Stasiun Tua di Kampungku
Rohmat Sholihin*
Stasiun itu hanya tinggal nama. Bangunan tempat
pemberhentian kereta api jurusan Bojonegoro-Rembang itu telah berganti perumahan warga dan pertokoan. Beberapa bagian menjadi kebun yang ditanami pohon jati, pisang dan aneka sayuran. Stasiun yang
dulunya begitu ramai dipenuhi suara kereta, peluit masinis dan keriuhan
penumpang, kini mendadak sepi. Yang tersisa hanyalah gemuruh kenangan yang tak
habisnya dikisahkan.
***
***
Bentuk bangunan stasiun itu cukup megah. Sebuah bangunan dengan gaya arsitektur Eropa yang sangat praktis dan rapi. Seperti gedung bioskop, meski agak kecil. Bangunan itu dilengkapi ruang tunggu para penumpang dengan deretan kursi kayu jati yang dilapisi plitur. Di bagian dalam, ada loket untuk membeli karcis. Ada pula ruang kantor yang terlihat cukup nyaman dan dua kamar kecil, untuk pria dan wanita, di pojok barat.
Di samping kanan-kiri bangunan
stasiun itu terdapat sebuah taman
yang asri. Pohon
kamboja warna-warni sebesar orang dewasa, beberapa
pohon
mangga yang membuat suasana semakin sejuk, membuat siapa saja merasa betah
untuk berlama-lama bermain di stasiun.
Stasiun
itu juga berhadap-hadapan dengan gudang Tempat Pelelangan Kayu (TPK) yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar, yang usianya ratusan tahun. Pohon-pohon itu menjulang tinggi dan
akarnya laksana karang yang kokoh mencengkeram
bumi, seolah tak akan pernah goyah walau diterjang
angin puyuh sekali pun.
Di sebelah TPK, masih tampak dari stasiun, adalah area persawahan. Jika musim penghujan sawah-sawah tersebut akan
ditanami padi yang semakin membawa panorama yang hijau, indah
dan menyejukkan. Sungai-sungai kecil melingkar dan bermuara pada sebuah telaga di bawah pohon yang paling besar di dalam TPK. Airnya bening dan jernih,
ikan-ikannya berlari-lari kesana-kemari dengan bebasnya tanpa takut obat kimia
yang menyebabkan polusi air. Menambah suasana
stasiun itu damai nan sejuk.
***
“Jika hari libur tiba, aku dan teman-temanku suka bermain di gerbong-gerbong yang ditinggalkan untuk sementara oleh lokomotifnya. Aku kagum dengan baja utuh yang dapat berjalan itu. Aku bingung bagaimana cara membuatnya, mencetak liku-liku dan bentuk-bentuknya sehingga bisa digunakan untuk angkutan. Benar-benar penemuan yang jenius.”
Setiap kali bercerita tentang kereta api, Mata Marno
selalu berapi-api. Dulu ia
begitu mengagumi kereta api. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa
seseorang mengolah bahan baja menjadi kendaraan serupa kereta api, yang punya jalur khusus bernama rel.
“Mungkin
hanya manusia super yang bisa menciptakan kareta api.” Otak Marno selalu gagal memikirkan bagaimana cara
membuat ular besi raksasa itu.
Marno bermain naik-turun dari gerbong-gerbong itu.
Ia sudah sangat senang bisa naik kereta api meski dalam keadaan diam, tak berjalan. Kerap kali, di dalam imajinasi kanak-kanaknya, Marno
membayangkan kereta api itu berjalan dan dirinya menjadi seorang masinis.
Sebenarnya, orang tua Marno kerap melarangnya bermain di stasiun. Mereka
mengkhawatirkan keselamatan Marno. Sebagaimana
lumrahnya orang tua, mereka khawatir hal-hal yang buruk akan terjadi pada anaknya. Tapi secara diam-diam, setiap hari libur, Marno selalu bermain di stasiun.
“Seringkali aku digoda oleh teman-temanku. ‘Hai,
Marno… itu ada bapakmu kemari. Cepat
kamu sembunyi!’. Tanpa sadar aku langsung tiarap. Dan serta-merta teman-temanku akan terpingkal-pingkal.”
Kalau sudah begitu, Marno cuma bisa tersenyum kecut
dan mengumpat: sompret!
***
Di stasiun itu ada sebuah monumen yang dibangun oleh pemerintah. Monumen penghormatan untuk pahlawan yang telah gugur dalam perang kemerdekaan melawan agresi Belanda. Namun sekitar tahun 1980-an, jasad-jasad pahlawan itu telah diambil dan dipindah ke Makam Pahlawan di kota Tuban.
Monumen
Pahlawan itu masih berdiri hingga saat ini,
namun sama sekali tak terawat. Ia terjepit di antara
bangunan ruko-ruko dan nyaris dilupakan. Barangkali,
hari ini sudah tak ada lagi yang peduli apalagi
mengagungkan pahlawan, dan mengagumi
peristiwa heroik pernah mereka lakukan.
Ada
juga tempat keramat dekat gudang alat-alat di Stasiun. Sebuah gundukan bukit yang sekilas nampak masih terhubung dengan
rel kereta api,
padahal jika ditelusuri tempat keramat itu adalah
batas terakhir rel kereta. Orang-orang sekitar stasiun menamakannya kuburan jaran atau makam kuda.
Ada seekor kuda yang mati dan
dikubur di tempat
itu. Konon, setiap
malam, kuda itu tampak meloncat sambil
meringkik-ringkik.
Entah benar atau tidak, cerita itu selalu membuat bulu kuduk siapa saja yang
mendengarnya berdiri.
Di sebelah gundukan kuburan kuda
itu juga pernah dikubur
orang gila yang bernama Klewer. Ceritanya
tragis.
Klewer
dikenal sebagai orang yang gila sebab kesaktian. Suatu hari ada
kereta yang lewat dari arah Bojonegoro menuju Rembang. Ia sudah mengambil
posisi menghadang dengan gagahnya. Ia berdiri di tengah-tengah rel di samping pabrik krupuk milik
orang Tionghoa: Liem
Wie Gie dan Liem Hong Kie.
Dengan lagak menantang, Klewer mengancung-acungkan
pedangnya. Kereta api dengan
berat ratusan ton itu tetap meluncur dengan kecepatan
tinggi dan tak bisa berhenti dalam sekejap. Tubuh
Klewer terpental, lalu
terseret lebih dari 100 meter dan mati
seketika.
Banyak
orang datang berduyun-duyun untuk melihat tubuh Klewer yang hancur lebur.
Karena jasadnya remuk dan hancur,
warga sepakat menguburkan Klewer dekat
kuburan kuda.
Lengkap
sudah cerita-cerita mengerikan dari warga yang akan menghubungkan antara
kuburan kuda dan kuburan si Klewer. Lalu
akan selalu terngiang kalimat-kalimat menakuti dari para orang tua untuk
anak-anak mereka:
“Jangan
pernah main dekat kuburan Klewer, nanti kalian kesurupan!”
***
“Yang paling membuat kangen adalah suara klakson Kereta Api,” kenang Marno. “Suaranya keras memekakkan telinga, bisa terdengar dari jarak 500 meter.”
Ia memejamkan mata. Dibayangkannya sekali lagi suara
klakson kereta yang dulu begitu akrab di telinganya. “Begitu
gemuruh suara klakson kereta api tua
peninggalan Belanda itu,” ucapnya lirih.
Tak salah jika Marno tak bisa melupakan suara klakson
kereta api. Karena suara itu akan mengingatkannya kepada kekasihnya.
Saban sabtu sore ia akan pergi ke stasiun menunggu
kekasihnya, Ratna, pulang dari bojonegoro. Maka, selain sebagai pertanda bahwa kereta
api sudah dekat dan peringatan agar para
pengguna jalan raya lebih waspada, klakson kereta api adalah kabar baik bagi Marno: bahwa
ia akan segera bertemu dengan kekasihnya.
Setelah kereta api berhenti di stasiuan. Ia akan
mencari-cari kekasihnya sambil berdesak-desakan dengan tukang becak
dan ojek motor yang berlomba-lomba
menawarkan jasa angkutan ke semua para penumpang yang baru turun dari kereta api.
Setelah bertemu kekasihnya, Marno akan mengajaknya
berbincang di taman dekat stasiun, di bawah pohon rindang di area TPK, atau jika
kekasihnya mengeluh belum makan, ia akan mengajaknya ke warung
nasi pecel Kang Tarman .
“Warung Kang Tarman pun kini sudah tak ada. Padahal itu adalah warung penuh
kenangan bagi orang-orang sekitar stasiun. Pagi buta sudah buka
dan orang-orang juga sudah banyak yang duduk dan makan di sana sambil menunggu kereta api yang akan
ke kota Bojonegoro,” lanjut Marno.
Pagi hari, selain penumpang umum, biasanya Stasiun dipenuhi oleh pelajar-pelajar berseragam putih abu-abu yang
akan berangkat sekolah ke Kota
Ledre.
***
Selain tempat mencari nafkah tukang becak dan ojek, stasiun adalah tempat pedagang asongan menggantungkan hidup mereka. Para pedagang ini berjualan di beranda stasiun, dan ada juga yang berjualan di dalam kereta. Mereka berjualan nasi pincuk, kacang godok, kacang goreng, pisang godok, pisang goreng, telur puyuh, telur asin, minuman dan rokok eceran. Seringkali kereta api bagaikan pasar yang berjalan penuh dengan orang dan dagangan.
Di sini, kereta api adalah satu-satu akses kendaraan
umum ke luar kota, maka seringkali jumlah penumpang
berjubel-jubel, bahkan sampai
ada yang naik ke atas
atap kereta.
Para
pekerja di kantor stasiun itu juga terlihat
rapi dan disiplin. Seragamnya sangat istimewa: baju warna biru muda dipadu celana panjang berwarna
biru gelap. Sungguh
pasangan seragam yang modis, belum lagi mereka
memakai topi seperti polisi dan topi mayoret. Penampilan para pekerja kantor
yang necis itu seringkali menyita
perhatian penumpang. Tak ayal, banyak warga yang bercita-cita menjadi
pekerja kereta api.
Menjadi
pegawai pemerintahan yang sangat diidamkan setiap orang. Apalagi ketika melihat
para kondektur kereta api sedang menarik karcis pada para penumpang, mereka merasa seakan-akan bertemu dengan pejabat pemerintah yang turun ke bawah untuk
melihat keadaan bawahannya.
Di ikat pinggangnya terdapat tas
kecil yang penuh dengan uang. Para penumpang yang tak sempat membeli karcis di loket, mereka membayar langsung
pada sang kondektur. Mereka juga
membawa alat pencomplong karcis yang bentuknya mirip staples, untuk menandai karcis yang
sudah dipakai. Karcis
itu berwarna hijau kotak persegi panjang seukuran kartu domino.
Jika ada orang yang membenci kondektor, maka tak lain tak bukan adalah orang-orang yang malas membeli tiket kereta karena tak
punya uang atau hal lain. Seringkali terdengar keributan di antara mereka. Jika
penumpang tetap ngeleyel, puncaknya sang
kondektur pun
akan marah-marah dan mengancam:
“Memangnya kereta ini punya kakek
buyutmu, tak turunkan di sini
baru tahu rasa kamu!”
***
“Tapi, semua itu kini hanya tinggal cerita,” ucap Marno dengan nada yang begitu sedih. “Stasiun Bangilan, begitu kami menyebutnya, telah hilang. Stasiun tua yang dulu pernah begitu ramai, kini hanya menyisakan kenangan,” lanjutnya.
Memang benar yang dibilang Marno, tak ada lagi yang
tersisa dari Stasiun itu melainkan cerita. Puing-puing
relnya tak lagi berbekas, bahkan
batu-batu krecaknya pun banyak diambil oleh warga untuk dijual, atau dibuat pondasi rumah mereka.
Stasiun itu berhenti beroperasi, dalam waktu yang
hampir sama dengan kandasnya cinta Marno dan Ratna. Jika Marno kecil dilarang
oleh Bapaknya untuk bermain-main di stasiun, Marno besar dilarang Bapaknya
bermain cinta dengan Ratna. Orang tua Ratna terlibat dalam pemberontakan G 30 S
PKI.
“Meski tempat
di mana Stasiun Bangilan pernah berdiri ini masih bernama Stasiun, tapi itu tetap
tak pernah sama,” ucap Marno sambil menandaskan kopi di gelasnya.
Sebenarnya bukan hanya stasiun yang ada di Bangilan saja yang tinggal cerita, nasib sama juga
dialami stasiun-stasiun di daerah
lain sepanjang Bojonegoro-Rembang.
Mereka semua lenyap ditelan waktu. Memang, beberapa stasiun masih menyisakan
bangunan, namun bangunan-bangunan itu telah
beralih fungsi menjadi
warung, rumah bagi tunawisma dan
tempat pelacuran kelas teri.
“Stasiun bukan lagi stasiun jika tak ada kereta api
yang singgah di sana.”
Marno pergi meninggalkan warung kopi di dekat bekas stasiun
yang hampir tiap malam selalu dikunjunginya. Cerita-cerita tentang kereta
api dan stasiun tua itu tak pernah berhenti keluar dari bibirnya.
“Stasiun tua di kampungku, kenangmu abadi di kepalaku.”
Marno tak pernah berhenti mengenang stasiun tua di kampung itu,
seperti ia tak pernah berhenti mengenang kekasihnya.
Bangilan,
28 Agustus 2014
*Penulis adalah anggota Komunitas Kali Kening
Tidak ada komentar