Header Ads

Header ADS

KIDUNG SUNYI ALIA



Oleh : Linda Tria Sumarno

“Jangan buat leluhur marah karena menghukum anak yang tidak bersalah, dan jangan salahkan saya kalau melapor pada polisi,” kataku meradang.
Semua terdiam, nampak para warga mulai takut. Terlihat para pemuka desa berbisik dan mendekatiku.
“Ya, kita bawa Aliya ke bidan. Tapi kalau Aliya memang bersalah, biarkan kami menghukumnya dengan cara kami,” lelaki berjenggot itu berkata dengan lantang.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung berlari menghampiri Aliya. Kuangkat tubuh mungilnya dari dalam sendang. Kurasai tubuhnya yang sangat dingin. Kulihat matanya terkatup dan tubuhnya diam. Kepalanya lunglai dalam pelukanku. Kaku tubuhnya membuatku panik. Ku tidurkan tubuhnya di tanah dan kugoncang bahunya. Aliya tetap diam. Kupakaikan jaketku pada tubuh Aliya dan dengan segera kuseret emak Aliya untuk menggendongnya dan ikut ke rumah bidan yang terletak 4 km dari Sendang Arum. Kuterobos kerumunan warga dan segera ku raih motorku. Ku kendarai motorku dengan kencang.  Di belakangku, kudengar emak Aliya menangis meraung memanggil-manggil nama Aliya yang entah masih bisa bernafas hingga sampai di rumah bidan yang kami tuju. (ALIYA 1: Aliya Ingin Pergi ke Angkasa)


Sepeda motor yang kukendarai melaju dengan kencang. Tak kuhiraukan jalanan yang terkadang berbatu dan juga penuh lubang akibat kendaraan pengangkut hasil panen yang terkadang melebihi tonase. Sesekali emak Alia memanggil dan mengguncang tubuh Alia, tapi tetap saja Alia bergeming. Lima belas menit kemudian, sampailah kami di rumah ibu Bidan. Segera emak Alia turun dari motor dan berlari mendapati bu bidan yang sedang menanam bunga mawar kuning di halaman rumah dinasnya.
“Tolong Alia bu bidan,” suara emak Alia terdengar semakin parau.
“Bawa ke ruang praktek, bu.” Bu bidan segera mencuci tangan dan mengambil stetoskop yang ada di laci mejanya.
“Kenapa dengan Alia, bu guru.”
“Hampir lima jam Alia direndam di Sendang Arum, bu bidan.” Aku menatap cemas Alia dan bu bidan melenguh panjang. Dirabanya nadi Alia dan dibukanya mata Alia, disoroti dengan senter kecil namun sedikitpun tidak ada reaksi dari Alia. Bu bidan merabai tubuh dan kaki Alia yang dingin. Dioleskannya minyak kayu putih ke seluruh tubuh Alia. Hidung Alia sedikitpun tidak bergerak saat bu bidan membauinya dengan minyak kayu putih.
“Harus segera dibawa ke rumah sakit, bu. Suhu tubuh Alia 30o C,” kata bu bidan sambil melihat termometer yang dipasang di ketiak Alia.
“Detak jantung Alia juga sangat lemah, dan bisa berhenti kalau terlambat menanganinya.” Jantungku yang kali ini berhenti berdetak mendengar penjelasan bu bidan. Seketika emak Alia menangis sambil memeluk Alia. Seperti mengerti kebingungan kami, bu bidan pun segera berucap.
“Tunggu sebentar, bu. Saya panggilkan suami saya untuk mengantar kalian ke rumah sakit.” Setengah berlari bu bidan menemui suaminya, dan tak berapa lama segeralah kami berangkat menuju rumah sakit yang harus kami tempuh sekitar satu jam. Sesekali kubisiki Alia dan mendongenginya tentang angkasa, berharap matanya segera terbuka dan memanggil namaku. Dari balik kaca mobil, kulihat gerimis mengiringi perjalanan kami, seolah langit turut menumpahkan kegundahannya. Jalanan yang kami lalui terasa begitu panjang dan lama. Tubuh Alia semakin dingin meski selimut tebal dari bu bidan membungkus rapat badannya. Akhirnya tibalah kami di rumah sakit, para perawat segera membawa Alia ke ruang UGD, cukup lama dokter memeriksa tubuh Alia.
“Temperatur tubuh anak ibu menurun  drastis, jauh di bawah normal. Sepertinya sistem saraf dan fungsi jantungnya terganggu. Kemungkinan anak ibu terkena hipotermia akut stadium paralysis 1],” dokter menatapku tegang.
“Hipotermia akut, dok?” Emak Alia memegang erat tanganku.
“Ya, anak ibu kehilangan panas tubuhnya. Suhu tubuh anak ibu 23o C. Ibu sedikit terlambat membawa kesini karena kemungkinan telah terjadi komplikasi serius akibat terhambatnya aliran darah. Tubuhnya sangat dingin dan nafasnya lemah sekali. Harus dilakukan pemanasan aktif dengan sirkulasi mesin jantung-paru.” Seketika tubuhku lemas. Mata sembab emak Alia terpejam lama. Dan kulihat para perawat memasang infus hangat dan dengan tergesa membawa Alia dengan kasur dorong.
“Alia akan dibawa kemana, dok?”
“Ruang ICU. Anak ibu kritis.” Dokter berkata sambil berlalu meninggalkanku mengikuti langkah kaki para perawat menuju ruang ICU. Emak Alia tersedu dan memelukku erat. Dadanya tersengal menumpahkan segala kepiluannya. Kamipun serupa burung yang kehilangan sebelah sayap.

                                                                   ***

            Aku dan emak Alia terduduk mematung bersandar pada tiang depan ruang ICU bercat hijau yang mulai mengelupas. Sepatah katapun tak ada yang keluar dari mulut kami kecuali lenguh panjang sambil menatap kosong lorong rumah sakit. Sesekali kulihat emak Alia menggumam, mungkin sedang berdoa pada Tuhannya atau mungkin juga menyumpahi para warga dusun yang tak beradab. Sedang aku, lelah menahan rasa sakit di perutku yang sepertinya mulai berontak karena sedari pagi belum pun makan. Hampir satu jam kami menunggu, akhirnya perawat dan dokter keluar dari ruang ICU menemuiku dan emak Alia. “Anak ibu sedang dalam masa kritis, kami sudah berusaha mengembalikan suhu panas anak ibu. Namun, sepertinya akan memakan waktu yang cukup lama.” Dokter berkata sambil memandang wajah tabah emak Alia

“Tapi, anak saya bisa bangun lagi kan, dok?”
“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, selebihnya doa ibu yang akan lebih didengar oleh Tuhan.” Dokter memegang lembut pundak ringkih emak Alia.
“Boleh kami masuk, dok?”
“Maaf, hanya satu orang saja yang boleh di dalam. Saya permisi dulu.” Dokter berkata sambil membetulkan baju putih kebesarannya dan terus melangkah sambil menunduk. Ibu Alia segera masuk dan aku mematung di depan pintu ruang ICU.

                                                                        ***

            Langit mulai gelap, segelap dan semuram wajahku yang letih dan kuyu. Sesekali kutengok dari balik kaca ruang ICU tubuh mungil muridku yang kini berjuang melawan maut. Di hidungnya menancap selang yang menyambungkannya dengan tabung oksigen, juga di dadanya menempel Automatic Eksternal Defibrilator, dua lempeng logam yang dialiri listrik untuk menormalkan kembali detak jantungnya. Kupejamkan mataku dan sayup kudengar suara riangnya kala ia berkata sambil bergelayut manja di pundakku. Alia ingin pergi ke angkasa bu, melihat semua planet dengan naik roket, Alia ingin melihat bapak dan emak dari angkasa, Alia juga ingin memasak di sana bu, di angkasa. Dadaku terasa sesak dan airmata yang sedari tadi kutahan akhirnya luruh juga membasahi jilbabku. Segala rasa berkecamuk tatkala kuingat orang-orang desa itu menyumpahi dan membiarkan Alia menggigil di Sendang. Segera aku berlari menuju ruang perawat dan mengiba untuk dapat menemani Alia di ruang ICU. Semula perawat menolak, namun ketika dokter mendengar alasanku, diijinkannya aku masuk menemani Alia. Segera aku berlari dan membuka pintu ruang ICU, segera kupakai baju berwarna hijau yang tergantung di dekat tirai dan kudekati tubuh lemah Alia.
“Alia, ini bu guru Nak. Buka matamu.” Kupegang tangan Alia yang kini mulai hangat.
“Alia ingin ke angkasa, kan? Bangun Nak, biar ibu ceritai Alia tentang angkasa, tentang planet, tentang bintang juga tentang matahari.” Ku belai lembut rambut Alia dan ku cium pipinya. Ku dekatkan tangan mungilnya di dadaku sambil sesekali kubisikkan lantunan surat Makiyah di telinganya. Setelahnya, kudekati emak Alia dan kuusap punggungnya. Mata tuanya mulai lelah oleh tangis yang mengalir seperti air sumber sendang Arum yang tak pernah kering meski kemarau hebat melanda.
“Jangan terus meratap, bu. Alia lebih butuh do’a ibu.” Ku ulurkan tanganku yang memegang buku Yasin yang kudapati di musholla rumah sakit saat sholat ashar tadi. Emak Alia menggeleng pelan.
“Saya tidak bisa mengaji, bu guru. Sewaktu kecil bapak melarang dan memukul saya kalau saya pergi mengaji.”
“Kenapa begitu, bu.” Dahiku berkerut dan kubetulkan letak kacamataku.
“Dikatakannya tidak akan membuat kaya kalau kita mengaji, sepulang sekolah sampai maghrib disuruhnya saya ini membantu mengasuh anak tetangga yang ibunya kerja di kecamatan.” Kurasakan sesak dada emak Alia ketika mengatakan itu. Ku tarik nafas dalam, ini mengapa Tuhan menakdirkan aku menjadi seorang guru di daerah pedalaman, daerah yang begitu keras alam juga orang-orangnya, batinku sambil meneteskan airmata. Teringat Ratno, Muji, Harti juga Lani yang selalu bolos sekolah tiap kali pelajaran agama Islam, dan sekarang aku tahu alasan mereka.
“Owh...,” lenguhku sambil memejamkan mata. Begitu kuatnya orang-orang dusun itu memegang erat budaya leluhur hingga harus mengabaikan agama, batinku.
“Baiklah bu, saya saja yang mengaji. Ibu jaga Alia.” Selesai berkata, aku duduk di samping kiri Alia dan mulai mengaji, ku lihat emak Alia mendekatkan bibirnya ke telinga Alia dan membisikkan sesuatu. Belum selesai mengaji, kulihat mata Alia mulai bergerak dan terbuka dengan lemah. Aku dan emak Alia tersentak. Segera kuraih tangan mungilnya.
“Alia...., Alia bangun Nak?” pekikku.
Segera aku berlari menuju pintu, tubuh kurusku yang sedari pagi belum makan butuh beberapa saat agar pintu terbuka. Kularikan kakiku menuju ruang perawat, sesekali kutabrak orang-orang yang lalu lalang di koridor rumah sakit. Sambil mengucap maaf, kularikan kakiku ini untuk segera mendapati perawat. Sesampai di ruang perawat, ku jelaskan keadaan Alia. Perawat segera berlari mencari dokter yang menangani Alia dan segeralah kami berhamburan menuju ruang ICU. Aku berlari sambil bercucuran airmata dan sesekali menyebut nama Alia. Hatiku terus memuji nama Allah yang dengan kuasaNya membuka kembali mata Alia. Seorang perawat menghentikan langkahku saat aku ingin kembali memasuki ruang ICU mengikuti sang dokter.
“Ibu tunggu di luar.”
Akupun tergugu dan menatap sendu Alia dari balik kaca. Betapa inginnya tanganku ini memeluk dan mendekapnya. Menghilangkan rasa sakit di badannya juga perih di hatinya.
“Ibu mendoakanmu, Nak. Alia pasti akan baik-baik saja,” ucapku sambil menatap lekat Alia yang hanya kelihatan kaki kecilnya. Namun, aku kembali panik saat dokter dan perawat menyiapkan alat setrum jantung. Kulihat tubuh Alia melonjak saat alat setrum jantung itu mengenai dadanya. Tiga kali alat setrum jantung itu menghentakkan tubuh Alia. Perawat terlihat menyuntikkan cairan ke dalam selang infus yang membebat tangan Alia dan dokter sibuk mengawasi layar monitor perekam detak jantung. Beberapa saat kemudian, dokter serta perawat keluar dari ruang ICU.
“Bagaimana Alia, dok?” tanyaku cemas.
“Alia hanya menunjukkan sedikit reaksi dan sekarang kembali koma.” Lemas rasanya kakiku mendengarnya. Tanganku terkulai dan ku masuki ruang ICU dengan sendu, ku peluk Alia dan berbisik lembut di telinganya.
“Alia pasti kuat, Nak......”

                                                                      ***

Matahari mulai menebarkan hangatnya saat kulihat bapak Alia, Harno, Bapak Harno dan beberapa warga memandangi kami dari balik kaca ruang ICU. Dadaku semakin bergemuruh saat melihat Harno dengan bibir atasnya yang bekas jahitan itu menatapku. Segera aku keluar dari ruang ICU dan mendekati mereka.
“Untuk apa bapak kesini.” Aku memandang tajam mata bapak Harno.
“Maafkan kami, bu guru. Bukan maksud kami membuat Alia seperti ini.” Bapak Harno mendekatiku dan mencoba menjabat tanganku. Segera aku beringsut dan kulayangkan pandanganku pada lorong rumah sakit..
“Bagaimana keadaan Alia, bu guru.” Bapak Alia mendekatiku dan terlihat matanya berkaca-kca.
“Alia kembali koma saat kemarin sempat membuka matanya,” ku hentikan ucapanku dan menghela nafas sebelum akhirnya kembali berucap.
“Hanya mukjizat Tuhan yang mampu menyelamatkan Alia.”
Bapak Alia segera terduduk pilu mendengar perkataanku. Tergugu dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang legam.
“Maafkan bapak, Alia. Bapak hanya tidak ingin Alia berbohong.” Bahu bapak Alia berguncang. Harno terlihat mematung di samping bapaknya, mata sipitnya selalu menunduk tanpa berani sedikitpun menatapku.
“Masih saja bapak terus menuduh Alia berbohong, keterlaluan sekali.” Selesai berkata, aku mendekati Harno dan menyeret Harno menjauhi kerumunan orang-orang dusun itu. Kami duduk di pinggir taman rumah sakit yang tepat berada sekitar sepuluh meter dari ruang ICU.
“Harno, tatap mata ibu. Harno harus jujur sama ibu.” Kuangkat dagu Harno dan kupegang kepalanya.
“Harno, jujur sama ibu, Nak. Ibu hanya ingin mendengar dari mulut Harno sendiri kalau Alia memang berkata benar.” Kupegang kedua tangannya dan ku tatap lembut mata Harno. Sedang Harno tetap saja membisu dan menutup rapat mulutnya.
“Harno, lihat ibu Nak.”
“Harno takut, bu.”
“Takut apa, hanya ada Harno dan ibu di sini.” Harno membisu dan menunduk dalam. Ku coba menata hatiku yang gamang. Ingin sekali aku memarahi Harno, menampar bahkan memakinya namun aku sadar itu tidak akan mampu membuat keadaan lebih baik. Dan kulihat mulut Harno menggigil menahan tangis.
“Harno, pernah bu guru mengajari untuk berbohong? Harno ingat, sewaktu Harno kelas lima bu guru pernah bercerita tentang Nabi Adam yang mengakui kesalahannya sesaat setelah makan buah Khuldi. Dan Tuhan mengampuninya meski Nabi Adam harus rela menerima hukuman untuk turun ke bumi.”
Terlihat Harno mulai menangis dan mengangguk pelan
“Kasihan Alia, Nak. Alia kritis.” Ku angkat dagu Harno hingga mati kami beradu. Kulihat matanya menyimpan beribu duka. Perlahan ia mulai berucap.
“Maafkan Harno, bu. Harno jahat sama Alia. Alia tidak bohong. Harno memang melakukannya.” Harno memelukku erat. Diremasnya ujung baju batikku yang dari kemarin belum juga ganti.
“Allah Karim......” ucapku pelan sambil bercucuran air mata. Kami menangis tersedu diantara kepiluan yang menyergap hati kami masing-masing. Harno tergugu dan semakin mencengkeram kuat bajuku. Terasa sekali dadanya berguncang semakin hebat. Apa yang harus aku lakukan sekarang ? batinku. Belum selesai kepiluanku, kulihat diantara lalu lalang orang-orang di koridor rumah sakit, perawat dan dokter berlarian menuju ruang ICU tempat Alia terbaring. Bapak Alia terlihat pucat dan menangis memeluk tiang. Bapak Harno berdiri mematung dan para warga dusun mondar-mandir seperti induk kehilangan anaknya. Kulepaskan pelukan Harno, kuangkat rok hitamku dan segera berlari menuju ruang ICU. Tak kuhiraukan kaki telanjangku yang sesekali hampir terjatuh. Segala rasa berkecamuk dalam hatiku. Alia....., gumamku sambil terus berlari.
“Apa yang terjadi, pak.” Teriakku tak berjawab saat aku bertanya pada bapak Alia.
Segera kulihat Alia dari balik kaca ruang ICU, terlihat dokter sibuk memeriksa Alia, diperiksanya layar monitor jantung dan mengatakan sesuatu pada perawat. Setelahnya, para perawat sibuk mengganti tabung infus dan membetulkan letak selang oksigen di hidung Alia. Nafasku memburu, tanpa henti kulantunkan istighfar berkali-kali. Kini, terlihat dokter mendekati emak Alia dan membincang sesuatu. Ibu Alia tersedu dan menutupkan kedua tangannya pada wajah lelahnya dan segera dihampirinya tubuh Alia dan dipeluknya dengan erat.
“Aliaaaa.........,” pekikkku sambil terduduk lemas di depan ruang ICU.

                                                                      ***   



Penulis adalah anggota Komunitas Kali kening dan dapat disapa via email oppiesalsabila@yahoo.com




Catatan:
Hipotermia akut stadium paralysis : Keadaan suhu tubuh  sekitar < 28 C yang mengakibatkan koma, refleks pupil hilang yang akhirnya menyebabkan fibrilasi ventrikel (gangguan irama jantung), asistol (garis mendatar yang melintang pada layar monitor EKG), dan apnea (henti nafas).

Ilustrasi gambar : http://pixabay.com

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.