan kesibukan masing-masing. Kita bisa bertemu dalam satu forum, bersenda gurau merupakan kenikmatan tersendiri. Tak sabar rasanya ingin segera sampai dan melepas lelah bersama mereka.
            Kereta api berhenti sejenak distasiun yang aku tak tahu, namun dengan susah payah aku cari-cari tulisan nama stasiun melalui jendela, ternyata aku lihat dipojok dekat toilet ada tulisanStasiun Sragen (SR), aku kembali duduk dan meluruskan kakiku yang terasa kaku, maklum perjalanan panjang Surabaya Gubeng-Lempuyangan Yogyakarta. Daripada terdiam ku keluarkan buku kumpulan cerpen Rindu Itu Berganti Hujan, ku baca lagi satu cerpen Stasiun Tua Dikampungku, kembali terasa pikiranku ke masa kecil, ketika bermain di stasiun dekat rumah yang rindang dengan pohon-pohon Meh yang besar, ada empang penuh dengan ikan, bermanja-manja dengan alam yang masih bersahabat.
            Kereta api berjalan lagi. Kupanggil pelayan kereta dan memesan segelas kopi panas. Ku pandang lagi keadaan luar jendela. Stasiun Sragen akan ku tinggalkan. Mendengar cerita dari orang yang duduk didepanku, bahwa stasiun Sragen ini bernama Mojosragen karena dekat dengan keberadaan pabrik gula Mojo.  
“Angker, nak.”
“Oh iya.”
“Bangunan yang dibangun oleh Belanda hampir semua terkesan angker, bentuknya megah, besar dan kuat bertahan selama bertahun-tahun. Cara membangunnya selalu memperhatikan kaidah-kaidah kontruksi yang sesuai tehnik arsitektur, bukan asal dan…”
“Dan tidak korupsi.”
“Bisa juga.”
‘Perhatikan bangunan-bangunan stasiun diberbagai daerah hampir semua bisa bertahan, mulai dari stasiun Gubeng sampai stasiun Jakarta Kota. Luar biasa kuatnya, bentuk kontruksinya, tepat sekali.”
“Bukan hanya bangunan stasiun saja pak, bendungan-bendungan juga masih kokoh berdiri. Hanya saja kita tidak mau merawatnya dengan baik, jadinya perlahan-lahan mulai rusak.”
“Kesannya kita hanya bisa jadi bangsa pengrusak.”
“Bisa juga.”
“Bukan.”
“Kau tak terima?”
“Ehm, iya.”
“Alasan?”
“Kita bisa membangun lagi.”
“Buktinya?,”
“Monas.”
“Itu bangunan setelah merdeka, sebelum jauh abad bangsa bule datang ke bumi pertiwi ini sudah ada bukti-bukti sejarah peninggalan dari nenek moyang kita, candi-candi, dan kubah masjid.”
“Dan kau mengaguminya?”
Aku hanya mengangguk pelan.
“Mas hendak pergi kemana?”
“Yogyakarta, dan bapak?”
“Sama. Ada kepentingan apa? Kuliah?”
“Tidak pak, saya sudah lulus. Hanya ada undangan dari kawan-kawan lama, ya semacam reunian bapak.”
“Dimana?”
“Wisma Kaliurang bapak.”
“Ogh, asyik punya kesempatan untuk bertemu lagi.”
“Ya begitulah bapak.”
Obrolan semakin jauh dan akrab, berbagai macam isu hangat menjadi perbincangan santai dalam kereta. Hingga tak terasa telah sampai di Stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Kuajak jabat tangan sambil mengucapkan,”terima kasih bapak dan selamat jalan semoga kita bisa bertemu lagi.”
Bapak tersenyum,
“Broto,”
“Abrasyi,”
“Nama bagus.”
“Terima kasih.”
Akupun segera turun.
“Inilah kota kenangan. 15 tahun yang lalu. Tepatnya tahun 2001, bersama rombongan kawan-kawan dari kota Malang dan Pekalongan. Kini aku datang lagi dengan kegugupan-kegugupan usiaku yang tak lagi muda. Yogyakarta aku datang lagi dengan semangat gempita, suara yang tetap menyala, dan senyum yang selalu tersimpul pada seutas manis bibirku. Mata dan hati yang selalu menyulam raut, entah raut siapa? Tentu raut kenangan yang tertinggal pada bekas guratan-guratan dinding hati yang terdalam, aku masih punya kesempatan menyapa kota dengan materi yang berbeda, berbeda dari kemarin ketika aku berjibaku dengan segumpal ide dan sepotong sunyi, menyanyikan lagu mars mu dengan tangan mengepal, berteriak dijalanan, suaranya kini semakin menghilang hanya jadi gaung asa,” gumamku.

            Tiba-tiba mataku memandang suatu tempat. Warung kopi stasiun. “Ah, suasana yang masih tetap sama, selalu ramai, dan penjualnya masih tetap sama, meski wajahnya mulai dihiasi keriput tapi senyum dan empatinya pada semua orang masih tetap sama seperti yang dulu, 15 tahun tahun bukan waktu yang singkat, ternyata Tuhan masih menuntunku menginjak tempat ini. Syukurlah, aku masih punya kesempatan merajut kenangan yang telah pudar oleh waktu, semoga ada hikmah dalam perjalanan hidup yang singkat, setidaknya aku telah melihatnya kembali sebelum mati.” Pikirku. Aku mulai menempati tempat duduk diluar warung, kutaruh tas rangselku dimeja, lalu memesan nasi gudeg dan segelas teh hangat. Kembali mataku memandang situasi stasiun yang ramai. Tak sengaja aku memandang paras yang sedang duduk dengan sebatang rokok dimulut serta segelas kopi pahit didepannya. Pandangannya garang segarang rambutnya yang gondrong tak terurus dan kumis serta janggutnya yang lebat. Tubuhnya tinggi dan ceking. Kulihat dari sikap dan perangainya ia masih lajang meski aku tak tahu kehidupannya sekaligus. Aku hanya menebak saja dengan perkiraan-perkiraanku. Lagi pula aku tak ada urusan dengannya. Tapi hatiku membayangkan sesuatu pada raut itu, entah raut itu benar atau tidak, aku tak mau mengkhayal, kubiarkan mataku memandang yang lain, tapi raut itu semakin jelas, kau. “Ah, bukan. Hanya pikiranku saja yang nakal, hanya pikiranku saja yang masih penasaran tentang keberadaanmu, hanya pikiranku saja yang minta dijelaskan tentang kebangsatanku dimatamu.” Batinku. Segera hidangan kusantap meski sesekali aku melihat gerak-gerik bahasa tubuhnya yang hampir mirip kau. “Ah sudahlah banyak orang mirip didunia ini.” Batinku.
            Makanan ku bayar, lalu melanjutkan lagi menuju Bugisan. “Tapi lebih baik aku mampir buang air kecil dulu,” pikirku. Dan segera aku cari toilet stasiun. Baru mau masuk ruangan toilet pria, aku sedikit tersentak, mendengar suara gertakan dari arah belakang yang tidak begitu keras, namun cukup mengancam, dan aku tak asing dengan suara itu.
“Cepat serahkan dompetmu atau pisau ini menikammu!”
“Cepat, tunggu apa lagi!”
“Kau bangsat!” teriaknya setengah keras.
Dengan cepat kubalikkan badanku. Ternyata pria dengan rambut gondrong, kumis dan janggut lebat yang kulihat diwarung sewaktu makan. Dan, aku tak asing lagi dengan suara “bangsat” itu, juga tatapan matanya.
“Rinto.”
“Kau.”
Dengan secepat kilat kau pun melompat menghindariku dan berlari sekuat tenaga mencari titik aman. Aku tak mau ketinggalan juga memburumu dari arah belakang. Berkejar-kejaran. Kau berlari melompat ke jalan kereta api, tak ketinggalan aku juga memburumu. Tak perduli kereta api dari arah berlawanan, kau terus berlari menghindariku, benar-benar nekat. Kereta api semakin dekat.
“Rinto, minggir, awas!” tubuhku melompat ke samping begitu juga kau. Aku segera bangkit, berlari dan menangkap tubuhmu yang belum sempat berdiri.
“Rinto. Tak usah lari lagi, capek.”
“Lepaskan aku, bangsat.”
“Kau selalu membawa sial.”
“Sial apa?”
“Sial segalanya.”
“sudahlah, aku salah apa? Kenapa kau bisa begini To? Apa yang salah dengan otakmu?”
“Cemburu.”
“Hah, cemburu? Dimana otak filsafatmu itu, dari pagi sampai malam selalu bicara filsafat, tapi kenapa kau menempuh jalan hitam begini.”
“Sudah tak usah khotbahi aku,”
“Aku berhak khotbahi kau, kau salah, kau jahat, kau cemburu padaku? Apa yang kau cemburui?, bukankah kau lebih lincah, lebih hebat dariku, dimana filsafatmu?”
“Sudah pergi saja kau!”
“Tak bisa, kau sakit, jiwamu itu perlu diobati. Kau sudah tak waras, begitukah filsafat yang kau pelajari selama ini hanya begini hasilnya, penodong, merampas milik orang lain.”
‘Sudah, berhenti, aku muak dengan ocehanmu, berhenti kau membeo, aku tak butuh pidato-pidato murahanmu.”
“Bukankah kau yang murahan. Menodong orang lain.”
Dengan kesal kutampar wajah sangarnya, “plak”, ia kaget dan mau membalasku, namun kutampar lagi, “plak”.
“Bunuh saja aku, Brasy, aku kalah,” dengan menyodorkan pisaunya padaku.
“Tak berguna aku membunuhmu, tak berguna.” Kutatap wajah kalahnya lagi.
“Kenapa kau bisa sampai tersesat disini.” Tanyaku
“Aku kalah denganmu Brasy. Aku kalah.”
“Kalah apa?”
“Dimana Puti?”
Aku kaget dan tersentak,
“Astaghfirullohaladzim, kau menyukai Puti? Kau cemburu padaku, kau marah-marah padaku saat kau mabuk di Villa itu,hingga kau begini. Sinting kau!”
“Dimana dia?”
“Dia sudah menikah dengan orang lain. Itu kabar yang aku dengar.”
“Dan kau tak jadi menikahinya Brasy?”
“Oh Rinto, aku sedikit tak ada niat untuk menikahinya. Paham?”
“Kenapa kau tak menikahinya?”
“Aku tak mencintainya.”
“Kenapa kau selalu dekat dengannya?”
“Tak lain ketika ia curhat padaku tentang ketidak beranianmu untuk mendekatinya, padahal…”
“Cukup, tak usah kau teruskan lagi kata-katamu, ayo kita lekas berlalu sebelum polisi menangkap kita!”
“Kau takut polisi?”
“Ya sekarang, karena aku salah.”
“Kalau dulu?”
“Tidak, aku menyuarakan kebenaran.”
“Kenapa kau bisa begini?”
“Entahlah, aku muak dengan perasaanku sendiri. Aku putus asa dengan ketidak jelasan hidupku. Bangsat!”
“Ulangi!”
“Bangsat!”
“Kau hanya fasih bilang kata-kata kotor itu. Apa tidak ada yang lain?”
“Tidak.”
“Ayo sekarang ikut aku!”
“Kemana?”
“Bugisan.”
“Hah, Bugisan. Untuk apa?”
“Iya, Bugisan. Aku ingin kau turut aku.”
“Baiklah.”

            Reuni dan bedah buku kumpulan cerpen Rindu Itu Berganti Hujan pun dimulai. Villa tua masih seperti yang dulu. Sejuk. Namun, kenangan-kenangan lama yang membeku perlahan-lahan mulai mencair. Bersenda gurau penuh keakraban. Hampir semua kawan-kawan bisa hadir, dan tak terduga Rinto telah aku temukan di ruang pojok hitam dunianya. Dan lebih mengejutkan lagi kabar yang sempat aku dengar tentang Puti yang sudah menikah hanya kabar kabur saja. Kuperhatikan seluruh ruangan dan kawan-kawan yang hadir tak ada mereka berdua. Aku keluar ruangan sebentar, melihat taman sekitar Villa tua.
“Bangsat! Kau telah menghiasi tamannya.”
Kaliurang, 6 Oktober 2016.
                       
*Penulis adalah Guru MI Salafiyah Bangilan dan aktif di Komunitas Literasi Kali Kening Bangilan-Tuban.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.