Tak Ada Pelangi Dan Senja Untukmu
Oleh : Adib Riyanto
Jika
aku bisa mengerat senja dan memasukkannya kedalam amplop seperti yang dilakukan
Seno Gumira Ajidarma untuk pacarnya, tentu hal itu sudah kulakukan
untukmu-meski kau bukan pacarku. Aku pikir itu akan menjadi hadiah yang
menyenangkan. Dan kau pasti akan menganggap aku gila karena telah benar-benar
mengerat senja: mana mungkin seseorang bisa mengerat senja,
kau pasti sudah gila, batinmu. Lalu kau akan terkejut setelah
membuka amplop yang memang benar-benar berisi senja dariku. Kau mengambilnya
dengan sangat hati-hati, membuka lipatannya kemudian memasangnya di dinding
kamarmu. Dan kau heran bagaimana aku bisa mengerat senja seindah itu - yang
kini telah kau pasang di dinding kamarmu.
Hari
ini langit sedang menangis- bukan menangis tapi
gerimis. Dan itu selalu mengingatkanku padamu: gadis manis bermata
sendu, Riyani.
Setelah
gerimis reda nanti aku berencana mengambil juga pelangi untukmu: aku akan
menarik pelangi itu dari atas bukit, lalu menggulungnya kemudian menyimpannya
dalam saku celanaku yang nantinya akan kuberikan untukmu. Ya, seperti sebuah
cerita yang di tulis Sungging Raga. Akhirnya kau memasang pelangi itu diatas
senja yang sebelumnya sudah lebih dulu kuberikan. Sempurna! Kau tersenyum puas
karena telah memiliki pelangi dan senja di kamarmu. Bukankah itu yang kau
harapkan Riyanni? Sementara itu orang-orang diluar sana saling bertanya karena
tiba-tiba senja menghilang dan meninggalkan lubang yang besar di cakrawala.
Mungkin dengan cara itu kau akan terkesan dan mulai menaruh hati padaku.
"Lelaki
seperti apa yang kamu cari?" Sebuah tanya mengudara dari mulutku suatu
ketika. Kau diam. Hanya debur ombak yang menjawab. Pandanganmu terlempar jauh
pada rembulan yang berenang di dalam lautan. Lalu kau bercerita tentang seorang
pangeran impianmu. Pangeran berkuda putih dengan membawa senja di tangan
kanannya serta menggantungkan pelangi di lehernya. "Apakah dia menenteng
senja?" Tanyaku. "Mana bisa seperti itu? Manusia mana yang mampu
menenteng senja dan mengalungkan pelangi di lehernya? Itu tidak mungkin."
Dan lagi-lagi kau menutup mulutmu rapat-rapat. Dan tatapanmu... ah, tatapanmu
seteduh ombak di ceruk itu.
Sejak
saat itu, aku berusaha mencari cara untuk mencongkel senja dari cakrawala. Juga
menarik pelangi, untukmu Riyanni. Setiap kali senja mementaskan operanya aku
akan bergegas naik ke tempat yang tinggi untuk mencongkel senja dengan membawa
godam, linggis dan kawan-kawannya. Aku selalu hampir bisa mencongkelnya dari
cakrawala, tapi berkali-kali juga waktu selalu berhasil menggagalkannya. malam
teramat cepat menarik senja ke pangkuannya.
Tahukah
kau Riyanni? Ternyata dugaaanku selama ini salah. Senja tak selembut yang
kukira, senja itu keras. Sangat keras. Bahkan peralatan-peralatan yang ku pakai
untuk mencongkel senja mengeluh. Ya, mereka mengeluh Riyanni.
"Aku
tak mau kau gunakan mencongkel senja lagi." Protes godam. "Ya, kami
sudah lelah." Yang lain menimpali. Lalu mereka berlarian meninggalkanku
sendiri, terpekur mengutuki diri sendiri. Aku hampir putus asa karena masih
belum juga berhasil mendapatkan senja. Sementara itu aku mendengar kabar jika
mulai banyak lelaki yang mendekatimu, bahkan ada juga yang hampir meminangmu.
Aku menangis. Ya, aku menangis Riyanni, seperti anak kecil yang kehilangan
mainan kesayangannya.
Kemudian
aku bertanya kesana-kemari mencari seseorang yang mampu membantuku mencongkel
senja dari cakrawala. Berbagai orang telah kutemui di kota ini Riyanni, tapi
mereka malah menganggap aku gila. "Apa kau sudah gila anak muda?"
Ucap seorang tua. "Dasar orang gila."
Bahkan
anak-anak kecil di kotaku tak mau kalah meneriakiku gila Riyanni.
Terakhir
aku mendatangi orang-orang berseragam. Aku meminta tolong pada mereka untuk
membantuku mencongkel senja dari cakrawala. "Tolong lah pak, mungkin anda
bisa membantu saya mencongkel senja." Aku memelas.
"Wani piro?" Jawab mereka. Ah, jawaban orang-orang berseragam itu mengingatkanku pada sebuah iklan racun tikus di televisi.
"Wani piro?" Jawab mereka. Ah, jawaban orang-orang berseragam itu mengingatkanku pada sebuah iklan racun tikus di televisi.
Aku
mengurung diri di kamar setelah itu. Aku benar-benar hampir putus asa karena
tak kunjung mendapatkan senja untukmu. "Pelangi! Ya, mungkin aku bisa
mengambil pelangi lebih dulu." Gumamku. Tapi ini musim kemarau, pelangi
tak muncul di musim seperti ini. Aku mendengus pasrah.
Tapi
pernah suatu ketika di musim kemarau yang basah sebuah pelangi tipis muncul.
Cahayanya sedikit redup. Aku bergegas mendaki bukit untuk mengambilnya, tapi
saat aku berhasil memegang salah satu ujungnya pelangi itu meleleh, cairan
warna-warni membasahi tanganku. Seperti cat, tapi warnanya sedikit pucat.
Tubuhku lunglai.
Saat
aku hampir putus asa untuk mendapatkan senja, akhirnya berhembus sebuah kabar
yang mampir di telingaku. Ada seorang tua yang sakti jauh di selatan kota ini.
Dari kabar yang ku dengar, dulunya dia adalah seorang penulis terkenal. Bahkan
ada yang bilang dia pernah menjadi rembulan untuk menghibur anak-anak korban
bencana. Tapi kini ia mengasingkan diri dari hiruk pikuk duniawi dan hidup
bahagia dengan keluarga kecilnya.
"Masih
ada harapan. Mungkin dia bisa membantuku mencongkel senja." Batinku. Tanpa
membuang waktu aku segera menemuinya. Tak seperti bayanganku, ternyata dia
tidak benar-benar tua. perawakannya tegap, berkulit putih serta rambutnya hitam
pekat dan sedikit berombak: tak ada sehelaipun yang berwarna putih. Tapi dia
sudah berumur ratusan tahun. Dia sudah tua, tapi masih terlihat muda. Sangat
aneh. Sepertinya dia bisa melawan hukum semesta.
"Maaf
anak muda aku tidak bisa membantumu." Ucap lelaki itu. "Yang akan
kamu lakukan terlalu beresiko." Lanjutnya.
"Tolonglah
tuan, bantu aku mencongkel senja. Bukankah dulu anda juga pernah menjadi
rembulan?" Aku memelas.
Lelaki
itu diam sejenak dan memperbaiki posisi duduknya. "Cobalah bertanya pada
Seno Gumira ajidarma, dia pernah mengerat senja untuk pacarnya. Mungkin dia
bisa membantumu."
"Lalu
bagaimana dengan pelangi? Bagaimana aku bisa menariknya?"
Ada
jeda cukup lama, lelaki itu menghembuskan nafas berat. "Mungkin kau bisa
menanyakan hal itu pada sungging raga, dia pernah menulis tentang seorang gadis
yang menarik pelangi." Jawabnya.
"Apakah
mereka penulis seperti tuan?"
"Ya."
"Apakah
mereka juga berumur ratusan tahun?"
"Ya.
Dan kau terlalu banyak bertanya anak muda."
Aku meringis.
Aku meringis.
Aku
merasakan harapan itu kembali menyala setelah hampir padam Riyanni. Akhirnya
ada juga orang-orang semacam itu. Aku tak sabar untuk segera mempersembahkan
pelangi dan senja untukmu.
Aku
bergegas menemui Seno Gumira
Ajidarma setelah berpamitan dengan lelaki yang pernah menjadi rembulan itu.
Ajidarma setelah berpamitan dengan lelaki yang pernah menjadi rembulan itu.
Mungkin
kau tak percaya Riyanni. Tapi ternyata Seno Gumira Ajidarma dan Sungging Raga
masih terlihat muda seperti lelaki yang pernah menjadi rembulan itu. Padahal
usianya sudah ratusan tahun. "Apakah semua penulis seperti itu? Selalu
tampak muda walau sudah berusia ratusan tahun? Apakah semua penulis bisa
melawan hukum semesta?" Batinku. Tapi aku tak peduli. Yang terpenting aku
akan segera mempersembahkan pelangi dan senja untukmu Riyanni.
"Tuan,
bisakah anda membantu saya mencongkel senja?" Tanyaku. Seno Gumira
Ajidarma tersenyum kecut.
"Tolonglah
tuan, kalau aku tidak bisa mempersembahkan senja untuk pacarku, maksudku: calon pacarku, dia akan meninggalkanku. Bukankah anda
pernah melakukannya untuk pacar anda?"
"Kata
siapa? Aku tak pernah melakukannya."
"Lalu
cerita SEPOTONG SENJA UNTUK PACARKU? Bukankah anda yang menulisnya?"
"Iya,
tapi aku tak benar-benar melakukannya, lagipula aku hanya mengerat senja, bukan
mencongkelnya."
"Tolonglah
tuan, kau pasti sedang bercanda, aku tau kau bisa melakukannya." Rengekku.
Seno Gumira Ajidarma mendengus kesal melihat kengototanku.
"Ya,
aku memang bisa melakukannya, tapi itu sudah sangat lama. Dan aku tak pernah
melakukannya lagi sekarang." Akhirnya dia menyerah
dengan kengototanku.
"Kalau
begitu, tolong ajari aku tuan."
"Di
dunia ini tak sedikit orang yang menyukai senja, aku tak akan membiarkanmu
merenggutnya dari mereka. Tapi aku akan meminjamkanmu." Dia mengeluarkan
sebuah amplop warna coklat. "Aku mendapatkan ini dari bawah
gorong-gorong." Lanjutnya. Aku mengangguk pelan mengamini.
"Bagaimana
dengan pelangi? Apakah anda percaya jika pelangi bisa ditarik dan di letakkan
di dalam saku celana?"
"Siapa
yang bilang?"
"Sungging
Raga, dia menulisnya dalam sebuah cerita." Seno Gumira Ajidarma diam. Di dalam
cerita ini memang banyak tokoh yang menyukai diam.
"Mungkin
saja." Jawabnya singkat.
Setelah
mengucapkan terima kasih aku bergegas menemui Sungging raga untuk mengajariku
menarik pelangi. Tapi seperti halnya Seno Gumira Ajidarma, Sungging Raga tak
mau mengajariku menarik pelangi. Ia hanya mau meminjamkannya. Ia memberiku
sebuah amplop warna putih yang katanya berisi pelangi yang di dapatnya dari
Slania, gadis kecil yang di temuinya di stasiun sidareja. Aku kegirangan
menerimanya Riyanni. Aku tak sabar memberimu pelangi dan senja yang ku pinjam
dari Seno Gumira dan Sungging Raga.
Dan
saat kita bertemu ketika itu, di depan klenteng Kwan Sin Bio yang menghadap ke
laut di kota kita, aku berubah fikiran. Aku mengurungkan niatku memberikan
pelangi dan senja untukmu.
"Aku
sudah mendapatkan pelangi dan senja seperti yang kau inginkan Riyanni." Ucapku
Sembari memberikan amplop putih dan coklat yang berisi pelangi dan senja.
Sejenak diam.
"Oh
ya?" Kau tampak sumringah dan mengambil kedua amplop itu dariku. Lalu kau
membuka amplop itu. Kau takjub saat melihat isinya.
"Pelangi
dan senja yang indah." Gumammu. "Aku tak tak pernah melihat pelangi
dan senja seindah ini, darimana kau mendapatkannya?"
"Seno
Gumira Ajidarma dan Sungging Raga. Bisakah kau mengembalikan kedua amplop
itu?"
"Kenapa?
Bukankah kau sudah memberikannya padaku?"
"Tadinya
memang seperti itu, tapi aku berubah fikiran."
Ada kerutan terpahat di wajahmu. "Aku baru saja menyadari satu hal. Aku memang mencintaimu dan berharap menjadi pangeran berkuda putih yang membawakan senja serta mengalungkan pelangi di leherku, tapi itulah yang membutakan mataku."
Ada kerutan terpahat di wajahmu. "Aku baru saja menyadari satu hal. Aku memang mencintaimu dan berharap menjadi pangeran berkuda putih yang membawakan senja serta mengalungkan pelangi di leherku, tapi itulah yang membutakan mataku."
"Kenapa
seperti itu?"
"Tahukah
kau Riyanni? Tak sedikit orang yang begitu mengagumi senja dan pelangi di dunia
ini. Lalu bagaimana jika mereka melihat senja dan pelangi hilang begitu saja
dari dunia ini? Bukankah aku hanya akan menjadi tokoh antagonis bagi
mereka?" Angin laut utara memasung jarak. "Aku menari diatas
kegelisan dan keresahan mereka Riyanni. Aku tak mau hal itu terjadi."
Air matamu meleleh seketika. Seperti es krim. Lalu kau menutup amplop itu dan mengembalikannya padaku dengan sangat hati-hati. Aku mengambilnya dan meninggalkanmu yang masih menangis. Aku memang mencintaimu, tapi aku tak mau mengambil kebahagiaan orang lain untuk kebahagianku sendiri. Aku harus mengembalikannya.
Air matamu meleleh seketika. Seperti es krim. Lalu kau menutup amplop itu dan mengembalikannya padaku dengan sangat hati-hati. Aku mengambilnya dan meninggalkanmu yang masih menangis. Aku memang mencintaimu, tapi aku tak mau mengambil kebahagiaan orang lain untuk kebahagianku sendiri. Aku harus mengembalikannya.
Cerita
ini terinspirasi dari cerpen SEPOTONG SENJA UNTUK PACARKU oleh Seno Gumira
Ajidarma, PELANGI YANG JATUH DI SIDAREJA oleh Sungging Raga dan REMBULAN KOTA
LUMPUR oleh Ikal Hidayat Noor.
Adib
Riyanto, anggota aktif Komunitas Kali Kening.
Tidak ada komentar