Header Ads

Header ADS

Luka di Tepian Kali Kening


Oleh : Linda Tria Sumarno

Matahari mulai beringsut ke barat saat air sungai kali kening hendak mencium bibir tanggul dan berwarna keruh akibat hujan yang terus mengguyur beberapa hari ini. Terlihat sampah menggunung di pojok jembatan dengan bau busuk yang mampu membuat seluruh isi perut terkuras oleh ulah orang-orang yang hampir tiap hari lalu lalang melemparkan berpuluh-puluh sampah yang terbungkus kantong plastik besar yang berwarna hitam dan merah. Sebuah kebiasaan baru orang-orang yang cenderung malas untuk menggerakkan badan. Kebiasaan yang mengundang datangnya air bah.
Angin sore menerbangkan apapun yang ada di bantaran sungai tak terkecuali rambut gadis berparas ayu dan bermata bulat itu. Tubuh jangkungnya diam membatu di bawah pohon bambu yang terletak sekitar 4 m dari bibir sungai. Pandangannya tak pernah lepas dari arus air sungai yang bergerak lambat. Mulutnya rapat terkatup. Tak dihiraukannya angin yang ribut memainkan ujung roknya. Sesekali digerakannya kaki yang serupa kaki boneka itu mendekati bibir sungai dan melihat tajam benda-benda yang hanyut terapung. Namun, ia akan melenguh panjang dan menitikkan air mata tatkala apa yang dilihatnya hanya plastik-plastik bekas jajanan anak-anak, daun jati bekas nasi pecel atau terkadang pembalut yang kapasnya terburai oleh rembesan air. Kalau sudah begitu, ia akan kembali lagi membatu di bawah pohon bambu yang berderit-derit oleh tiupan angin.
Ketika matahari benar-benar tenggelam, seorang perempuan tua dengan jalan membungkuk karena tulang punggungnya yang tak kuat lagi menopang tubuhnya karena beratnya kayu bakar yang tiap hari ia gendong, menjemput sang gadis dan menuntunnya pulang. Sang gadis akan selalu meronta dan menangis mengikuti paksa langkah perempuan tua itu dengan mata dan kepalanya yang tak pernah lepas dari sampah-sampah yang hanyut terbawa arus sungai. Hal yang hampir tiga tahun ini menjadi cerita sendu di Kali Kening.
                                                    
***

 Perempuan tua itu sibuk menenangkan tangis anak gadisnya saat malam mulai mencengkeram dengan gelapnya. Rembulan yang berada di sebalik awan semakin membuat pilu hati ibu si gadis. Sesekali ia usap sendiri air matanya yang mengalir seiring dengan tetesan air mata anak gadisnya. Makanan di piring masih utuh tak tersentuh, hanya lalat dan semut yang coba mengerubunginya dan menggeroroti sedikit demi sedikit nasi dari beras bulog yang warnanya hampir menyerupai besi berkarat.
“Makanlah, ndhuk. Biar sehat badanmu, gemuk lagi seperti dulu.”
Tak ada sahutan dari mulut si gadis. Hanya air matanya saja yang menjawab pertanyaan ibunya. Seolah tak ada yang lebih menenangkan hatinya selain mengalirkan air mata yang seolah tak akan pernah kering dari matanya yang semakin cekung.
“Ibu sudah masak makanan kesukaanmu, sambal terong dengan tempe goreng, makanlah ndhuk,” perempuan tua itu berkata sambil menyuapi paksa anak gadisnya, baru tiga suap, mulut gadis itu kembali terkatup rapat. Gigi-giginya beradu seumpama terali besi penjara yang tak hendak terbuka, bibirnya bergetar seperti hendak mengucap sesuatu. Namun yang keluar hanya desis nafas yang tak karuan iramanya.
“Kalau tidak mau makan ya sudah, tidurlah ndhuk. Jangan lupa baca doa yang dulu pernah emak ajarkan. Masih ingat kan?” Perempuan tua itu berkata sambil menuntun anaknya ke kamar, menidurkannya dan menyelimuti tubuh kurusnya. Kemudian ia duduk di tepi ranjang dan menembangkan sebuah tembang pangkur seperti yang dilakukannya saat anak gadisnya masih kanak-kanak. Diusap-usapnya kening sang anak hingga benar-benar terlelap dan memeluk mimpi. Di luar, hujan mulai turun dengan derasnya. Angin sesekali bertiup ribut seolah ingin mencabut apa saja yang dilaluinya. Mata perempuan tua itu pun meredup, tak dihiraukannya lagi bunyi petir yang sesekali menyambar di atas atap rumahnya. Dan ia pun terlelap dengan mendekap erat anak gadisnya.

***

Terdengar derap langkah menderu saat perempuan tua itu selesai mendandani anak gadisnya dengan memakaikan baju bermotif burung merak kesukaan sang gadis juga rok yang terbuat dari bahan bludru berwarna biru tua. Semakin lama, derap langkah itu semakin mendekat. Mata rabun perempuan tua itu menyelidik lewat lubang di dinding bambu rumahnya, ditelisiknya tiap arah angin yang membawa suara derap langkah itu. Terlihat samar olehnya seorang laki-laki berbadan kekar dengan topi laken hijau tua , celana komprang hitam dan baju batik bermotif cumi-cumi dengan kumis lebat seumpama sapu ijuk menghias di atas bibir tebal lelaki dengan tahi lalat di pipinya. Meski samar, perempuan tua itu sangat mengenali sosok lelaki itu, Juragan Seno, yang dulu perempuan tua itu pernah menjadi babu di rumahnya. Seorang juragan tebu dengan berhektar-hektar sawah dan berpuluh sapi perah. Juga seorang juragan yang dulu seolah memberinya penghidupan, namun pada kenyataannya mengambil lebih banyak dari hidupnya, yaitu kehidupan anak gadisnya.
Wajah perempuan tua itu segera menjadi pias. Lututnya gemetar dan mulutnya bergetar. Segera dikunci pintu rumahnya dan menuntun anak gadisnya ke dalam kamar. Baru saja ia selesai mengunci pintu, Juragan Seno dengan ributnya mengetuk daun pintu sambil sesekali memanggil nama perempuan tua itu.
“Mbok, mbok Semi. Buka pintunya. Ini aku Juragan Seno. Mbok....” Cukup lama Juragan Seno mengetuk pintu dan memanggil-manggil pemilik rumah. Namun tak berjawab. Kedua orang di dalam rumah itu meringkaskan tubuhnya di atas ranjang kamar sang gadis. Terlihat air mata sang gadis mengalir deras, tubuhnya menggigil dan terlihat ketakutan menyergapnya.
“Diam ndhuk, tenang.” Perempuan tua itu membelai lembut kepala anak gadisnya. Cukup lama Juragan Seno berdiri di ambang pintu hingga kaki kekarnya melangkah pergi menjauhi rumah di dekat Kali Kening itu sambil meletakkan sekarung beras dan sekresek besar bumbu dapur, hal yang selalu dilakukannya setiap bulan setelah perempuan tua itu dan anak gadisnya menjadi pengasingan di desanya sendiri. Perempuan tua bernama Mbok Semi itupun bernafas lega saat Juragan Seno menjauh pergi.
Selalu begitu, apa sebenarnya yang diinginkan lelaki bejat itu, batin Mbok Semi. Terbayang olehnya empat tahun yang lalu saat anak gadisnya diperkosa dan hamil oleh Juragan Seno. Gadis yang baru bertumbuh dengan sejuta mimpi itupun seketika tumbang hingga membuatnya depresi hebat dan menjadi mayat hidup.
Setelah tragedi tersebut, satu kalipun sang gadis tak pernah berbicara lagi. Mengadu kepada kepala desa dan polisi pun tiada guna. Uang telah menyumpal mulut buruh negara tersebut. Bahkan sang gadis dan ibunya pun di usir dan diasingkan oleh warga karena dianggap sampah masyarakat. Hamil tanpa bapak yang syah. Dan juragan Senolah yang memimpin langsung pengusiran itu. Ibu dan anak itupun akhirnya tinggal di sekitar sungai Kali Kening.
Hal memilukan kembali terjadi saat sang gadis akan melahirkan, dukun beranak suruhan Juragan Seno menolong kelahiran anak sang gadis dan tanpa sepengetahuan ibu dan sang gadis, dukun beranak itupun membuang bayi laki-laki sang gadis ke sungai Kali Kening. Hal yang diketahui sang gadis saat sehari setelahnya ketika sang gadis akan buang air besar di sungai dan menemukan ari-ari bayinya tergeletak di bibir sungai. Itulah mengapa sang gadis selalu berlama-lama mematung di bawah pohon bambu menunggu bayinya.

                                                          ***

Hujan belum juga reda saat sang gadis melangkahkan kakinya dengan cepat menuju Kali Kening. Sesekali kakinya terpeleset dan tanah basah membuat kotor rok dan tangannya yang pucat. Tak dihiraukan teriakan ibunya yang memanggilnya pulang, sandal jepitnya pun terlepas, ia segerakan langkahnya untuk sampai di bawah pohon bambu dengan bertelanjang kaki, tempat ia biasa berdiri berlama-lama menanti sesuatu yang sangat ia rindukan selama tiga tahun ini.
Mata bulatnya tajam memandang arus sungai yang bergerak cepat, jantungnya berdegup kencang saat arus sungai mulai mencium bibir sungai dan menumpahkan airnya ke sisi tanggul. Semakin lama arus sungai kali kening itu semakin deras seiring hujan yang turun tanpa jeda. Air kali kening pun mulai merayapi kaki telanjangnya. Tubuh gadis itu pun menggigil, bibirnya membiru. Sesekali diusapnya wajah tirusnya dengan ujung bajunya. Cukup lama ia mematung saat sang ibu berlari mendekatinya.
“Pulanglah ndhuk, hujan begini lebat. Ibu tidak ingin kamu sakit. Lihatlah, air sungai mulai meluap. Kakimu juga berdarah,” perempuan tua itu berkata sambil memegang telapak kaki sang gadis yang berdarah tertusuk bebatuan yang runcing.
Sang gadis menggeleng kuat saat ibunya terus membujuknya pulang. Diingsutnya badannya menjauhi ibunya. Perempuan tua itu pun memandang iba anak gadisnya. Didekapkannya kedua tangan keriputnya di dada. Menghalau dingin yang melemahkan tubuhnya.
Tiba-tiba, sang gadis berlari cepat saat dilihatnya sebuah boneka terombang-ambing di derasnya arus sungai. Sang ibu mengikutinya dari belakang dan mencoba menarik tangan sang gadis, namun usahanya sia-sia. Tubuh tuanya tak mampu mengejar sang gadis yang berlari begitu cepat sambil berteriak histeris. Dan itulah untuk pertama kalinya sang gadis berbicara setelah tiga tahun membisu.
“Anakku...........,” sang gadis melambaikan tangan ke arah boneka yang timbul tenggelam di arus sungai, segera dilemparkan tubuhnya ke dalam sungai dan menggapai boneka itu, namun derasnya arus sungai membuatnya tak mampu mengapungkan tubuhnya.
Tangan sang gadis melambai mencoba meraih boneka itu, mulutnya gelagapan. Semakin ia bergerak, semakin arus sungai menenggelamkannya. Sang ibu yang melihat kejadian itu berteriak histeris, meminta tolong. Tapi tak seorang pun mendengarnya. Hujan lebat menulikan telinga.
Suara perempuan tua itu semakin melemah, ia tak berdaya melihat  tubuh anaknya hilang ditelan arus sungai Kali Kening. Perempuan tua itu terduduk lemas di tanah, nafasnya sesak, sesekali air sungai menabrak tubuh bongkoknya. Air matanya tumpah bersama arus Kali Kening yang semakin meluap. Melahap apapun yang ada di dekatnya. Tak terkecuali perempuan tua dengan luka yang semakin menganga di dadanya.

                                                                       ***

Bangilan , 26 Februari 2017

Penulis adalah anggota Komunitas Kali Kening.

credit gambar: http://pixabay.com

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.