CERMIN
www.kabarmakkah.com
Oleh
: Linda Tria Sumarno
“Nardi, secepatnya harus kau tutup cermin itu.
Jangan biarkan seinci pun mampu memantulkan sinar dari lampu juga matahari yang
masuk lewat celah jendela kamar,” perempuan itu memandang cemas anaknya dan
berdiri tepat di depan cermin kamarnya sambil membentangkan kedua tangan
keriputnya. Melekatkan tubuhnya pada cermin demi menghalau cahaya mengenai
cerminnya, serupa seorang ibu yang melindungi anaknya dari binatang buas.
Nardi mengangguk tanpa sedikitpun bertanya dan
segera membongkar isi lemari ibunya mencari kain untuk menutup cermin. Diobrak abriknya lemari
dengan satu daun pintu yang mulai tanggal engselnya. Namun, yang ia temukan
hanya beberapa kutang lusuh yang mengkerut talinya, kaos-kaos serupa ayakan
pasir bertuliskan partai yang di dapatkan menjelang pemilu, juga sarung dengan
bercak darah yang mengering.
“Hanya ini, Mak,” Nardi memberikan sarung itu pada
emaknya. Mata tua emaknya yang keriput itu memandang sejenak sarung yang
ujungnya menempel darah, membentuk lingkaran yang tak sempurna. Ya, darah yang
dulu mengucur dari pipinya yang bercodet itu.
“Jangan yang itu, hanya akan menimbulkan masalah
yang lebih besar,” perempuan itu setengah berteriak. Para pelayat yang datang dan
menyaksikan ulah perempuan itupun saling sikut dan menggumam tak jelas.
Beberapa yang lain menggeleng sambil mengelus dada.
“Tapi hanya ada ini, Mak,” Nardi melenguh kesal.
Perempuan itu menundukkan wajahnya sejenak dan
segera beralih memandang sarung yang membebat badan Nardi.
“Lepas sarungmu,” mata perempuan itu menyala.
“Tapi Mak, sarung ini Nardi pakai untuk mensholati
mayat bapak nanti,” Nardi memegang kuat sarungnya. Tak hendak melepasnya.
Namun, dengan cepat tangan emaknya menyambar dan loloslah sarung itu dari badan
Nardi. Dengan sigap perempuan tua itu menutup cermin satu-satunya yang ada di
rumahnya. Dikaitkannya ujung-ujung sarung itu pada dinding bambu yang mulai berlubang di sana sini oleh
ulah beringas tikus.
“Pakai sarung bapakmu,” perempuan tua itu berkata dengan
nada ditekan.
***
Rumah
berukuran 3 x 6 meter beralaskan tanah bergelombang itu semakin sesak dan
pengap oleh lalu lalang para pelayat. Bau sedap gulai dari dapur membuat setiap
hidung yang membauinya bergerak riang. Sedang perempuan tua itu kembali
mendekati mayat suaminya dan berucap pelan, pergilah
kang, sudah ku maafkan semuanya. Cermin itu, juga sudah rapat kututup. Selesai
berkata, perempuan itu menutup kepala suaminya dengan jarik yang bercorak daun siwalan, air mata mengalir melewati pipinya
yang cekung dan keriput, juga melewati codet yang belum lama menghuni pipi
kirinya. Ia sendiri tidak tahu, apakah itu air mata kesedihan ataukah air mata
kebahagiaan.
Sedih karena tak ada lagi yang menemaninya mencari
kayu bakar untuk di jualnya ke pasar demi perut yang semakin mengelinting ususnya
karena kemiskinan ataukah bahagia karena tak akan ada lagi bekas memar juga
sakit di badannya.
Jam menunjukkan pukul 10.00 saat para pelayat mulai
mensholati jenasah suami perempuan tua itu dan bersiap memberangkatkannya ke
makam desa yang terletak di sebelah hutan jati yang mulai tinggal akarnya. Perempuan
itu memandang kuyu keranda suaminya yang diangkat oleh empat orang termasuk
anak laki-lakinya. Rombongan pelayat dan pengantar mayat suaminya itupun
bergerak meninggalkannya dan hilang ditelan jalan yang menikung.
***
Nardi
mendekati emaknya yang terduduk bisu di ranjang kamarnya, mata tua emaknya
menatap cermin yang kini tak lagi dapat memamerkan wajahnya yang penuh dengan
kerutan, semakin banyak garis kerut yang terlihat, menandakan semakin banyak
pula kepedihan dan kepiluan yang
dilaluinya. Sarung penutup cermin itu kini serupa kain penutup panggung sebelum
pertunjukan opera dimulai. Ya, opera kehidupannya yang ia sendiri enggan untuk
mengingat dan merasainya kembali.
“Mak capek?” Nardi memijit pundak emaknya yang tak
lagi berdaging. Hanya tinggal tulang belulang yang semakin menonjol dan
runcing.
“Mak tak lagi dapat merasakan apapun di tubuh mak
ini, Nardi.”
“Kenapa, Mak ?”
“Entahlah, sepertinya bapakmu sudah menjadikan
emakmu ini mati rasa.”
Perempuan itu berucap dan terus saja memandang sarung
yang menutupi cermin di hadapannya. Nardi menelisik pedalaman emaknya, namun
tak secuil pun ia mampu menerkanya. Hatinya terus saja tergelitik untuk
menanyakan alasan emaknya melakukan hal yang tak wajar menurutnya, menutup
cermin selepas kematian bapaknya. Hal yang tak pernah dilakukan oleh neneknya
ataupun mbah buyutnya. Nardi pun
mencoba menghilangkan rasa penasarannya itu dengan bertanya pada emaknya.
“Mak, kenapa cermin itu harus Mak tutup dengan
kain sarung?” Nardi beranjak dari duduknya dan coba mengambil sarung penutup
cermin itu. Namun emaknya menarik tangan Nardi dan memandangnya tajam.
“Biarkan saja sarung itu tetap pada tempatnya,
Nardi. Jangan pernah lagi kau coba membukanya.”
“Tapi kenapa, Mak,” Nardi memandang emaknya
yang mulai berubah rona wajahnya. Lama Nardi menunggu jawaban. Dilihatnya
perempuan tua itu menghela nafas panjang dan berat, seolah batu besar telah
menindih dadanya.
“Cermin itu menyimpan luka yang dalam, Nardi,”
mata perempuan itu meredup.
“Luka, Mak..?”
“Ya, luka. Cermin itu menyimpan segala
kepedihan emakmu selama ini. Setiap kali emak bercermin, di situ emak lihat
bapakmu menyiksa tubuh emakmu ini,” air mata perempuan tua itu mengalir dan
lagi-lagi melewati codet di pipi kirinya. Terlihat kening Nardi berkerut
mendengar jawaban emaknya. Kebingungannya semakin menjadi. Seolah mengerti
kebingungan Nardi, emaknya pun kembali berkata.
“Iya, Nardi. Selama ini bapakmu selalu saja
menyiksa emak, luka di tangan, punggung, kaki, juga codet di pipi emak ini,
semuanya ulah bapakmu, belum lagi luka yang tidak terlihat ini” perempuan tua
itu memegang hatinya. Kedua alis Nardi bertaut.
“Kenapa emak selama ini tidak cerita sama
Nardi?”
“Kamu sudah susah dengan dirimu sendiri, Nardi.
Apa pantas emakmu ini menambah berat bebanmu?”
“Tapi Mak, Nardi anak emak. Sudah seharusnya
beban emak juga menjadi beban Nardi.”
“Seberat apapun beban seorang ibu di dunia ini,
tak sepatutnya ditumpahkan pada anaknya, Nardi. Begitu juga dengan emakmu ini.”
“Iya Mak, Nardi ngerti. Tapi bagaimana bisa
bapak sekejam itu, Mak.”
“Bapakmu dari dulu suka berjudi, dan semakin
menjadi saat kamu kerja di Kalimantan, emakmu ini yang jadi sasarannya kalau
bapakmu kalah dan tidak ada lagi yang bisa dibuatnya untuk berjudi. Uang yang
kamu kirim pun juga habis dibuat judi,” perempuan tua itu membiarkan air mata
mengalir dari matanya.
“Dan di sini, di depan cermin itulah bapakmu
menyiksa emak. Emak sendiri tidak tahu kenapa bapakmu selalu melakukannya di
sini, di depan cermin ini. Mungkin bapakmu ingin emak terus mengingatnya.”
Nardi mengelus rambut putih emaknya, juga dipegangnya
tangan emaknya yang tergores memanjang dengan daging yang menyembul keluar. Dirasainya
tubuh emaknya kini semakin kurus, seperti papan yang terombang ambing di lautan
lepas. Dibukanya jarik yang menutupi kaki emaknya, dielusnya luka bakar yang
memakan kulit luar emaknya. Disingkapnya baju emaknya, dilihatnya punggung
emaknya dengan luka yang berbentuk bulat kecil dan menghitam akibat sundutan rokok,
juga codet yang ada di muka emaknya dipandanginya dengan iba, luka yang
darahnya baru mengering entah berapa hari yang lalu, yang kain untuk mengelap
darahnya dibiarkannya tergelatak di lemari tanpa dicuci. Tak terasa, air mata
Nardi meleleh, pundaknya berguncang hebat dan dadanya sesak. Dipeluknya tubuh
ringkih emaknya. Pelukan emaknya kini tak dirasainya lagi karena tangan emaknya
yang mulai melemah. Hingga tiba-tiba tanah yang mereka injak berguncang hebat.
Nardi dan emaknya panik, dengan terhuyung-huyung mereka bangkit dari duduknya,
tubuh mereka turut terguncang oleh gempa yang tiba-tiba datang. Sekuat tenaga
mereka berlari keluar rumah dan beberapa menit kemudian terdengar oleh mereka
suara nyaring dari dalam kamar. Suara cermin yang jatuh dan hancur
berkeping-keping.
***
Bangilan, 22 Pebruari 2017
Penulis adalah anggota Komunitas Kali Kening
Tidak ada komentar