Melacurkan Ideologi Adalah Awal Perbudakan
Oleh : Mashari
Pagi itu pak Ngatman berangkat mengajar dengan
semangatnya. Dengan peci sedikit miring, baju licin bekas setrika tempo hari.
Perawakannya begitu gagah dan necis dengan baju masuk dan dasi usang warisan
sang kakek. Dikayuhnya sepeda onta tua yang dicat dengan warna merah muda
matang, bukan karena apa, kecuali menuruti keinginan adik perempuan kecilnya
yang memang menjadi penyemangat hidupnya. Tidak lebih dari satu kilometer dia
sudah sampai pintu gerbang sekolah yang terlihat lusuh dengan lumut dan semaian
beringin yang masih kecil. Sesekali ia lontarkan senyum kepada siswa yang sedia
menunggu pintu gerbang sekolah hanya untuk mengingatkan untuk turun dari
kendaraan ketika memasuki area surga itu, begitu para siswa istimewa
menyebutnya.
Di dalam kantor tak banyak yang diucapkan,
duduk dengan tegapnya dengan buku ditangan. Entah apa yang dibacanya tak banyak
yang tahu, karena memang tidak banyak berani memulai interaksi dengannya, bukan
karena dia seorang pemarah atau sosok yang perlu ditakuti, mungkin kewibawaan
yang secara tidak langsung mempengaruhi sikap orang disekitar kepadanya, semua
menaruh hormat. Disamping kewibawaan yang dimilikinya, sikpanya yang unik
kadang mampu memecah kebuntuan kala bapak kepala sekolah dan istrinya banyak
mendekte para guru junior dengan tugas-tugas yang terkadang serasa tidak masuk
akal. “8 dibagi dua jadi berapa?” satu pertanyaan mudah yang sebenarnya mampu
dijawab oleh anak kelas satu atau dua sekolah dasar. Tapi tidak tahu kenapa,
ketika pak Ngatman yang bertanya seluruh isi kantor terbawa arus untuk berfikir
keras untuk menemukan jawabnnya. Pasalnya pertanyaan-pertanyaan ia sering
membuat isi kantor berfikir keras dengan akhir jawaban yang memingkalkan.
Teng teng teng. Bunyi lonceng dari potongan
rel kereta api bekas peninggalan belanda itu menandakan bahwa jam pelajaran
pertama siap dimulai. Pak Ngaatman berdiri dan berjalan menuju pintu kantor, di
hadapan cermin usang di balik pintu itu ia rapikan kembali baju dan dasinya,
dan yang tak pernah lupa adalah memeriksa resleting celananya. Ia jinjing
tumpukan buku di tangan kanannya dan beberapa alat peraga ditangan kirinya.
Dengan langkah tegap ia menuju kelas ujung bangunan tanpa tengok kanan kiri dan
sepatah katapun tak keluar dari mulutnya. Langkahnya terhenti di depan pintu
kelas dan masuk dengan tenangnya. Tak sepatah katapun keluar dari mulut siswa
sampai ia mengucapkan salam bahwa pelajaran siap dimulai. Selama pejalaran
berlangsung serasa kursi guru tidak ada fungsinya, karena dalam penyampaian
pelajaran ia lebih seirng berdiri dan mondar mandir di dalam kelas guna
tercapainya materi yang telah ia siapkan semalam suntuk.
Potongan rel kereta api itu berbunyi lagi
menandakan jam pelajaran telah usai. Sebelum meninggalkan kelas dan mengucapkan
salam, ia akhiri pelajaran dengan beberapa nasihat dan memotivasi siswa untuk
lebih memacu semangat belajarnya dan untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan
yang bertentangan dengan norma. Sosok berdasi usang itupun keluar kelas. Di
dalam kantor guru-guru muda yang memang tidak banyak tugas selain menjaga
kantor agar tidak curi orang itu sudah menantinya. “pak aku sudah tau
jawabannya” Aisyah yang duduk dipojok kantor membuka pembicaraan. Pak Ngatman
melepas kacamata tebal yang membebani hidung mancungnya seraya tersenyum.
“jawabannya 4 pak” begitu Aisyah menjawabnya diikuti Ainiyah dan beberpa guru
muda lainnya. Lagi-lagi hanya senyum simpul yang diberikan pak Ngatman, “kurang
tepat, jawabannya adalah nol”. Semua isi kantor bingung, dan saling bertanya
dimana telat kesalahannya. Dengan melingkarkan jari-jari tangannya bertemu ibu
jari dan mempertemukan kedua tangannya sehingga membentuk angka 8 ia
menunjukkan kepada isi kantor. Cicak di belandar bangunan kantor tepat
disamping lampu itupun seakan ikut menunggu penjelasan pak Ngatman. Dari dua
lingkaran jari tangan kanan dan kiri itu ia memisahkannya, maka tinggallah
angka nol. Sontak seisi kantor tertawa. Susasana seperti inilah yang selalu
ditunggu dari pak Ngatman.
Pak kepsek dan istrinya yang kadang ikut-ikut
untuk mengajar itu masuk kantor dan memecah canda tawa menjadi susasana yang
mencekam. Dengan bedak setebal tembok Cina dan lisptrik semerah darah kurban
itu memanggil Aisyah. Dengan sigap namun dengan raut muka dan senyum penuh
malas itu aisyah duduk didepan istri pak kepsek. Sekilas apa yang diperagakan
Aisyah seperti mbok mban yang
menghadap kepada ratunya sehingga dia harus berjalan berjongkok seratus meter
sebelum sampai dihadapan sang ratu. Dan semua sudah bisa mengira apa yang akan
terjadi. Cercaan dan paparan kesalah dari tugas yang diberikan kepadanya tidak
berjalan seperti yang diharapkannya. Aisyah adalah tangan kanan Istri pak
kepsek yang merangkap sebagai sekretaris, bedahara, maupun seksi-seksi lain di
sekolah ini.
Dari kejauhan pak Ngatman meraba dadanya.
Kejadian itupun pernah menimpanya yang notabene punya usia lebih dewasa.
Sehingga pemandangan buruk itu ia berasaha mengabaikannya. “Pak Ngatman, kalau
dulu mau mengambil pelajaran lain untuk diajukan ke Pemkab kan bapak sudah jadi
PNS seperti yang lainnya.” Pak kepsek yang duduk di depannya membuka
pembicaraan. “yang sudah ya biarlah pak, mungkin belum rejekinya. Kalau nanti
ada pengajuan lagi mohon dengan sangat untuk mengabari saya”. Dengan senyum ia
menjawabnya. Namun dari senyum itu terjadi perang di altar luka dua belas tahun
silam yang hampir sembuh. Ia jadi ingat kembali pada peristiwa dimana dia hanya
punya waktu dua hari untuk mempersiapkan surat untuk mengajuan ke Pemkab, tanpa
kesalahan semua surat itu ia persiapkan, mulai dari foto, copy ijasah, dan beberapa
surat penunjang.
Masih sangat jelas dalam ingantannya, tepat
pukul sebelas malam Aisyah yang malam itu membantunya menyiapkan berkas-berkas
mendapat telpon dan bergegas meninggalkannya. Sebelum pergi Aisyah mohon
ijin karena dipanggil istri pak kepsek. Pak Ngatman menahannya dan menitipkan
beberapa berkas untuk besok di tanda tangani pak kepsek. Pintu kantor ditutup
dan ia bergegas ke desa seberang, karena nenek satu-satunya meninggal dunia.
Tepat jam delapan pagi dimana mayat neneknya akan diberangkatkan ia mendapat
telepon dari pak kepsek yang memeberitakan bahwa setelah dirundingkan dengan
dewan guru senior dia tidak bisa meloloskan berkasnya. “terserah anda pak”.
Terlihat jelas keputus-asaan dan kekalutan yang sedang melandanya, dan tak
banyak orang tahu apa yang sedang ia rasakan. Dengan jiwa besar ia berusaha
merelakan.
Pak Ngatman bertahan dengan ideologinya.
Karena baginya tak ada alasan pelajaran yang sudah diampunya puluhan tahun
harus dilepaskan dan berpindah dengan pelajaran lain. Dan belum tahu siapa
nantinya yang akan memegang pelajaran itu. Sementara dalam waktu semalam tidak
akan mungkin merubah berkas yang sudah ada sejak puluhan tahun silam yang
melibatkan tanda tangan banyak orang pula. Baginya Ideologi adalah nilai diri
dan melacurkan ideologi adalah awal perbudakan.
Tidak ada komentar