Perempuan itu Bernama Jasmin
Oleh : Linda
Tria Sumarno
Perempuan
berambut cepak itu berlari-lari kecil menembus hujan di tengah malam. Sepeda matic putih miliknya dibiarkan
teronggok di pinggir jalan dekat gardu tempat para warga ronda. Dititipkannya
motor maticnya itu pada seorang tua paruh baya yang dikenalnya yang sedang
turut meronda. Karena pergi ke bengkel pun hanya usaha yang sia-sia karena
untuk kota Tuban yang mulai bertumbuh ini suatu hal yang mustahil menemui
bengkel buka di tengah malam, pun di kota besar. Menuntunnya, berarti harus
rela tersiksa di bawah guyuran hujan. Kos Jasmin juga masih sekitar 1 km. Jas
hujan yang dikenakannya terlihat berlarian tertiup angin yang ikut
menyemarakkan hujan malam ini. Menjadi seorang wartawan sekaligus redaktur di
sebuah koran lokal yang merupakan anak koran terbesar di Negri ini, membuatnya
sering pulang larut. Julian, teman sekantornya yang biasanya turut menyertainya
pulang, malam ini harus absen mengantarkannya karena rengekan sang istri yang
hamil muda. Juga office boy yang yang tiba-tiba tumbang karena nyamuk Aides
Aigepty. Langkahnya dipercepat saat terdengar deru sepeda motor di belakangnya yang
membuat bising telinga. Laju sepeda motor yang melambat membuat perempuan itu
menyibakkan rambutnya yang basah dan coba untuk menengok. Terlihat olehnya
iring-iringan sepeda motor yang sekilas dihitungnya berjumlah sembilan dengan
orang-orang memakai penutup wajah dan tanpa memakai jas hujan. Hanya bola mata
yang melotot yang dapat dilihatnya oleh karena pantulan lampu jalan. Belum
sempat ia percepat langkah kakinya, tiga motor mendahuluinya dan berhenti tepat
di depannya. Seketika itu juga, perempuan yang bernama Jasmin itu berhenti dan
memasang wajah waspada. Seorang dengan perawakan besar dan otot yang terlatih,
turun dari motor dan mendekatinya disusul oleh lima orang yang lain. Sebilah
belati berkilauan tertempa pantulan lampu penerangan jalan. Darah Jasmin
terkesiap, ia mundur beberapa langkah saat belati itu ditudingkan tepat di
depan hidungnya.
“Apa yang kalian inginkan,” Jasmin memberanikan diri
bersuara.
“Kami hanya ingin kamu menghentikan langkah dan
tulisan-tulisanmu tentang obat yang kami edarkan,” Jasmin terbelalak, tahulah
ia bahwa berandal-berandal ini adalah jongos dari ketua mafia Carnopen yang
beberapa tahun belakangan ini merusak jiwa juga badan orang-orang Tuban, tak
terkecuali anak-anak bau kencur juga menjadi budaknya. Belum sempat Jasmin
menjawab, sepuluh bangkai tikus dilemparkan di bawah kakinya.
“Kalau kamu dan teman-temanmu tidak ingin bernasib
sama dengan bangkai busuk ini, hentikan segera,” seseorang yang lebih kecil
perawakannya berkata kasar pada Jasmin dan akhirnya memberi kode pada
teman-temannya untuk segera pergi meninggalkan Jasmin.
Hujan mulai reda saat Jasmin terduduk lemas di
pinggir jalan Basuki Rahmat. Ia usap wajahnya berkali-kali dengan tangannya
yang masih gemetaran. Bau busuk bangkai membuatnya menutup hidung dan
muntah-muntah di pinggir gedung megah berwarna kuning.
***
Jarum
jam nenunjukkan angka 9 pagi saat Jasmin tiba di kantor setelah membawa sepeda
maticnya ke bengkel. Rapat kecil segera diadakan setelah kejadian semalam.
Teman-teman sekantor Jasmin terkesiap mendengar penuturan Jasmin. Pimpinan
koran lokal itupun terdiam bisu. Retno yang sedari tadi terlihat gusar segera
buka suara.
“Ini bahaya, sangat berbahaya jika Guntur sudah
menyuruh anak buahnya turun tangan,”
“Ini artinya, nyawa kita terancam,” Rudi berkata dengan
wajah mengkerut dengan lipatan di kening yang semakin membuat wajahnya semakin
tua. Julian yang duduk di pojok terlihat hanya mengetuk-ngetukkan bolpoin di
meja. Pikirannya menerawang, jelas sudah resiko yang selama ini ditakutkan
muncul juga.
“Tapi biar bagaimanapun, kita tetap harus mengupas
tuntas masalah ini sebelum Carnopen semakin merusak jiwa juga badan orang-orang
Tuban,” Jasmin berkata sambil bersungut.
“Tapi Jasmin, nyawa kita taruhannya,” Retno berdiri
dari duduknya, terlihat wajahnya memerah menahan marah.
“Kita sudah mampu menyibak separuh jalan, juga para
pengedar sudah banyak tertangkap dibanyak titik. Apa hanya karena ancaman para
jongos Guntur kita akan mundur, dimana hati kita?” Jasmin memandang tajam
bergantian wajah-wajah teman sekantornya.
“Tapi kita berhadapan dengan orang berpangkat
Jasmin, ingat itu.”
“Nyawa kita bagai seekor lalat yang dengan mudahnya
bisa dipukul sekali tepuk.”
“Dan hancurlah keluarga kita, aku tidak mau itu
terjadi.”
“Aku mundur.”
“Aku juga.”
“Lebih tepatnya, Kita.”
Silih berganti teman-teman Jasmin berebut bicara,
hanya Julian dan pimpinan koran yang terlihat tenang duduk di pojokan. Hanya
nafasnya yang sesekali terlihat berat.
“Kita punya hukum, hukum yang akan bertindak jika
mereka mulai anarkis,” Jasmin berusaha menenangkan emosi teman-temannya.
“Hukum katamu, apa yang bisa diharapkan dari hukum
di negri ini. Kita punya apa, hanya selembar identitas yang menunjukkan kita
ini seorang wartawan, tidak lebih. Selebihnya adalah cengkraman para orang
berduit yang mempermainkannya. Mempermainkan hukum kita.” Rudi berkata sambil
menggedor meja, sifat tempramennya kembali kambuh jika harus memperbincangkan
hal yang menyulitkannya.
“Ya, aparat hukum memang akan menangkap mereka, tapi
setelahnya bisa melengganglah mereka dengan bebasnya, karena uang dan kekuasaan
yang mereka punya.”
“Tidak semua aparat bisa dibeli, aku yakin masih ada
aparat yang mempunyai hati,” suara Jasmin terdengar lantang.
“Jasmin, kita bisa apa. Sudahlah, anggap saja ini
permasalahan yang memang sudah seharusnya terjadi. Tidak usah kau terlibat
terlalu jauh. Kasihan keluargamu di kampung. Bisa kena imbasnya,” Retno
berusaha melunakkan hati Jasmin.
“Tidak, kalian boleh saja menyerah, tapi tidak
denganku. Aku mempunyai tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup kota kita
ini, karena aku lahir dan besar di sini. Di Tuban. Aku tidak bisa menutup mata
melihat anak-anak yang kini sudah mulai menjadi budak Carnopen, obat keparat
itu, bayangkan berapa ribu orang dan anak-anak lagi dalam satu tahun ke depan akan
menjadi mayat hidup jika kita bungkam, ya mayat hidup, karena mereka hidup
dengan otak, akal dan hati yang tumpul,” Jasmin berhenti sejenak, mengatur
nafas.
“Sudahlah, yang lain boleh keluar dari ruang rapat
ini untuk kembali bekerja, biar saya dan Jasmin yang akan menangani masalah ini”
pimpinan koran lokal itu memandang tajam tiap mata, terlihat olehnya satu
persatu keluar dari ruang rapat dengan menggerutu, kecuali Julian.
Julian
masih terduduk di kursinya.
“Kamu tidak ikut mereka, Julian?” pimpinan lokal itu berkata heran pada Julian.
“Kamu tidak ikut mereka, Julian?” pimpinan lokal itu berkata heran pada Julian.
“Tidak Pak, saya juga punya bakal bayi yang sebentar
lagi lahir. Saya tidak ingin nantinya ia tumbuh dengan lingkungan yang hancur,
saya akan membantumu Jasmin” Julian berdiri dan berjalan mendekati Jasmin.
“Terima kasih, ternyata hanya kamu yang masih
mempunyai hati di sini,” Jasmin memandang Julian dengan tatapan yang menyimpan
sejuta harapan, harapan untuk membuat peradaban yang lebih layak untuk
anak-anak dan cucu-cucunya kelak.
***
Headline
di koran lokal pagi ini membuat seluruh warga Tuban juga sekitarnya tergagap,
tertangkapnya seorang anak orang berpangkat yang menjadi pemasok Carnopen
karena kicauan dari seorang bandar besar yang tertangkap basah kemarin di
Ronggomulya saat melakukan transaksi. Barang bukti enam ribu lima ratus pil
Carnopen cukup untuk menyeret mereka dan anak orang berpangkat itu ke meja
pengadilan juga rumah pesakitan. Jasmin tersenyum lepas. Tunggu aku di pesakitanmu. Jasmin bergumam sambil menuding anak
orang berpangkat yang wajahnya terpampang jelas di koran, berita yang ditulisnya
benar-benar membuat Haris, anak Guntur terseret di pesakitan.
“Jasmin, satu tanda bahaya mulai mengintaimu,” ada
nada khawatir dari ucapan Julian.
“Tenang Julian, ilmu beladiri yang diajarkan bapakku
dulu bisa aku gunakan untuk menjaga diriku.”
“iya, karena aku tidak bisa setiap saat menjagamu,”
Julian memandang iba pada perempuan dihadapannya.
“Ahh.., kau ini. Aku sudah besar sudah 25 tahun
meski belum menikah. Urus saja istrimu yang cerewet dan bawel itu,” Jasmin
tertawa sambil meninju pundak Julian.
“Aku pergi dulu,” Jasmin mengambil tas ranselnya
yang tergeletak di atas meja kerjanya. Segera ia menuju pintu keluar.
“Mau kemana kau Jasmin,” teriakan Julian seolah
tertelan angin, terus saja Jasmin melangkah dan lenyap dari pandangannya.
“Hati-hati,” teriknya sekali lagi dan tak berjawab.
***
Jasmin
melangkah mantap memasuki rutan, ditemuinya penjaga rutan dan mereka terlibat
percakapan serius. Sesekali terlihat Jasmin bersuara agak tinggi, akhirnya
sipir itupun meminta Jasmin untuk menunggu di ruang tamu tahanan. Sepuluh menit
kemudian, keluarlah sesosok lelaki tinggi dengan kulit bersih, hidung mancung,
rambut plontos duduk menemui Jasmine.
“Apa kabar, Haris?”
Jasmin mengulurkan tangan kanannya, namun Haris mengabaikannya dan meludah.
“Apa tujuanmu kemari,
perempuan laknat.”
“Oh...
ternyata Carnopen membuatmu gampang naik darah. Uang haram,” Jasmin menatap
Haris dengan senyum yang tersungging di bibirnya yang tipis.
“Tutup
mulutmu, persidangan belum juga dimulai. Aku akan bebas, dan kamu akan tamat
Jasmine, tamat, perempuan laknat, juga bapakku tidak akan tinggal diam telah
kau permalukan seperti ini” sekali lagi Haris meludah, namun tidak di lantai,
tapi tepat di hidung Jasmin.
Jasmin
mendengus kesal, diusap hidungnya dengan tisu.
“Kamu
boleh bersembunyi di ketiak bapakmu, tapi tidak di depan hakim,” Jasmin mendekatkan
wajahnya pada wajah Haris. Jasmin pun meneruskan perkataannya.
“Orang seperti kalian memang sudah seharusnya
tumpas, bukan dengan tanganku. Tapi
dengan tangan hukum.”
““Heh...,
kamu lupa siapa aku, dan siapa bapakku, Jasmin?”
“Sampai
kapanpun aku tidak akan pernah melupakan kalian, orang-orang yang telah
meracuni saudaranya sendiri, bangsanya sendiri, menari-nari dan menggemukkan
perut kalian di atas penderitaan orang lain. Biadab,” Jasmin berkata dengan
lantang. Sipir yang sedari tadi duduk di depan pintu memandang Jasmin heran.
Jasmin bisa membaca pikiran sipir itu yang mengatai dirinya perempuan bodoh
yang rela masuk di kandang serigala.
“Jaga
mulutmu, jangan sampai mulus wajahmu rusak karena tajamnya silet ini,” Haris
memperlihatkan silet yang dipegangnya, silet yang ditemukannya di atas meja
rung tamu tahanan.
“Ingat
Jasmin, kamu berhutang banyak padaku juga pada bapakku, jangan sampai orang
tuamu menyesal mempunyai anak sepertimu.”
“Orang
sepertimu memang bermulut besar, namun otak kosong melompong, kasihan ibumu
yang rela berdarah-darah melahirkanmu,” Jasmin memelototkan matanya.
“Simpan
keberanianmu untuk hal-hal yang tak terduga, Jasmin. Semoga esok kamu masih
bisa bernafas dan melihat matahari,” selesai berkata, Haris melangkah masuk ke
rumah tahanan dan meninggalkan Jasmin sendirian yang sibuk mengelap wajahnya
oleh ludah Haris yang kedua kalinya.
***
Malam
mulai memeluk kota Tuban dan jarum jam menunjuk angka sebelas lebih seperempat
saat Jasmin selesai mengedit berita dan hendak keluar kantor. Julian yang
menunggui dan membantunya mengedit berita terlihat mulai menguap. Rudi yang
duduk di samping Julian juga terlihat menggigil oleh AC yang berhembus.
“Aku antar kau pulang, Jasmin,” Julian memakai jaket
dan mengambil helm di rak barang.
Jasmin mengangguk pelan, rasa kantuk yang mendera
membuatnya malas bicara. Kota Tuban terlihat mulai lengang. Hanya ada satu dua
pengendara yang melintas.
Julian membuntuti Jasmin dari belakang, terkadang
juga di samping Jasmin hanya untuk memastikan Jasmin tidak tidur saat menyetir sepeda
motor. Jasmin berhenti di gang menuju rumah kostnya, ia buka kaca helmnya dan
menghentikan laju sepeda motor Julian.
“Sudah, sampai sini saja Julian. Kostku sudah dekat.
Kamu pulang sana, kasihan istrimu menunggu di rumah.”
“Tapi Jasmine......”
“Aku baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja
Julian,” Jasmin meyakinkan Julian.
“Tapi ini sudah terlalu malam Jasmin.”
“Ahh... kau terlalu megkhawatirkanku. Pulanglah
sana. Besok kita harus meluncur ke Pabrik Semen Indonesia. Ada berita menarik
di sana,” Jasmin mengibaskan tangannya mengusir Julian.
“Baiklah kalau begitu aku pulang, hati-hati jaga
dirimu, Jasmin. Aku juga sudah sangat mengantuk,” selesai berucap Julian
memutar balik sepeda motornya dan hilang ditelan gelap malam.
Jasmin melajukan lagi motornya di gang yang sempit,
sepi juga gelap, belum 300 meter melaju, segerombolan orang menghadangnya,
entah dari mana datangnya mereka yang tiba-tiba saja berjalan menantang di
depan Jasmin. Terpaksa Jasmin hentikan laju sepeda motornya. Terlihat sepuluh
orang mengelilinya, beberapa orang meraih tangan Jasmin dan melepas helm Jasmin
dengan paksa. Jasmin melawan dengan sekuat tenaga, namun tangan-tangan kokoh
para berandal itu membuatnya tak berkutik. Suaranya tertelan gelap malam dan
sumpalan tangan-tangan kasar mereka. Diseretnya Jasmin ke dalam sawah yang
berada di pinggir jalan. Dalam gelap, dilihatnya para berandal itu melolosi
pakaiannya satu persatu dan menggilirnya beramai-ramai, sisa tenaga yang
dimilikinya telah hilang bersama rasa sakit yang mendera tubuh juga hatinya.
Selesai digilir, mata kuyu Jasmin masih sempat melihat kilatan belati yang
berayun di badannya juga kayu-kayu lonjong dan panjang mendarat di kepala juga
kakinya. Hanya sekali ia melenguh dan berteriak pelan menyebut nama Tuhannya,
setelah itu hanya gelap dan gelap yang ia rasakan juga ketenangan malam yang
terobek kala itu.
***
Langit
Tuban siang ini terlihat muram, mendung seakan menelan matahari dan enggan
untuk memuntahkannya kembali. Julian dan teman-teman sekantor Jasmin tertunduk
bisu dengan uraian air mata di depan makam Jasmin. Julian membatu, tak ada kata
yang terucap selain lenguhan panjang dan dada yang sesak. Mulutnya terlihat
merapal do’a untuk kepulangan dan ketenangan Jasmin. Dikutuki dirinya sendiri
dalam diam, tak dihiraukan lalu lalang orang yang mulai menjauhi pemakaman.
Ditatapnya taburan bunga di atas makam yang masih basah, juga nisan yang turut
membatu. Bayangan Jasmin terus saja membayang di pelupuk matanya. Dalam hening
yang menyiksa, terdengar suara pelannya yang hanya ia sendiri yang dapat
mendengarnya.
“Maafkan aku Jasmin, tidak mengantarkanmu dengan
selamat malam tadi, berbahagialah karena kau sudah berani melawan meski harus
berakhir pedih. Kau boleh pergi namun suaramu akan tetap terdengar, meski dalam
tidur panjangmu.....”
Pemakaman mulai sepi, satu satu
petakziah pulang dengan ratap, tinggal Julian sendiri yang masih terduduk pilu
memandang nisan Jasmin.
***
Bangilan, 18
Januari 2017
Penulis adalah anggota Komunitas Kali Kening.
Carnopen perusak generasi
BalasHapus