Tiga Tingkatan Kyai
Oleh : Joyojuwoto
Jumat pagi yang cerah dan berkah, dengan secangkir kopi hitam yang
masih mengepul di atas sebuah meja di ndalem sebuah pesantren
di Leran Senori, pagi itu saya menemani Al Ustadz Mulyadi untuk sowan dalam
rangka ngaturi Kyai Jauhari Fahmi guna memberikan mauidhoh hasanah dalam rangka mendaki (satu
tahun) kapundutnya Abah Yai Moehamin Tamam yang akan dilaksanakan nanti siang
bakda shalat Jumat di pondok ASSALAM Putra, yang berlokasi di Punggur desa
Banjarworo Kec. Bangilan. Gus Joe panggilan bekennya Kyai Jauhari Fahmi
menyambut kami berdua dengan sangat ramah, kami dipersilahkan duduk sambil
menyeruput kopi panasnya yang beraroma jahe segar.
Kyai muda dari Leran Senori ini sangat luar biasa, beliau memiliki
pandangan kebangsaan yang luas, matang dan moderat. Alhamdulillah selain
silaturrahim kami dapat menyerap dan menimba ilmu kepada beliau.
Obrolan-obrolan ringan seputar pesantren, tentang kondisi dan apa yang
dibutuhkan oleh lingkungan dan masyarakat, hingga soal-soal kebangsaan mengalir
dengan ringan dan renyah di pagi yang penuh berkah itu. Begitulah memang
seorang yang alim akan selalu menebar manfaat dan kebaikan di manapun ia
berada. Bagai air yang jernih kehadirannya selalu ditunggu dan dibutuhkan oleh
umat.
Di era kegersangan peradaban dan kondisi bangsa yang mulai memanas
akhir-akhir ini, umat membutuhkan sosok kyai-kyai yang sejuk dan menjadi
panutan di tengah carut marutnya kehidupan. Kita perlu pendingin dan sosok
yang bisa membesarkan hati masyarakat. Saya bisa merasakan bahwa
Gus Joe ini termasuk di dalam barisan ini. Menurut beliau “Saat ini
kita butuh figur yang bisa ngelus-ngelus masyarakat agar tercipta suasana yang
kondusif dan nyaman. Masyarakat jangan sampai diseret ke gerbong-gerbong
kericuhan” begitu tutur beliau santun.
Menurut Gus Joe, Kyai itu ada tingkatannya, beliau menyebutkan ada Kyai
Silat, Kyai Sila, dan Kyai Silem. Tingkatan yang pertama adalah Kyai Silat.
Ini adalah model dan tingkatan kyai yang suka berdiri dan berteriak-teriak di
tengah umat untuk menyeru kepada kebaikan, kyai tukang nggowo mic,
lanjut beliau. Kyai di tingkatan ini kadang kurang memperhatikan substansi, apa
kata Al Qur’an dan Hadits ya itu yang disampaikan dengan lurus tanpa menyentuh
dialektika yang ada di tengah masyarakat. Namanya kyai silat tentu kelihatan
sangat atraktif. Tingkatan kedua ada kyai Sila (posisi duduk bersila).
Tingkatan kyai Sila ini sudah relatif lebih tenang dibanding dari tingkatan
kedua, dialektika berfikirnya sudah mencakup lahir dan batin, gerakan-gerakan
atraktifnya sudah mulai berkurang, kyai model ini biasanya bisa ngemong dan mangku masyarakat
agar tenang dan tidak bingung menghadapi realita kehidupan. Sedang yang ketiga
adalah model atau tingkatan kyai Silem(menyelam). Melihat dari
namanya saja kita tentu akan kesulitan mencari kyai silem ini. Dia tidak tampak
di panggung kehidupan masyarakat, dia bisa jadi bersembunyi atau bahkan
disembunyikan oleh Tuhan dan tidak menunjukkan perannya walau perannya sangat
vital.
Tiga tingkatan kyai itu harus ada di tengah masyarakat, bukan
berarti antara satu tingkatan dengan tingkatan lainnya kita nafikan dan kita
perbandingkan. Masyarakat membutuhkan itu semua. Jadi jangan sampai hanya ada
kyai silat saja, namun harus ada yang mengambil peran sebagai kyai sila, dan
juga kyai silem. Ketiga-tiganya harus saling melengkapi dan membangun dinamika
dakwah yang konstruktif di tengah masyarakat.
Begitu dialog yang saya tangkap dengan Gus Joe tadi pagi, tak
terasa percakapan kami telah berlangsung selama satu jam lebih, gelas kopi
telah kosong, dan gelas kosong pikiran yang saya bawa dari rumah telah terisi
dengan jernih dan beningnya air keilmuan dari beliau Kyai Jauhari Fahmi. Kami
kemudian minta pamit pulang untuk kembali ke pesantren. Sayang tadi kami lupa
minta foto bersama dengan beliau.
Tidak ada komentar